Mohon tunggu...
Abdurachman Ali
Abdurachman Ali Mohon Tunggu... Insinyur - Hidup dengan penuh syukur

Writer-Traveller-Engineer

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Manuver Politik Cak Imin

3 September 2023   13:51 Diperbarui: 4 September 2023   10:00 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Bidang Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Abdul Muhaimin Iskandar melakukan kunjungan ke kabupaten atau Kota Tasikmalaya, Jawa Barat (Jabar), Sabtu (26/3/2022).(DOK. Humas DPR RI via kompas.com)

Kemarin, kita dihebohkan dengan pengumuman bahwa capres (calon presiden) dari koalisi perubahan, Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar-- atau akrab disapa Cak Imin, ketua umum Partai Kebangkitan Nasional (PKB), dalam pemilu 2024.

Manuver ini memang mengejutkan semua orang, terutama untuk partai Demokrat, yang sedari awal sudah optimis kalau ketua umumnya, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono -- dikenal dengan AHY, akan maju mendampingi Anies di Pemilu 2024.

Sontak, manuver ini membuat Partai Demokrat sakit hati. Demokrat merasa, manuver ini adalah sebuah pengkhianatan kepada mereka. Pernyataan ini juga sudah dikonfirmasi oleh Sekjen dan para petinggi Partai. 

Demokrat berkeyakinan, ketua umum Partai Nasdem, yakni Surya Paloh, ada dibelakang semua manuver ini. Pada hari Jumat malam tanggal 1 September 2024, Demokrat pun memutuskan untuk keluar dari koalisi perubahan yang hampir satu tahun terakhir ini mereka perjuangkan bersama dengan Nasdem dan PKS dalam mengusung Anies sebagai presiden.

Sebetulnya dalam cerita manuver ini ada dua pihak yang sakit hati. Selain Demokrat, Cak Imin dan PKB nya juga sakit hati karena merasa dikhianati oleh Prabowo. Sejak awal Cak Imin sudah tidak malu-malu menunjukkan ke publik bahwa dirinya memiliki cita-cita untuk menjadi cawapres. Itulah yang sejak semula ia perjuangkan bersama Gerindra dalam Koalisi Kebangsaan Indonesia Raya (KKIR). 

Namun, masuknya teman-teman baru dalam wujud PAN dan Golkar ke dalam koalisi membuat Cak Imin merasa disingkirkan. Puncaknya, ia merasa tidak dilibatkan dalam proses penggantian nama koalisi yang sebelumnya bernama 8KKIR, menjadi koalisi Indonesia maju. Sepertinya, itu cukup bagi Cak Imin untuk melakukan manuver berpindah koalisi.

Dua orang sakit hati, namun sepertinya yang dilakukan Cak Imin dan PKB nya lebih strategis secara politik dibandingkan dengan yang dilakukan oleh AHY dan Demokratnya. 

Cak Imin dan PKB tidak menyerang Prabowo dan teman-teman koalisinya sebelum keluar, hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Demokrat yang seakan-akan "burn the bridges" dengan mengatakan Anies dan Surya Paloh sebagai penghianat. Serangan ini bahkan dilakukan oleh ketua majelis tingginya langsung, setelah dimulai oleh Sekjen. Artinya, sikap partai sudah tidak mungkin bisa ditawar lagi. 

Satu-satunya yang belum bersuara dari petinggi Demokrat saat ini hanya tinggal AHY sebagai ketua umum. Namun, rasanya sulit membayangkan AHY akan menganulir sikap yang telah disampaikan oleh Sekjen dan ketua majelis tinggi, yang juga merupakan ayahandanya sendiri. 

Dalam politik yang sangat dinamis, strategi "burn the bridges" sepertinya terlalu awal kalau dikeluarkan untuk sekedar posisi cawapres. Partai-partai yang ideologinya berbeda saj masih bisa beriringan. Mungkin mereka bertempur di satu pemilihan, namun di pemilihan lain, mereka akan bergandeng tangan.

Yang kedua, mengapa dapat dikatakan langkah PKB lebih strategis, dapat dilihat dari hasil yang mereka dapatkan, yaitu posisi cawapres. 

Pergerakan inipun dilakukan dengan elegan, sehingga misalnya, PKB tidak menemukan titik temu dengan Anies dan Nasdem untuk posisi cawapres, mereka akan tetap berada di koalisi Indonesia maju dengan bargaining power yang sangat bagus karena telah bersama Prabowo dan Gerindra membangun koalisi ini dari awal. 

Hal berbeda yang ditempuh oleh Demokrat. Keluarnya mereka dari koalisi membuat posisinya menjadi tidak menentu. Jika tetap ingin memaksakan AHY untuk mendapatkan posisi cawapres, pilihan skenarionya hanya tinggal tiga. 

Masuk ke koalisi PDIP dan menjadi cawapresnya Ganjar, masuk ke koalisi Indonesia maju dan menjadi cawapres Prabowo, atau membentuk koalisi baru. Mari kita telaah satu persatu.

Masuk koalisi PDIP dan menjadi cawapres Ganjar. Demokrat bisa saja memilih bergabung ke koalisi ini dan menjadi cawapres yang telah diusung bersama oleh PDIP dan PPP. Namun disini pertanyaannya, apakah bargaining power Demokrat cukup untuk menjadikan AHY sebagai Cawapres Ganjar? 

Seperti diketahui bersama, kursi PDIP sudah cukup untuk mengusung pasangan presiden dan wakil presiden seorang diri. Walaupun hal tersebut sepertinya tidak akan dilakukan oleh PDIP karena kurang menguntungkan secara politik, namun posisi itu telah memberikan PDIP posisi yang sangat dominan di koalisi ini. 

Apa yang membuat Demokrat bisa meyakinkan PDIP untuk mengambil AHY sebagai cawapres Ganjar? 

Perlu diingat juga PPP yang sudah jauh-jauh hari bergabung ke dalam perahu koalisi ini untuk mengusung Ganjar pun masih belum berhasil meyakinkan PDIP untuk mengambil Sandiaga Uno sebagai cawapres Ganjar. Hal inilah sepertinya yang akan membuat kans AHY untuk menjadi cawapres semakin tipis di koalisi ini.

Masuk koalisi Indonesia maju dan menjadi cawapres Prabowo. Jika Demokrat merasa kans nya di koalisi PDIP terlalu berat karena ada partai yang terlalu superior, mungkin Demokrat bisa mempertimbangkan masuk ke koalisi Indonesia maju karena disini semua partai membutuhkan teman untuk mengusung calon. 

Namun di koalisi ini, jalur Demokrat untuk men-cawapreskan AHY pun juga tidak mudah. Apakah PAN dan Golkar akan sukarela memberikan kursi cawapres kepada AHY jika Demokrat bergabung? Jangan lupa, Golkar adalah partai ketiga pemenang pemilu dengan sejarah yang sangat panjang. 

Bergabungnya golkar ke koalisi Indonesia maju pun diawali dengan gonjang-ganjing tidak jadinya ketum mereka maju sebagai capres. Apakah Golkar akan sukarela mengalah lagi kepada Demokrat? Sepertinya kok tidak ya. 

Selain itu jangan lupakan PAN yang juga ngebet memcalonkan Erik Thohir atau Muhadjir Effendi sebagai pendamping Prabowo. Sepertinya di koalisi ini Demokrat juga akan menjadi inferior.

Pilihan terakhir adalah membentuk koalisi baru. Saat ini sepertinya yang paling dekat adalah PPP. SBY juga sudah memberi sinyal dalam pernyataan pers nya bahwa sudah ada menteri aktif yang mendekati Demokrat, banyak yang menduga bahwa menteri itu adalah Sandiaga Uno. 

Dengan mengusung formasi Sandiaga -- AHY, sepertinya keinginan Demokrat untuk menempatkan ketumnya sebagai cawapres akan kesampaian. 

Tapi tunggu dulu, koalisi tersebut masih belum memenuhi ambang batas presidensial, sehingga diperlukan satu partai parlemen lagi yang bergabung. 

Pertanyaannya sekarang, adalah siapa yang akan bergabung ke koalisi baru tersebut? Jika kita coret PDIP, Gerindra, Nasdem dan PKB, yang tersisa tinggal Golkar, PAN dan PKS. Golkar sebagai partai ketiga pemenang pemilu tentu berat untuk mendukung koalisi tersebut mengingat posisi mereka sekarang sudah cukup ajeg di koalisi Indonesia maju. 

Apalagi dengan perginya PKB, porsi Golkar dalam koalisi tersebut menjadi semakin besar. PAN? Jika pindah apa untungnya bagi PAN. Posisi capres atau cawapres tak didapat. 

Belum lagi kemungkinan menangnya koalisi baru tersebut masih dibawah kemungkinan menang koalisi Indonesia maju dengan Prabowo-nya. Jadi sepertinya akan sangat berat bagi PAN untuk berpaling. 

Lalu bagaimana dengan PKS? Pemilih akar rumput PKS mayoritas adalah pemilih Anies, sehingga akan kurang strategis jika mereka berpaling, toh di koalisi baru daya tawar mereka juga sama saja dengan di koalisi perubahan. PKS pun telah memberikan indikasi bahwa mereka akan tetap di dalam koalisi perubahan, siapapun cawapres yang dipilih.

Melihat ketiga skenario diatas sepertinya upaya Demokrat untuk mendorong AHY ke kursi cawapres tetap akan sulit. 

Walaupun tetap harus diingat bahwa politik itu sangat-sangat cair dan bisa berubah kapan saja. Kalau ujung-ujungnya hanya dapat posisi menteri, ya sepertinya lebih baik bertahan di koalisi perubahan. 

Memang, untuk benar-benar menjadi menteri diperlukan untuk menang dulu dalam pemilu, dan Anies dengan beberapa hasil survey terakhir sepertinya akan berat untuk memenangkannya. 

Namun jika alasannya seperti itu, apakah tidak lebih baik untuk menunggu hasil survey terbaru beberapa saat sambil tawar menawar dibawah radar dengan koalisi lain. Jika sudah mendapatkan jaminan dari koalisi lain, baru pindah. Langkah sepertinya itu sepertinya akan lebih menguntungkan secara politik bagi partai Demokrat.

Menurut saya pribadi, jika melihat hanya secara strategi politik saja, diluar personal dan kepatutan, menjadikan Cak Imin sebagai cawapres adalah langkah politik yang terbaik yang bida dilakukan oleh koalisi perubahan saat ini. 

Ada tiga alasan yang membuat strategi ini adalah langkah terbaik yang bisa dilakukan koalisi perubahan saat ini.

Pertama, menarik Cak Imin berarti menarik PKB, hal ini akan menambah kekuatan sekaligus melemahkan lawan di waktu bersamaan. 

Melihat posisi Anies yang selalu paling buncit dalam survey dengan margin sampai sepuluh persen dengan posisi diatasnya, diperlukan gebrakan baru yang secara signifikan dapat menambah suara. 

Menarik AHY atau calon independen lain seperti Susi Pudjiastuti dan Yenny Wahid sepertinya tidak akan membantu Anies terlalu banyak dibandingkan dengan masuknya PKB, partai dengan 58 kursi. 

Selain itu, pindahnya PKB diprediksi akan mempersempit jarak Anies dan Prabowo karena dukungan yang berpindah. Jadi dengan satu gerakan, dua tujuan dapat dicapai.

Kedua, basis pemilih Cak Imin dan PKB nya berbeda dengan basis pemilih Anies. Sudah bukan rahasia lagi kalau kunci untuk memenangkan pemilu adalah di pulau Jawa. 

Cak Imin yang memiliki latar belakang seorang Nahdliyin dan memiliki basis kuat di Jawa Timur sepertinya akan memberikan tambahan kekuatan kepada Anies lebih besar daripada yang bisa diberikan AHY yang cenderung memiliki basis pemilih yang sama dengan Anies.

Politik memang sangat dinamis. Banyak manuver masih mungkin terjadi sampai dengan pendaftaran pasangan capres -- cawapres di akhir tahun ini. 

Jika diingat kembali, pada tahun 2019, manuver politik dilakukan bahkan setelah calon yang dikabarkan ditunjuk sebagai cawapres telah mengukur baju dan siap sedia di seberang lokasi pengumuman.

Ketiga, politik adalah siasat. Langkah politik yang diambil saat ini akan sangat berpengaruh pada berhasil tidaknya kekuasaan diraih untuk lima tahun kedepan. Untuk itu, diperlukan pikiran dan hati yang dingin dalam menentukan sikap yang akan diambil. 

Gagal dalam bersikap akan mengakibatkan strategi yang dipilih menjadi tidak rasional sehingga perjalanan dalam kontestasi politik menjadi semakin berat dan terancampnya posisi dalam kekuasaan selama lima tahun kedepan, waktu yang tidak bisa dibilang singkat dalam proses politik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun