Suatu hari saya memposting buku karangan seseorang yang dianggap kontroversial oleh sebagian orang -- mungkin kurang tepat juga jika disebut sebagian, karena memberikan kesan jumlahnya banyak, padahal tidak begitu, namun agar tidak terdengar tendensius, kata tersebutlah yang saya gunakan--Â
Dalam tempo tidak terlalu lama, seorang sahabat langsung memberikan komentar yang isinya kurang lebih mempertanyakan "keberanian" saya mengumumkan, dengan cara memposting di media sosial, bahwa saya adalah salah satu pembaca buku karangan penulis tersebut, apakah tidak takut mendapat stigma atau bahkan teguran?
Saya coba memberikan sedikit penjelasan bahwa tidak ada yang salah dengan postingan saya, sejalan dengan tidak ada yang salah dengan penulis tersebut. Saya lanjutkan dengan menyampaikan bahwa saya mengetahui stigma yang dilekatkan oleh sebagian orang -- sekali lagi saya gunakan kata sebagian untuk mengurangi tendensi -- kepada penulis tersebut, namun hal itu sudah terpatahkan setelah membaca beberapa karyanya.Â
Saya harapkan sahabat saya ini merespon, bahkan menggali lebih dalam, karena jawaban pertama saya hanya merupakan mukaddimah. Masih banyak alasan kuat yang bisa saya sampaikan, bahkan ada referensipun bisa saya berikan, jika ia butuh.Â
Namun semua itu urung tersampaikan karena tidak ada respon lebih lanjut. Mukaddimah saya dibalas dengan notifikasi kalau penjelasan saya sudah dibaca olehnya. Tanggapan yang saya harapkan bisa memicu diskusi, urung muncul.
Saya tentu saja bukan buzzer, bukan pula juru bicara dari penulis tersebut, sehingga sia-sia rasanya jika secara sukarela saya berpanjang lebar menjelaskan, apalagi jika tidak ada rasa ingin tahu dan pikiran terbuka yang siap untuk mengolah alasan-alasan yang saya kemukakan. Lagipula, obrolan tersebut hanya berada di tempat yang hanya saya dan dia yang tahu isinya.Â
Mungkin konsekuensinya paling berat hanya saya mendapat stigma tertentu dari sahabat saya. Mudah-mudahan itupun tidak terjadi jika melihat obrolan selanjutnya yang terjadi beberapa hari kemudian.
"Diskusi nanggung" -- Saya beri nama diskusi nanggung untuk satu topik dimana ada dua atau lebih argumen berbeda namun tidak berlanjut tanpa penjelasan dari salah satu pihak sehingga diskusinya selesai begitu saja tanpa kejelasan -- seperti yang terjadi diatas juga sering saya amati terjadi di grup whatsapp (WA).Â
Mungkin kalau grupnya besar dan berisi anggota yang tidak mengenal satu sama lain, hal ini dapat dimengerti. Apalagi jika anggotanya aktif sehingga topik -- topik baru bisa muncul dengan cepat.Â
Namun di grup kecil yang anggotanya mengenal dan akrab satu sama lain (apalagi antar dua orang yanng cukup akrab seperti cerita diatas), "diskusi nanggung" ini terasa kurang elok. Bayangkan kalau diskusi tersebut terjadi saat bicara tatap muka.
Salah satu alasan utama orang "kabur" begitu saja dari sebuah diskusi adalah takut. Takut diskusi itu membawanya terjerumus ke topik yang lebih sensitif.Â
Contohnya dari kasus saya diatas, sahabat saya ini mungkin khawatir jika obrolan dilanjutkan maka diskusi tentang sosok penulis tadi akan memasuki ranah -- ranah yang lebih sensitif, dan dia tidak nyaman dengan hal tersebut.Â
Mungkin dia juga khawatir diskusi itu akan mempengaruhi persahabatan kami. Ya bisa terjadi seperti itu jika berdiskusi dengan orang yang apapun topiknya akan dibawa ke hati, dan orang semacam itu banyak beredar.Â
Di grup WA pun, kadang, jika terjadi diskusi yang lumayan panjang dan sudah menjurus ke hal-hal yang sensitf, akan muncul beberapa orang yang secara sukarela menjadi "pahlawan" untuk membelokkan topik secara halus dengan melemparkan topik baru dan jika pahlawan semacam itu banyak berada dalam grup tersebut, topik pun akan berhasil dibelokkan. Mungkin orang-orang seperti itu tidak bisa juga dinilai buruk, karena bagaimanpun niat mereka baik, agar grup tetap harmonis.Â
Namun kembali lagi, apakah grup WA ini dibentuk hanya untuk haha hihi (yang kadang jika ada yang mengirim haha hihi pu jarang ditanggapi), atau hanya untuk memberikan ucapan saja sehingga grup hanya ramai saat ada yang berulang tahun atau berbela sungkawa? Atau grup mau juga dijadikan ajang bertukar pikiran?.
 Sayang sekali jika di satu grup terdapat orang- orang yang memiliki keahlian tertentu, namun tidak sedikitpun pikiran atau pandangannya bisa kita lihat, Dan untuk mendapatkan itu diskusi harus dimulai, hal -- hal yang agak sensitif harus dilewati (tentu ada batasnya, namun batasnya bukan di pintu gerbang diskusi). Pikiran atau pandangan yang tajam tidak akan didapat dari sekedar haha hihi atau ucapan selamat belaka.
Alasan selanjutnya mungkin adalah malu. Malu ini biasanya berawal dari emosi yang tidak terkendali. Entah karena tidak suka dengan kawan diskusi yang memiliki pendapat yang berseberangan, entah karena tidak suka dengan topik yang diangkat atau hal lain. Kalau cuma emosi saja, mungkin diskusi tidak akan menjadi tanggung, karena pasti masih bernafsu untuk menanggapi lawan bicaranya.Â
Namun jika sudah tersadar salah langkah dan emosi itu berubah menjadi malu, biasanya bungkam adalah hal yang dipilih -- mungkin sambil berharap akan ada pahlawan yang muncul untuk mengubah topik -- Â Sudah sifat dasarnya emosi untuk menekan logika.Â
Itulah mengapa orang yang sedang dikuasai emosi -- patut diingat emosi itu bukan hanya marah, sedih dan gembira juga emosi -- tidak patut untuk mengambil keputusan penting.Â
Karena keputusan yang berdasarkan emosi belaka, biasanya mengabaikan pertimbangan logika (Emosi yang dimaksud disini adalah yang kadarnya berlebihan, karena seperti kita sadari emosi itu adalah yang membuat seorang manusia menjadi manusia. Kalau tidak ada emosi, apa bedanya manusia dengan robot?). Nah saat emosi menguasai dalam diskusi, seringkali keputusan dalam bentuk respon yang diambil menjadi tidak logis, dan hal yang tidak logis sangat mudah disanggah, saat lawan diskusi menyanggahnya dengan hal yang sudah susah untuk dibalas, maka emosi yang awalnya berbentuk kemarahan pun dalam sekejap langsung berubah rupa menjadi rasa malu.
Sampai disini saya berhenti sejenak dan bertanya kepada diri saya sendiri, apakah tulisan ini berdasarkan pada emosi juga? Saya memang agak kecewa dengan orang-orang yang sering lari dari diskusi namun itu tidak terjadi saat ini.Â
Diskusi dengan sahabat saya juga sudah terjadi jauh hari sebelum tulisan ini dibuat -- itupun tidak membuat emosi saya meletup dan persahabatan saya masih berlanjut sampai sekarang karena sahabat saya adalah seorang yang setia dan halus budinya -- lalu grup WA yang saya amati sering menghasilkan diskusi nanggung itu pun sudah antara ada dan tiada.Â
Saya putuskan untuk melanjutkan lagi setelah saya yakin tulisan ini bukan hanya berisi emosi belaka, tapi kombinasi antara logika dan emosi -- Â yang tentunya tidak hanya berbentuk kemarahan saja, tetapi juga berbentuk semangat -- Â Ada pikiran yang juga saya tuangkan disini. Saya harap pembaca tulisan ini membaca sampai selesai sebelum mengambil kesimpulan dan memberikan respon.
Mengapa membaca sampai selesai sebelum mengambil kesimpulan dan memberikan respon itu penting? Karena itu bisa menjaga dari rasa malu seperti yang disampaikan diatas. Beberapa kali saya perhatikan, di dalam grup WA, ada yang terlalu terburu-buru dalam menanggapi satu bahan yang dikirimkan.Â
Akibatnya kadang muncul respon yang terlalu lemah sehingga mudah saja untuk disanggah. Sesudah menyadari responnya terlalu terburu -- buru, seringkali langkah yang diambil adalah diam daripada konfirmasi.Â
Mungkin terlalu gengsi. Saya rasa disini perlu diingatkan kembali cakupan pembahasan di tulisan ini adalah diskusi yang terjadi antara orang yang sudah saling kenal dengan baik (sahabat) dan forum yang kecil.Â
Jika dikembalikan ke cakupan itu, rasanya gengsi bisa dikesampingkan untuk alasan kesopanan -- karena antara orang yang kenal baik dan forum kecil, tentu terasa kurang sopan jika anda tidak memberi respon terhadap lawan bicara.
Alasan selanjutnya adalah alasan untuk orang yang merasa atau benar -- benar lebih bermoral. Mereka menyampaikan alasannya adalah "berdebat itu tidak baik" , dan "lebih baik diam daripada berdebat". Ini memang baik dan nasihat yang benar. Namun sebelumnya harus dipahami dahulu perbedaan antara debat dan diskusi.Â
Diskusi itu tidak sama dengan debat. Perlu dipahami pula bahwa jika saya memiliki pemikiran yang beda dengan anda, bukan berarti saya harus bermusuhan dengan anda. Ini yang harusnya dimengerti oleh orang yang benar -- benar bermoral. Lagipula apakah tidak memberikan tanggapan kepada sahabat --saya ingatkan kembali cakupan tulisan ini -- adalah perilaku seseorang yang bermoral ?
Apakah lebih baik mengorbankan kesopanan untuk menjadi orang yang dinilai bermoral?, mungkin orang yang memutus diskusi yang hangat dengan sahabatnya dengan alasan ini perlu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah benar dengan alasan ini ia membuat diskusi menjadi tanggung? Atau itu hanya alasan yang dibuat untuk membuat pembenaran kepada dirinya sendiri.Â
Jika itu benar alasannya, selamat! Anda adalah orang yang baik, namun alangkah baiknya jika anda tutup diskusi tersebut dengan baik, bukan dengan kabur. Tidak ada orang yang senang ditinggal kabur.
Kalau dijabarkan lagi mungkin akan terlalu banyak yang bisa dijadikan alasan, namun saya cukupkan saja pada tiga alasan diatas, karena menurut ketiganya adalah alasan -- alasan yang paling sering terjadi. Memang ada alasan lain lagi, yaitu sibuk atau terlewat.Â
Hal itu mungkin menjadi alasan bagi banyak orang, namun mengapa tidak saya ikut masukkan dalam pembahasan diatas? Karena kedua hal tersebut adalah alasan yang berada di luar kuasa seseorang. Kedua hal tersebut dapat dimaklumi.Â
Namun sebagai orang yang sopan, tentu jika terjadi kealpaan, ia akan kembali kepada sahabatnya dan meminta maaf saat ia sadar. Tentunya ia tak ingin sahabatnya berburuk sangka dan menilainya sebagai orang yang tidak memiliki sopan santun. Namun itu kembali lagi, apakah ia terlalu takut atau malu untuk meminta maaf.
Sebelum saya tutup, saya kembali lagi ke cerita yang saya sampaikan di awal. Setelah beberapa saat saya tunggu sahabat saya tidak memberikan tanggapan, saya duga pertama ia sibuk.Â
Namun setelah saya tahu ia tidak sibuk, saya rasa ia hanya terlalu takut, malu atau tidak ingin masuk ke dalam perdebatan -- yang ia khawatirkan akan terjadi -- Ya sudah, wajar orang merasa takut, malu atau menghindari perdebatan. Itu sangat manusiawi.Â
Namun yang saya sedih adalah hilangnya kesempatan untuk mendapatkan diskusi hangat antar sahabat. Yang mungkin tidak berakhir dengan saling membenarkan satu sama lain, tapi berakhir dengan tawa dan wawasan yang lebih luas untuk semua pihak. Kesedihan yang sama juga saya rasakan saat di grup WA yang berisi orang yang sudah bisa dibilang sebagai sahabat, namun membiarkan diskusi menjadi tanggung.
Dalam satu grup WA yang beranggotakan orang yang mengenal dengan baik satu sama lain, beberapa orang sering membuat diskusi menjadi tanggung. Lama kelamaan grup itupun menjadi mati.Â
Ada beberapa orang yang awalnya sering melempar topik diskusi, menjadi hilang semangat pada akhirnya. Grup itupun hanya menjadi grup untuk mengucapkan ulang tahun dan info-info saja. Bahkan semakin kesini, orang-orang pun malas untuk mengirimkan info karena toh tidak ada yang menanggapi.Â
Sangat disayangkan karena grup itu berisi orang -- orang yang memiliki potensi untuk memberikan pemikiran yang menarik. pada akhirnya dirasa di grup seperti itu lebih enak menjadi silent reader saja karena toh orang -- orang didalamnya tidak berniat untuk menghangatkan jalinan persahabatan.Â
Buat apa menghabiskan energi untuk melempar topik dan memberi tanggapan kalau toh nanti juga diskusinya akan menjadi tanggung. Jadi untuk apa capek -- capek melemparkan topik, toh tidak akan jadi obrolan yang panjang-panjang juga.
Memiliki rasa takut itu sangat manusiawi, apalagi di jaman seperti sekarang dimana tanggapan kita bisa dikutip kesana kemari sehingga berpengaruh terhadap hal lain, namun, apakah rasa takut itu sudah menutupi rasa percaya antar sahabat? Sehingga lebih baik kita biarkan diskusi menjadi tanggung karena rasa takut?
Memiliki rasa malu wajib, namun perlu dibedakan antara malu dan gengsi. Apakah rasa gengsi itu wajar itu juga wajar terlalu ditonjolkan untuk diskusi antar sahabat dan forum yang kecil?
Menghindari perdebatan memang alasan moral yang sangat bisa diterima, namun apakah wajar jika itu dijadikan alasan untuk membunuh sopan santun. Minimal ucapkanlah kata penutup. Bukan kabur tanpa kejelasan.Â
Untuk hal ini mungkin kita perlu banyak belajar pada generasi Baby Boomers. Walaupun terkadang melewati batas sehingga masuk ke ranah perdebatan, namun hampir tidak pernah sahabatnya tak digubris. Teman ngopi sore pun bisa menjadi awal dari suatu obrolan yang hangat. Mengapa itu hilang pada generasi sekarang?
Tulisan ini berusaha dikemas tanpa tendensi, namun jika dirasa tendensi itu masih hadir, anggaplah itu sebagai semangat yang kurang dapat dibendung. Tujuan utama tulisan ini adalah sebagai pengingat untuk diri saya sendiri agar tidak melakukan hal sama kepada orang lain.Â
Mungkin beberapa orang mengatakan ini topik yang sepele. Ya mungkin sepele, tapi hal yang sepele ini bisa menimbulkan prasangka, memunculkan stigma, dan membuat persahabatan menjadi lebih dingin. Karena tidak ada yang suka ditinggalkan tanpa kejelasan.Â
Apalagi, yang saya tahu, beberapa orang kerap melemparkan topik bukan karena mereka tidak tahu, tapi lebih mengharap terjadinya diskusi hangat antar sahabat. Karena, diskusi hangat itulah yang menghidupkan tali persahabatan. Agar persahabatan tidak dingin, dan kita menjadi kaku saat bertemu kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H