Mohon tunggu...
Alfrida Dianty
Alfrida Dianty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Musik, Film, dan hiburan menarik lainnya menjadi hal yang saya sukai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

To a Girl Who's Embrace Tightly Her Scars

4 November 2023   11:39 Diperbarui: 4 November 2023   11:52 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari pertama menjadi mahasiswa, banyak sekali yang aku ekspektasikan. Tentunya tanpa menyia-nyiakan waktu aku harus memanfaatkan waktuku dikampus dengan baik. Aku yakin sekali aku akan dapat banyak teman, karna aku seorang extrovert dan mudah sekali bergaul dengan orang baru.

Pagi ini aku menjadi orang pertama yang datang dan duduk di kelas. Selang beberapa lama seorang perempuan cantik datang dan dengan wajah datarnya dia menatapku dan berkata "Tolong pindah, ini bangkuku". Dengan bingung aku pindah ke samping kursi itu sambil melihat-lihat apakah ada nama disetiap bangkunya. Keadaan sedikit canggung, sisi ekstrovertku tiba-tiba menurun. Tapi aku yakin aku bisa mengatasi keadaan canggung ini, aku harus menyapanya.

"Halo, salam kenal aku Eveline. Namamu siapa?" sapa ku kepada perempuan cantik ini dengan harapan dia menghilangkan wajah ketusnya.

"Kau tidak akan suka padaku, lebih baik tidak usah tau namaku" jawabnya dengan wajah ketus dan datar.

Aku bertanya-tanya apa ada yang salah denganku hingga dia begitu ketus dan tidak ingin memberitahukan namanya. 

Setelah sepuluh menit keadaan canggung ini berlangsung, teman-teman lain datang dan menyapaku. Mereka memintaku pindah kata mereka lebih baik aku tidak duduk dekat perempuan itu. Sebenarnya ada apa hingga teman-teman yang lain menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan perempuan misterius itu. Aku tidak ingin mati penasaran, karena bagaimanapun aku melihat dia seperti perempuan baik.

"Kenapa kalian menjauh dari dia? Apa ada yang salah?" tanyaku kepada teman-teman.

"Lebih baik, gausah deh deket-deket sama dia. Dia dari dulu emang suka menyendiri, sikap ketus dan kurang ajarnya udah melekat dari dulu" jawab Yola. 

Sepertinya tidak mungkin dia sekurang ajar itu, dia hanya ada sesuatu saja yang membuatnya menutup diri dari lingkungan. 

Karena rasa penasaranku, setelah kelas selesai aku mengajaknya pergi untuk makan siang bersama.
"Halo, kita ada dikelas yang sama lagi selanjutnya. Sambil menunggu kelas selanjutnya, mau pergi makan siang bersama?" Tanyaku dengan sangat berharap dia mengiyakan ajakanku.

Dia melihatku dan berkata "Aku lebih suka makan sendiri", sudah kuduga dia akan menolak ajakanku. 

Waktu makan siang sangat singkat sehingga aku memutuskan untuk membeli tiga onigiri dan teh dari minimarket. Aku pergi ke taman belakang kampus dan makan disana, kebetulan hari ini tidak ada mahasiswa lain yang berada di taman, hanya ada aku sehingga bisa makan dengan tenang. Dari belakangku terdengar suara seorang perempuan sedang berargumen dengan seseorang di teleponnya, sepertinya dia tidak menyadari ada aku disini.

"AMBIL SEMUA UANGMU, LAGIPULA AKU EMANG DILAHIRKAN UNTUK JADI BONEKA AYAH, TAPI SEKARANG AKU AKAN JADI DIRIKU SENDIRI JADI JANGAN HUBUNGI AKU LAGI" dengan nada tinggi dia berbicara sehingga aku bisa mendengarnya.

Saat aku berbalik karena reflekku aku melihat ternyata dia si ketus. Dia menutup teleponnya dan menangis sesenggukkan. Aku bingung harus apa, karena aku sudah terlanjur mendengar percakapannya. Aku mencoba menghampiri dia, karena kurasa dia belum makan siang aku coba tawari dia onigiri. 

"Aku yakin kamu belum makan siang, makanlah. Aku dengar onigiri membuat hati lebih senang" dengan basa-basi dan sedikit kebohongan aku tawari dia untuk makan. 

"Tidak perlu, pergilah dan lupakan apa yang kamu dengar tadi!" dia mengusirku dengan wajah marah. 

"Mau bolos untuk kelas selanjutnya?" tanyaku.

"Kenapa kamu selalu mengikuti aku, bukannya kamu sudah dengar tentang aku dari orang lain?" jawabnya dengan nada yang sedikit turun.

"Aku tidak percaya omongan orang lain tentang kamu, bagaimanapun aku melihat kamu, kamu adalah orang yang tulus tidak berusaha terlihat baik di depan orang lain dan jadi dirimu sendiri, apa aku salah?" tanyaku.

Dia terdiam. "Kamu orang pertama yang melihatku dengan cara yang berbeda" ucapnya dengan wajah menahan tangis.

"Bagaimana, mau bolos untuk kelas selanjutnya tidak?" tanyaku. Lalu dia tersenyum dan mengangguk.

Firasatku benar dia hanya melakukan sikap bertahan dari lingkungan dengan menutupi kelemahannya dengan sikap ketus dan berusaha menutup diri dari lingkungan.

Kami pergi kesebuah bukit dan duduk untuk melihat hiruk pikuk perkotaan dari atas bukit ini. Selama sekitar sepuluh menit kita memandangi perkotaan, dia bertanya,

"Setelah mendengar percakapanku dengan ayahku ditelepon tadi tidak ada yang mau kamu tanyakan tentang aku?" tanyanya.

"Ada, siapa nama kamu? Ini yang ingin aku tanyakan" tanyaku, karena aku rasa kurang pantas jika aku menanyakan tentang apa yang terjadi pada dia.

Dia hanya tertawa dan bertanya "hanya itu?" , aku mengangguk.

"Semua orang di kampus tau, aku anak seorang pebisnis kaya yang memiliki sifat tamak, arogan, dan tidak peduli dengan sekitar. Mereka berlaga tau semua tentang aku, tapi yang mereka tau tentang aku hanya seujung kuku tangan mereka. Aku dibesarkan dengan penuh kemewahan, dari dulu semua yang aku inginkan selalu dikasih. Jika aku gagal mereka mengurangi uang jajanku, mereka merampas mainanku, begitupun jika aku berhasil mereka menambah uang jajanku, memberiku apa yang aku inginkan. Tapi mereka lupa yang aku butuhkan hanya ucapan mereka bangga dan waktu yang mereka luangkan untukku. Mereka bilang kalau aku harus jadi pebisnis seperti mereka tapi mereka lupa aku punya mimpi. Mereka mengatur aku seperti boneka tanpa rasa kasih sayang, karena menurut mereka uang sudah cukup. Hingga saat masuk kuliah, tanpa seizin mereka aku mengambil jurusan sastra, mereka berharap aku mengambil jurusan yang mereka inginkan untuk dapat melanjutkan bisnis ayahku. Ayahku marah besar dan mengancam untuk memutus semua akses keuangan yang diberikan ayahku dan mengancam aku untuk keluar dari rumah. Aku lelah dengan sikap mereka yang menukar semua hal yang aku butuhkan dengan uang, mereka tidak pernah besikap sebagai mana layaknya orang tua memberi kasih sayang kepada anaknya, hubungan kami hanyalah sebatas  uang. Dengan berat dan banyak yang aku korbankan aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal bersama nenekku dan berusaha sendiri memulai semuanya dari nol." Dia bercerita dengan sangat  panjang dengan penuh ketenangan saat menjelaskannya. 

Jujur, aku terkejut dia seterbuka ini menceritakan kehidupannya kepadaku. Tapi yang aku tau pasti sekarang dia hanya perempuan yang berusaha memeluk erat dirinya sendiri, mengobati lukanya sendiri, dan menitih dirinya sendiri menuju kebahagiaan. Ini membuartku ingin menjadi teman baiknya, menjadi tempat bersandarnya, dan menemaninya ditempat gelap.

"Hari dimana kamu memutuskan pergi dari rumah adalah hari dimana kamu memutuskan untuk bahagia. Menjadi egois sekali saja sangatlah tidak apa-apa. Aku salut dengan keberanian kamu melepas penderitaan yang begitu nikmat. Kamu yang paling tau yang terbaik buat kamu, tapi yang terjadi sama kamu kemarin itu menjadikan kamu yang lebih hebat dan kuat sekarang." Ucapku yang aku harap bisa menghiburnya walaupun tidak mungkin. Dia hanya tersenyum, tapi bedanya kini senyumannya terlihat begitu tulus.

"Jadi siapa nama kamu? Kita sekarang berteman, aku memang tidak bisa menarikmu dari kegelapan, tapi aku bisa menemanimu di kegelapan hingga datangnya cahaya terang." ucapku.

"Diara"jawabnya sambil tersenyum.

Kami akhirnya berteman hingga lulus, dan selamanya. 

Semua orang punya dua sisi, sisi satu adalah sisi yang ingin mereka tunjukan kepada dunia dan sisi satunya adalah sisi yang ingin mereka tutup rapat-rapat tanpa celah. Keduanya tetap menjadikan seseorang berarti dalam kehidupan.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun