Firasatku benar dia hanya melakukan sikap bertahan dari lingkungan dengan menutupi kelemahannya dengan sikap ketus dan berusaha menutup diri dari lingkungan.
Kami pergi kesebuah bukit dan duduk untuk melihat hiruk pikuk perkotaan dari atas bukit ini. Selama sekitar sepuluh menit kita memandangi perkotaan, dia bertanya,
"Setelah mendengar percakapanku dengan ayahku ditelepon tadi tidak ada yang mau kamu tanyakan tentang aku?" tanyanya.
"Ada, siapa nama kamu? Ini yang ingin aku tanyakan" tanyaku, karena aku rasa kurang pantas jika aku menanyakan tentang apa yang terjadi pada dia.
Dia hanya tertawa dan bertanya "hanya itu?" , aku mengangguk.
"Semua orang di kampus tau, aku anak seorang pebisnis kaya yang memiliki sifat tamak, arogan, dan tidak peduli dengan sekitar. Mereka berlaga tau semua tentang aku, tapi yang mereka tau tentang aku hanya seujung kuku tangan mereka. Aku dibesarkan dengan penuh kemewahan, dari dulu semua yang aku inginkan selalu dikasih. Jika aku gagal mereka mengurangi uang jajanku, mereka merampas mainanku, begitupun jika aku berhasil mereka menambah uang jajanku, memberiku apa yang aku inginkan. Tapi mereka lupa yang aku butuhkan hanya ucapan mereka bangga dan waktu yang mereka luangkan untukku. Mereka bilang kalau aku harus jadi pebisnis seperti mereka tapi mereka lupa aku punya mimpi. Mereka mengatur aku seperti boneka tanpa rasa kasih sayang, karena menurut mereka uang sudah cukup. Hingga saat masuk kuliah, tanpa seizin mereka aku mengambil jurusan sastra, mereka berharap aku mengambil jurusan yang mereka inginkan untuk dapat melanjutkan bisnis ayahku. Ayahku marah besar dan mengancam untuk memutus semua akses keuangan yang diberikan ayahku dan mengancam aku untuk keluar dari rumah. Aku lelah dengan sikap mereka yang menukar semua hal yang aku butuhkan dengan uang, mereka tidak pernah besikap sebagai mana layaknya orang tua memberi kasih sayang kepada anaknya, hubungan kami hanyalah sebatas  uang. Dengan berat dan banyak yang aku korbankan aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal bersama nenekku dan berusaha sendiri memulai semuanya dari nol." Dia bercerita dengan sangat  panjang dengan penuh ketenangan saat menjelaskannya.Â
Jujur, aku terkejut dia seterbuka ini menceritakan kehidupannya kepadaku. Tapi yang aku tau pasti sekarang dia hanya perempuan yang berusaha memeluk erat dirinya sendiri, mengobati lukanya sendiri, dan menitih dirinya sendiri menuju kebahagiaan. Ini membuartku ingin menjadi teman baiknya, menjadi tempat bersandarnya, dan menemaninya ditempat gelap.
"Hari dimana kamu memutuskan pergi dari rumah adalah hari dimana kamu memutuskan untuk bahagia. Menjadi egois sekali saja sangatlah tidak apa-apa. Aku salut dengan keberanian kamu melepas penderitaan yang begitu nikmat. Kamu yang paling tau yang terbaik buat kamu, tapi yang terjadi sama kamu kemarin itu menjadikan kamu yang lebih hebat dan kuat sekarang." Ucapku yang aku harap bisa menghiburnya walaupun tidak mungkin. Dia hanya tersenyum, tapi bedanya kini senyumannya terlihat begitu tulus.
"Jadi siapa nama kamu? Kita sekarang berteman, aku memang tidak bisa menarikmu dari kegelapan, tapi aku bisa menemanimu di kegelapan hingga datangnya cahaya terang." ucapku.
"Diara"jawabnya sambil tersenyum.
Kami akhirnya berteman hingga lulus, dan selamanya.Â