Mohon tunggu...
Alfredsius Ngese Doja Huller
Alfredsius Ngese Doja Huller Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis adalah salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dari Seminari San Giovanni xxiii Malang

Berbagi sembari belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Refleksi Kritis Mengenai Pancasila, Orientasi Filsafat Nusantara

1 Juni 2022   00:23 Diperbarui: 1 Juni 2022   21:11 1945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Pancasila besar yang jadi lambang cinta Indonesia dan Pancasila di Gereja Katedral Jakarta. (Foto: SYIFA NURI KHAIRUNNISA via kompas.com)

Negara Indonesia adalah negara kesatuan dan Pancasila sebagai dasarnya. Pancasila sebagai dasar negara tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4. 

Sebelum lahirnya Pancasila, adat istiadat, budaya dan agama-agama sudah ada di Indonesia[1]. Oleh karena itu Sukarno dalam pidatonya mengatakan bahwa dia bukan pencipta Pancasila[2]. Dia hanya menggali Pancasila di bumi bangsa Indonesia. kemudian hasil yang ditemukan menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia hingga kini. 

Pancasila, kini selalu bergaung di sekolah-sekolah. Para siswa/i bak burung beo tak kalah pembacaan Pancasila. 

Menurut hemat saya pengulangan sila-sila Pancasila tanpa mendalami makna nilai-nilai falsafahnya adalah hal yang kurang efektif dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila. Sikap anti toleran antar suku, agama dan kelompok. 

Konflik yang terjadi di negeri ini kerap kali bertalian dengan isu agama, perbedaan budaya, serta penghinaan terhadap satu kelompok masyarakat dengan masyarakat yang lain. Dan yang paling fatal adalah ketika ada kelompok masyarakat yang berjuang untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi yang mereka usung. Ideologi yang menurutnya paling cocok dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. 

kebiasaan ini kerap kali menciptakan manusia Indonesia yang hanya tahu pelajaran Pancasila sedangkan butir-butir filosofis Pancasila masih belum dihidupi.

Usaha untuk mengubah Pancasila dengan ideologi tertentu semakin menunjukkan kedunguan dan minimnya pemahaman tentang Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. sebab Pancasila sesungguhnya bentuk aktualisasi dari ajaran filsafat yang berangkat dari kearifan lokal Indonesia[3]. 

Maka sangat tepatlah jika dikatakan bahwa Pancasila sebagai Orientasi Filsafat Nusantara. Sebab nilai-nilai yang sudah ada sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia ribuan tahun yang lalu terus dipelajari dan digali. 

Sampai pada lahirnya sebuah gagasan yang mewakili seluruh keberagaman yang ada di Indonesia yang dapat dijadikan pandangan hidup bersama. Menerima semua dan memberikan kebebasan kepada semua untuk menjalin kerja sama dan persaudaraan yang kuat antara warga masyarakat.

Pancasila sebagai kesepakatan bersama memiliki ciri khas yang menggambarkan keseluruhan wajah Indonesia. Merujuk pada sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa[4]. 

Sebagai orang Indonesia yang memiliki kepercayaan ada wujud yang tertinggi para pendiri negara mencoba untuk berfilsafat mulai dari pengalaman hidup mereka di bumi Nusantara.  

Keunikan ini patut dibanggakan dan disyukuri. Bahwasanya negara kita Indonesia adalah negara yang memiliki sikap dan kepercayaan yang kuat pada Tuhan yang Maha Esa. Sikap ini semakin tampak dalam cara hidup masyarakatnya yang sangat religius dan taat terhadap perintah-perintah agama. 

Religiusitas yang mewarnai percaturan hidup bangsa rupanya tidak selalu menampilkan apa yang diimani. Atau karena terlalu beriman akhirnya jatuh pada apa yang disebut iman buta. 

Percaya begitu saja yang dikatakan atau apa yang didengar. Bahwasanya yang diucapkan oleh kaum religius selalu benar dan tidak dapat dibantah atau tidak dapat salah. Iman buta seperti ini yang masih banyak terjadi di daerah-daerah Indonesia. 

Bahaya yang ditimbulkan adalah orang semakin mudah mengkafirkan sesamanya dan menghakimi orang lain. Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai keberagaman yang unik dan khas untuk menjalani hidup bersama yang harmoni tetapi dipandang sebagai musuh yang berbahaya dan jahat.

ilustrasi-pancasila orientasi filsafat Nuasantara. sumber: slideshare.net
ilustrasi-pancasila orientasi filsafat Nuasantara. sumber: slideshare.net

Konflik yang masih sering terjadi di bumi Nusantara juga disebabkan karena kegagalan masyarakat dalam memaknai Pancasila. Lebih dari itu pemahaman yang minim tentang nilai filosofi Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia lebih membahayakan keutuhan Negara. 

Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah sekaligus seluruh masyarakat Indonesia untuk mendidik warga masyarakat yang lainnya agar memiliki pemahaman akan falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila. 

Hanya dalam hal ini juga masih sering ditemukan persoalan. Sebab masih ada saja masyarakat Indonesia yang tidak mau menemukan nilai-nilai Pancasila bahkan mengenalnya pun tidak. 

Ya, orang-orang seperti ini dapat menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi seluruh masyarakat dan negara.

Berbicara tentang tantangan, budaya menjadi salah satu polemik yang sering menggores Pancasila. 

Falsafah hidup bersama yang telah dibangun di atas dasar yang kokoh yang kita sebut Pancasila acap kali runtuh hanya karena perbedaan budaya. Sebagai masyarakat yang heterogenitas yang terdiri dari pelbagai suku dan etnik dengan karakter yang berbeda-beda. 

Manusia Indonesia masih memiliki sikap primordial yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena belum ada kesadaran akan kesatuan sebagai masyarakat Indonesia yang berada dan berpijak pada bumi Nusantara. 

Selain itu kepicikan yang sering terjadi di masyarakat juga karena masih minimnya pendidikan yang diterima oleh anak-anak Indonesia. melalui pendidikan Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sebagai sarana pemersatu pelbagai suku bangsa, agama dan kebudayaan Indonesia dapat diwujudkan[5].

Selain sebagai tantangan saya setuju dengan tesis yang mengakan bahwa budaya Indonesia sebagai asal usul falsafah hidup masyarakat Indonesia. Hal ini sudah tertuang dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia memiliki rasa sopan santun yang sangat berbeda dengan negara Barat. 

Selain sopan santun manusia Indonesia adalah masyarakat yang berbudi baik. mereka adalah orang-orang yang suka menolong dan memiliki kepedulian terhadap sesamanya. 

Semisal ketika negara sedang di wabah penyakit Covid-19. Di saat orang-orang kehilangan pekerjaan sekaligus pendapatan. Kesusahan mencari makan. 

Masyarakat Indonesia terkhusus yang mampu turut membantu mereka yang miskin dan susah dengan membagi-bagikan sembako serta obat-obatan yang dibutuhkan.  

Saya sendiri mengalami pertolongan dari umat Allah yang memberi sumbangan berupa makanan ketika komunitas kami di lockdown karena ada yang terinfeksi virus Corona. Ini menjadi bukti bahwa Pancasila sebagai ekspresi hidup dari manusia Indonesia[6].

Dalam sila-sila Pancasila ditemukan karakter bangsa Indonesia yang unik dan khas. Praktis hidup masyarakat yang Pancasialis tampak dalam sikap saling menghormati, kasih kepada sesama, toleransi dan memiliki semangat gotong royong[7]. 

Orang asing yang berkunjung ke Indonesia telah membuktikan bahwa manusia Indonesia adalah orang yang baik hati dan rama serta murah senyum kepada siapa pun sebagai tanda persahabatan. 

Agar karakter bangsa Indonesia tidak luntur. Menurut hemat saya manusia Indonesia harus selalu mewarisi tradisi nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu. 

Tradisi seperti apa yang dimaksud? Tentu tradisi yang sudah menjadi darah daging, yakni norma-norma budaya setempat harus tetap dilestarikan. Salah satunya adalah budaya gotong royong. 

Budaya sopan santun serta rasa tahu malu. Tahu malu ini penting dalam konteks moralitas yang penting jangan menjadi manusia yang malu-maluin. 

Sumber

Dismas, Kwirinus. “Pancasila dan Gereja Katolik Indonesia Pasca Konsili Vatikan II: Membangun Sikap Toleransi, Dialog, Solidaritas dan Keseimbangan.” FORUM Filsafat Teologi 47, no. 22–37 (2018): 24.

Todi, Santoso. “Pancasila dan Panca Tugas Gereja.” FORUM Filsafat Teologi 47, no. 101–115 (2018): 102.

Winarno. Paradigma Baru-PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN-Panduan kuliah di Perguruan Tinggi. Diedit oleh Tarmizi. 4 ed. Jakarta Timur, 2020.

Yetva, Softiming Letsoin. “Sila Persatuan Indonesia dan Kaitannya dengan Makna Inkarnasi Yesus Kristus.” FORUM Filsafat Teologi 47, no. 54–68 (2018): 56.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun