UNTUK WANODYA
Aku si lelaki yang lahir dari pahatan
Hilang jejaknya di angkasa
Meredam kesedihan di dalam atma.
Air mengenalku dengan baik
di setiap bait hanya menyairkan rintihan.
Dan di setiap rintihan, menciptakan kepedihan.
Yang bertetes di atas kayu yang lapuk
Apakah itu adil?
Ataukah kau inginkan api yang membakar sepotong ranting sampai jadi bara dan menjadikannya debu?
Ini aku, hanya sebatang rokok
Hanya dinikmati sesaat,
Jikalau sudah? aku terbuang.
Abunya hilang tak kasat mata
Dibawa sirna swasmita
Hingga jauh tatapan mata.
Cahaya candra tak sama seperti silaunya bagaskara
Kau menjadi klandestin di lingkup kekosongan
Tangisanku di bawah cakrawala
berkata :
“kau adalah cintamani yang tertulis di atas syair duka, hingga binar tak ada kegelapan yang menutupi itu.”
Bingung menjadi tanda tanya.
Teratai merah menjadi candu kutatap
“apa dia sujana? atau hanya takdir dari gemintang?”
Di widyakusuma kubercerita
“adakah kirana di dunia? yang akan menjadikanku suci.”
Anila tertawa mendengar itu
“tak ada yang cantik di dunia, hanya primadona saja”
Disentuh kebingungan
Dan setelah itu asmaraloka membuatku tenang, dan ia berkata :
“itu hanyalah konotasi anak muda, jangan tergiur dengan itu! lihatlah sang kelana itu, dia selalu gembira di dalam pedihnya!”
Seorang mahardika merangkulku dan mengajakku pergi.
“lihatlah para batara! mereka selalu kebingungan untuk mengatur rakyatnya, kau hanya perlu jadi dirgantara di antara orang banyak, maka kau akan menjadi baswara.”
Atma berkata:
“usailah pertanyaan di dalam benakmu anak muda, jangan jadikan elegi di dalam puspitamu.”
Sebab kau hanya berperan sebagai sandikala
bukan sebagai amerta dalam harsa.
-Jehuda Alfredo Rahajaan
15 november 2022