Antara Kebiasaan Baik dan Kehilangan Intensionalitas
Â
Kebiasaan baik sering kali menjadi jembatan untuk mencapai tujuan yang lebih besar dalam hidup. Namun, dalam perjalanan menuju efisiensi, kita sering kali melupakan esensi dari tindakan kita, yakni kesadaran dan tujuan yang mendalam.Â
Stephan Joppich, mengungkapkan bahwa kebiasaan baik, meski bermanfaat, sering kali mengorbankan intentionalitas (bisa dibaca niat dasar atau makna dalam arti psikologi dan keterarahan kesadaran dalam arti fenomenologi).
Melalui tulisan pagi ini saya hendak mengajak kita untuk meninjau ulang kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari dengan mendalami apa masalahnya, apa pengalamannya dan apa solusinya bagi kita.
Efisiensi Tanpa Tujuan
Kutipan Joppich menyentuh inti masalah dalam pembentukan kebiasaan baik. Ketika kita mengandalkan kebiasaan untuk mencapai efisiensi, kita sering kali bergerak tanpa tujuan yang jelas. Kebiasaan seperti olahraga setiap pagi, menyusun jadwal harian, atau membaca setiap hari memang sangat berguna dalam kehidupan kita.
Namun, jika kita melakukannya hanya demi rutinitas, tanpa mempertanyakan mengapa kita melakukannya atau bagaimana itu berkaitan dengan tujuan hidup kita, maka kebiasaan tersebut bisa menjadi sekadar tindakan otomatis yang kehilangan makna.
Dalam banyak kasus, kebiasaan yang baik berubah menjadi sesuatu yang kita lakukan "karena sudah biasa" tanpa merenungkan apakah tindakan tersebut masih relevan atau bermanfaat bagi kita.
Misalnya, seseorang yang terbiasa bangun pagi untuk berolahraga mungkin sudah tidak lagi merasakan kepuasan atau pencapaian dari aktivitas tersebut, namun tetap melakukannya hanya untuk mempertahankan kebiasaan. Dalam konteks ini, kebiasaan menjadi sebuah rutinitas yang hilang dari kesadaran dan kesediaan untuk bertindak dengan niat yang jelas.
Kebiasaan sebagai Jalan Menuju Intentionalitas
Meskipun kebiasaan baik sering kali dimulai dengan niat yang murni, mereka dapat mengarah pada kehilangan alasan awal mengapa kita memilih kebiasaan tersebut. Namun, melalui pengalaman, kita dapat memanfaatkan kebiasaan tersebut sebagai alat untuk kembali menemukan makna dalam tindakan kita. Dengan bertanya pada diri sendiri "Mengapa saya melakukannya?" kita dapat menggali kembali tujuan yang mendasari kebiasaan tersebut.
Misalnya, seseorang yang terbiasa membaca setiap hari untuk meningkatkan pengetahuan, bisa mencoba untuk membaca dengan tujuan yang lebih spesifik, seperti memperdalam pemahaman tentang topik tertentu atau mencari inspirasi untuk pengembangan diri. Dengan menambah intentionalitas pada kebiasaan tersebut, membaca tidak lagi menjadi rutinitas yang otomatis, melainkan sebuah pengalaman yang memperkaya hidup.
Menimba pengalaman juga melibatkan evaluasi berkala terhadap kebiasaan yang kita jalani. Kita harus bertanya, apakah kebiasaan tersebut masih mendukung tujuan jangka panjang kita? Jika tidak, apakah ada cara untuk menyesuaikannya agar tetap relevan dengan perubahan hidup kita? Dengan demikian, kebiasaan baik bisa menjadi pintu untuk memperkuat tujuan hidup kita, bukan sebaliknya, sebuah penghambat untuk mencapainya.