Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tanpa Presidential Threshold, Demokrasi atau Demokrasi ala Circus?

4 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 5 Januari 2025   08:13 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa Presidential Threshold: Demokrasi atau Demokrasi ala Circus?

Bayangkan ini: pesta demokrasi terbesar di negeri ini berubah menjadi festival dengan 30 panggung, masing-masing memamerkan calon presiden yang siap "menghibur" penonton. Dari artis, selebgram, pengusaha, hingga mantan gamer profesional, semua wajah menghiasi kertas suara yang panjangnya mungkin perlu digulung seperti naskah film. Apakah ini benar-benar demokrasi? Atau sekadar sirkus yang dibungkus dalam jargon kebebasan politik?

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Presidential Threshold membuka peluang bagi lebih banyak kandidat untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Dari satu sisi, ini terlihat seperti langkah maju dalam menjamin hak asasi masyarakat untuk memilih dan dipilih. Namun, seperti kata pepatah, "Jalan menuju neraka sering kali dilapisi niat baik." Tanpa Presidential Threshold, kita menghadapi beberapa potensi masalah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

(sumber: KompasTV)
(sumber: KompasTV)

Keramaian yang Berujung Kekacauan?

Dalam sistem demokrasi yang ideal, keanekaragaman calon seharusnya menjadi kekuatan yang memperkaya pilihan pemilih. Namun, ketika jumlah calon yang bertanding mencapai tingkat yang mencolok, risiko terjadinya kekacauan dalam proses pemilihan semakin tinggi. Tantangan ini tidak hanya berdampak pada kualitas pemilihan, tetapi juga bisa menggerus kepercayaan publik terhadap sistem politik yang ada. Mari kita telusuri lebih dalam tiga isu penting yang dapat muncul akibat keramaian calon dalam pemilu.

Pertama, keterbatasan waktu dan infrastruktur menjadi tantangan nyata. Dengan jumlah calon yang begitu banyak, proses pemungutan suara bisa berubah menjadi tugas berat bagi pemilih. Jangan lupa, ruang pencoblosan bukanlah bioskop dengan sistem reservasi tempat duduk.

Kedua, tanpa filter awal, kemungkinan besar kita akan melihat calon-calon yang lebih mementingkan popularitas daripada kompetensi. Fenomena ini bisa menciptakan ruang bagi figur publik yang tidak memiliki latar belakang politik untuk mendominasi, hanya karena mereka lebih dikenal oleh masyarakat.

Ketiga, fragmentasi politik dapat menjadi ancaman serius bagi stabilitas pemerintahan. Tanpa koalisi partai yang kuat, presiden terpilih kemungkinan besar akan menghadapi tantangan berat dalam menjalankan roda pemerintahan.

(empat mahasiswa UIN SUKA Yogyakarta yang mengajukan JR, sumber: bengkulu.tribunnews)
(empat mahasiswa UIN SUKA Yogyakarta yang mengajukan JR, sumber: bengkulu.tribunnews)

Belajar dari Opera dan Circus Negara Lain

Sejenak kita bercermin pada pengalaman negara lain. Italia, dengan politiknya yang seperti opera, sering kali harus menghadapi pemerintahan yang berumur pendek. Ketidakstabilan ini sering kali disebabkan oleh koalisi politik yang rapuh dan perselisihan antara partai-partai yang berkuasa. Di sisi lain, fenomena ini juga menciptakan dinamika politik yang unik, di mana perubahan cepat dalam kepemimpinan menjadi hal yang biasa, dan masyarakat belajar untuk beradaptasi dengan realitas ini.

Filipina memberikan pelajaran bahwa pemimpin populer tidak selalu memiliki kapasitas memadai. Contoh paling jelas terlihat dalam beberapa pemilihan, di mana popularitas seseorang di media sosial dapat mengalahkan penilaian objektif terhadap pengalaman dan kemampuan kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi politik di kalangan pemilih agar mereka dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dan berdasarkan informasi yang tepat.

Sedangkan India meski tanpa Presidential Threshold, sistem parlementernya secara tidak langsung menyaring calon yang benar-benar pantas memimpin. Sistem ini mendorong adanya partisipasi politik yang lebih luas dan memberikan kesempatan bagi berbagai suara untuk didengar. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal korupsi dan pengaruh uang dalam politik, yang bisa merusak kualitas kepemimpinan meskipun melalui proses yang lebih demokratis.

Dari sini, kita belajar bahwa kebebasan tanpa regulasi sering kali menciptakan kekacauan. Kerangka hukum dan regulasi yang jelas tidak dapat diabaikan, karena hal ini berfungsi untuk memastikan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh individu dan partai politik tidak mengarah pada anarki. Dengan belajar dari pengalaman negara lain, dapat diperoleh wawasan berharga dalam membangun sistem politik yang lebih stabil dan responsif.

Demokrasi yang Seimbang: Kebebasan dan Tanggung Jawab

Apakah itu berarti kita harus kembali ke Presidential Threshold? Tidak juga! Kita harus mencari solusi yang inovatif dan kontekstual, yang dapat menyesuaikan dengan dinamika politik dan budaya lokal. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap individu tetap memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses demokratis tanpa dibatasi oleh persyaratan yang terlalu ketat. Demokrasi sejatinya adalah soal keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.

Jika kebebasan memilih dan dipilih adalah hak asasi, maka memastikan kandidat yang kompeten adalah tanggung jawab negara. Tanggung jawab ini tidak hanya terbatas pada pemilihan umum, tetapi juga mencakup pengawasan dan evaluasi berkelanjutan terhadap kinerja pejabat yang terpilih. Dengan cara ini, masyarakat dapat mengetahui apakah pemimpin mereka memenuhi ekspektasi dan dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang diambil. Misalnya, kita bisa mengadopsi mekanisme penyaringan berbasis kompetensi.

Calon harus memiliki pengalaman tertentu di pemerintahan atau organisasi besar. Ia akan membantu menghasilkan kandidat yang lebih berpengalaman dan siap menghadapi tantangan nyata di lapangan. Selain itu, kriteria kompetensi yang jelas dapat membantu publik dalam memilih pemimpin yang dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat. Selain itu, debat publik yang ketat dapat menjadi ujian nyata bagi visi, misi, dan kebijakan para calon.

Edukasi politik kepada masyarakat juga sangat penting agar mereka bisa memilih berdasarkan kompetensi, bukan sekadar karisma. Program-program edukasi harus diterapkan secara berkelanjutan dan mencakup berbagai lapisan masyarakat untuk mencapai dampak yang maksimal. Melalui peningkatan kesadaran politik, masyarakat diharapkan dapat berkontribusi pada terciptanya pemilu yang lebih berkualitas dan pemerintahan yang lebih efektif.

Dengan demikian, menciptakan demokrasi yang seimbang antara kebebasan dan tanggung jawab adalah suatu keharusan. Peran aktif masyarakat dalam proses politik harus didukung oleh sistem yang transparan dan akuntabel untuk memastikan bahwa setiap suara memiliki arti. Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun pemerintahan yang responsif dan mampu memenuhi harapan rakyat.

 

Pisau Dapur Demokrasi: Bebas, Tapi Jangan Melukai

Mari kita buat skenarionya lebih filosofis. Dalam demokrasi, kebebasan memilih adalah seperti pisau dapur: bisa digunakan untuk merajang bumbu-bumbu sehingga bisa memasak makanan lezat atau justru melukai diri sendiri. Contohnya, dalam berbagai pemilihan umum di seluruh dunia, sering kali kita melihat kandidat yang terpilih tidak memiliki pengalaman yang memadai, sehingga kebijakan yang mereka buat justru berpotensi merugikan masyarakat. Penggunaan media sosial untuk kampanye juga bisa menjadi pedang bermata dua, di mana informasi yang keliru atau berbahaya dapat menyebar dengan cepat dan memengaruhi keputusan pemilih.

Tanpa pengawasan dan tanggung jawab, kebebasan itu bisa berubah menjadi alat penghancur. Misalnya, krisis politik di beberapa negara menunjukkan bagaimana kekuatan populisme yang tidak terkendali bisa menggoyang fondasi demokrasi. Situasi ini menekankan pentingnya regulasi yang ketat untuk memastikan bahwa kandidat tidak hanya memiliki popularitas, tetapi juga integritas dan visi yang jelas untuk masa depan.

Oleh karena itu, solusi ideal adalah membangun sistem yang memastikan bahwa setiap calon yang muncul di kertas suara telah melalui seleksi yang ketat, baik secara formal maupun informal. Sistem ini harus melibatkan partisipasi dari berbagai sektor, termasuk akademisi dan praktisi, untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap calon. Di beberapa negara, seperti Jerman, ada lembaga independen yang berperan dalam menilai kelayakan calon pemimpin, yang bisa menjadi contoh bagi negara lain untuk diadaptasi.

Persyaratan minimum seperti pengalaman pemerintahan, pendidikan, atau pengabdian masyarakat harus menjadi syarat mutlak untuk mencalonkan diri. Ini bisa diimplementasikan dengan membuat profil kandidat yang transparan dan memuat riwayat hidup serta pencapaian yang relevan. Dengan cara ini, pemilih dapat memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi penting yang membantu mereka dalam membuat pilihan yang tepat saat pemilu.

Dukungan publik nyata dalam bentuk tanda tangan atau petisi yang diverifikasi juga dapat menjadi alat penyaring yang efektif. Proses ini dapat mengurangi risiko munculnya calon yang hanya populer di media sosial tanpa dukungan nyata dari masyarakat. Selain itu, langkah ini juga bisa mengedukasi masyarakat tentang apa yang diperlukan untuk mencalonkan diri, sehingga mendorong lebih banyak individu berkualitas untuk berpartisipasi dalam dunia politik.

Meski Presidential Threshold dihapus, koalisi partai tetap bisa didorong untuk membangun visi bersama yang kuat. Contoh keberhasilan koalisi di negara-negara Skandinavia menunjukkan bahwa persatuan di antara partai-partai dapat membawa stabilitas dan keberlanjutan dalam pemerintahan. Dengan memfasilitasi dialog dan kerjasama antar partai, kita bisa menciptakan lingkungan politik yang lebih konstruktif dan inklusif.

Simpulan: Demokrasi dengan Rasa Kopi Asli

Tanpa Presidential Threshold, demokrasi Indonesia memang terlihat lebih inklusif. Namun, tanpa mekanisme pengendalian, kita hanya menciptakan demokrasi dengan rasa sirkus: penuh tawa, tapi kosong substansi.

Sebagai negara yang terus belajar dari masa lalu, kita harus memastikan bahwa pesta demokrasi tidak berubah menjadi panggung komedi. Hak untuk memilih dan dipilih memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan bahwa pilihan yang ada benar-benar layak. Mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa, "Demokrasi adalah seni memilih orang yang paling tidak kita benci, paling populer, tapi yang ada isi, bukan yang penting asal ada." Mari jadikan seni itu lebih bernilai dengan menyaring kandidat yang benar-benar pantas memimpin negeri ini.

Sebab, seperti kopi tanpa gula, kebebasan tanpa akuntabilitas hanyalah ilusi yang pahit. Dan siapa yang ingin menelan ilusi pahit saat kita bisa menyeduh masa depan yang manis yang keluar dari janji-janji yang belum ada juntrungan buktinya? Tanpa Presidential Threshold demokrasi seperti buah simalakama (buah yang tak pernah ada wujudnya tetapi sering dipakai sebagai perumpamaan), "dimakan mati, tak dimakan juga mati."

Sumber Rujukan

Presidential Threshold Bertentangan dengan Konstitusi, dalam https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21997&menu=2

https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_11344_1735807848.pdf

https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-court-says-vote-threshold-presidential-candidates-not-legally-binding-2025-01-02/?

https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-dampak-pasca-penghapusan-presidential-threshold-di-indonesia-lt6777c0f91cd27/

https://nasional.kompas.com/read/2025/01/03/14421211/mahfud-md-sebut-putusan-mk-hapus-presidential-threshold-harus-ditaati-ini#google_vignette

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250103085017-32-1183339/menteri-yusril-putusan-mk-hapus-presidential-threshold-final

https://nasional.kompas.com/read/2025/01/03/15313741/apa-dampak-penghapusan-presidential-threshold-bagi-partai-dan-publik

https://www.hukumonline.com/berita/a/mk-hapus-presidential-threshold--prof-umbu--keputusan-berani-lt67775d638b39c/

https://news.detik.com/berita/d-7716250/pemerintah-pelajari-putusan-mk-hapus-presidential-threshold-20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun