Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tanpa Presidential Threshold, Demokrasi atau Demokrasi ala Circus?

4 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 5 Januari 2025   08:13 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedangkan India meski tanpa Presidential Threshold, sistem parlementernya secara tidak langsung menyaring calon yang benar-benar pantas memimpin. Sistem ini mendorong adanya partisipasi politik yang lebih luas dan memberikan kesempatan bagi berbagai suara untuk didengar. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal korupsi dan pengaruh uang dalam politik, yang bisa merusak kualitas kepemimpinan meskipun melalui proses yang lebih demokratis.

Dari sini, kita belajar bahwa kebebasan tanpa regulasi sering kali menciptakan kekacauan. Kerangka hukum dan regulasi yang jelas tidak dapat diabaikan, karena hal ini berfungsi untuk memastikan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh individu dan partai politik tidak mengarah pada anarki. Dengan belajar dari pengalaman negara lain, dapat diperoleh wawasan berharga dalam membangun sistem politik yang lebih stabil dan responsif.

Demokrasi yang Seimbang: Kebebasan dan Tanggung Jawab

Apakah itu berarti kita harus kembali ke Presidential Threshold? Tidak juga! Kita harus mencari solusi yang inovatif dan kontekstual, yang dapat menyesuaikan dengan dinamika politik dan budaya lokal. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap individu tetap memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses demokratis tanpa dibatasi oleh persyaratan yang terlalu ketat. Demokrasi sejatinya adalah soal keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.

Jika kebebasan memilih dan dipilih adalah hak asasi, maka memastikan kandidat yang kompeten adalah tanggung jawab negara. Tanggung jawab ini tidak hanya terbatas pada pemilihan umum, tetapi juga mencakup pengawasan dan evaluasi berkelanjutan terhadap kinerja pejabat yang terpilih. Dengan cara ini, masyarakat dapat mengetahui apakah pemimpin mereka memenuhi ekspektasi dan dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang diambil. Misalnya, kita bisa mengadopsi mekanisme penyaringan berbasis kompetensi.

Calon harus memiliki pengalaman tertentu di pemerintahan atau organisasi besar. Ia akan membantu menghasilkan kandidat yang lebih berpengalaman dan siap menghadapi tantangan nyata di lapangan. Selain itu, kriteria kompetensi yang jelas dapat membantu publik dalam memilih pemimpin yang dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat. Selain itu, debat publik yang ketat dapat menjadi ujian nyata bagi visi, misi, dan kebijakan para calon.

Edukasi politik kepada masyarakat juga sangat penting agar mereka bisa memilih berdasarkan kompetensi, bukan sekadar karisma. Program-program edukasi harus diterapkan secara berkelanjutan dan mencakup berbagai lapisan masyarakat untuk mencapai dampak yang maksimal. Melalui peningkatan kesadaran politik, masyarakat diharapkan dapat berkontribusi pada terciptanya pemilu yang lebih berkualitas dan pemerintahan yang lebih efektif.

Dengan demikian, menciptakan demokrasi yang seimbang antara kebebasan dan tanggung jawab adalah suatu keharusan. Peran aktif masyarakat dalam proses politik harus didukung oleh sistem yang transparan dan akuntabel untuk memastikan bahwa setiap suara memiliki arti. Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun pemerintahan yang responsif dan mampu memenuhi harapan rakyat.

 

Pisau Dapur Demokrasi: Bebas, Tapi Jangan Melukai

Mari kita buat skenarionya lebih filosofis. Dalam demokrasi, kebebasan memilih adalah seperti pisau dapur: bisa digunakan untuk merajang bumbu-bumbu sehingga bisa memasak makanan lezat atau justru melukai diri sendiri. Contohnya, dalam berbagai pemilihan umum di seluruh dunia, sering kali kita melihat kandidat yang terpilih tidak memiliki pengalaman yang memadai, sehingga kebijakan yang mereka buat justru berpotensi merugikan masyarakat. Penggunaan media sosial untuk kampanye juga bisa menjadi pedang bermata dua, di mana informasi yang keliru atau berbahaya dapat menyebar dengan cepat dan memengaruhi keputusan pemilih.

Tanpa pengawasan dan tanggung jawab, kebebasan itu bisa berubah menjadi alat penghancur. Misalnya, krisis politik di beberapa negara menunjukkan bagaimana kekuatan populisme yang tidak terkendali bisa menggoyang fondasi demokrasi. Situasi ini menekankan pentingnya regulasi yang ketat untuk memastikan bahwa kandidat tidak hanya memiliki popularitas, tetapi juga integritas dan visi yang jelas untuk masa depan.

Oleh karena itu, solusi ideal adalah membangun sistem yang memastikan bahwa setiap calon yang muncul di kertas suara telah melalui seleksi yang ketat, baik secara formal maupun informal. Sistem ini harus melibatkan partisipasi dari berbagai sektor, termasuk akademisi dan praktisi, untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap calon. Di beberapa negara, seperti Jerman, ada lembaga independen yang berperan dalam menilai kelayakan calon pemimpin, yang bisa menjadi contoh bagi negara lain untuk diadaptasi.

Persyaratan minimum seperti pengalaman pemerintahan, pendidikan, atau pengabdian masyarakat harus menjadi syarat mutlak untuk mencalonkan diri. Ini bisa diimplementasikan dengan membuat profil kandidat yang transparan dan memuat riwayat hidup serta pencapaian yang relevan. Dengan cara ini, pemilih dapat memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi penting yang membantu mereka dalam membuat pilihan yang tepat saat pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun