Dalam dunia pendidikan yang terus berkembang, pertanyaan tentang efektivitas ujian nasional sebagai alat ukur prestasi siswa semakin mengemuka. Apakah kita telah terjebak dalam rutinitas pengukuran yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman?
Mengukur pendidikan tanpa ujian nasional mungkin menjadi solusi yang menjanjikan, membuka jalan baru untuk menilai kemampuan dan potensi siswa secara lebih holistik.
Melalui artikel yang saya tulis di ruang kelas ini (hari pertama masuk sekolah di tahun 2025), saya ingin mengajak pembaca menelusuri alasan di balik perlunya pendekatan baru dalam pengukuran pendidikan dan bagaimana hal ini dapat membawa dampak positif bagi generasi mendatang.
Antara Tradisi dan Transformasi
Ujian Nasional (UN) pernah menjadi pilar utama evaluasi pendidikan di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman dan implementasi Kurikulum Merdeka, polemik mengenai keberadaan UN kembali mencuat.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah UN masih relevan di tengah upaya mendorong pembelajaran yang lebih personal dan berbasis kompetensi, atau justru menghambat inovasi dalam dunia pendidikan?
Mari kita mencoba untuk menelusuri kegunaan, tantangan, dan alternatif dari UN, serta mengulas apakah Kurikulum Merdeka masih membutuhkan UN.
Ujian Nasional: Alat Evaluasi atau Beban Sistemik?
Sejak awal, Ujian Nasional dirancang sebagai instrumen untuk mengukur pencapaian standar pendidikan nasional di Indonesia. UN memberikan parameter yang sama untuk menilai kompetensi siswa di seluruh Indonesia. Keberadaan UN juga dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, terutama pada mata pelajaran yang diujikan.
Namun demikian, Ujian Nasional juga menghadirkan sejumlah tantangan. Banyak siswa merasa stres karena UN sering kali dianggap sebagai penentu masa depan mereka.Â
Selain itu, siswa di daerah terpencil sering kali mengalami kendala infrastruktur dan sumber daya yang memengaruhi hasil UN. Fokus pada mata pelajaran tertentu dalam UN juga membuat bakat siswa di bidang lain kurang mendapat perhatian.
Jika pemerintah berniat sungguh untuk membuat standarisasi pendidikan nasional lewat UN, yang utama dan pertama adalah melakukan pemerataan sarana dan prasarana pendidikan di semua tingkatan. Jika di Papua atau daerah pinggiran lainnya harus sama dengan di Jakarta atau kota besar lainnya.Â
Tetapi itu sepertinya hanyalah sebuah panggang jauh dari api, suatu harapan yang ketinggian yang bisa dilakukan oleh pejabat negara kita. Jangankan sarana pendidikan, tenaga pendidikan saja masih jauh seperti utara dan selatan.
Kurikulum Merdeka dan Paradigma Baru Evaluasi
Dengan implementasi Kurikulum Merdeka, pendekatan pendidikan di Indonesia telah bergeser dari standarisasi menuju personalisasi. Kurikulum ini menekankan pada pembelajaran berbasis proyek, eksplorasi minat, dan pengembangan keterampilan abad ke-21. Dalam konteks ini, keberadaan UN menjadi semakin dipertanyakan.
Filosofi Kurikulum Merdeka yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih jalur belajar mereka tidak sejalan dengan pendekatan "satu ukuran untuk semua" yang dimiliki UN.Â
Sebagai gantinya, pengembangan sistem evaluasi berbasis kompetensi yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa lebih relevan dengan semangat Kurikulum Merdeka.
Rencana kemendikdasmen agar UN hanya dilaksanakan di sekolah yang terakreditasi juga menimbulkan sebuah polemik baru, seolah-olah sekolah yang belum terakreditasi tidak diperhitungkan, tidak dianggap.Â
Sebaiknya kebijakan samacam ini dikaji secara lebih luas, bijak dan mendetail supaya tidak memberi kesan ganti menteri ganti kebijakan, yang penting asal beda.Â
Emang satuan pendidikan hanya sebuah alat uji coba pendapat pejabat? Betapa repotnya para guru dengan berbagai tugas administratif termasuk kurikulum yang berubah-ubah (namun belum sungguh didukung oleh penghargaan yang layak bagi para guru)
Alternatif Evaluasi: Uji Kompetensi Berbasis Minat
Dalam menggantikan Ujian Nasional, Indonesia dapat mengambil inspirasi dari negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan evaluasi pendidikan yang lebih fleksibel.Â
Salah satu alternatifnya adalah evaluasi berbasis portofolio dan proyek, seperti yang diterapkan di Finlandia, di mana siswa dievaluasi melalui portofolio yang menunjukkan perkembangan mereka selama masa studi.
Selain itu, Jepang memiliki ujian berbasis bidang studi yang memungkinkan siswa untuk fokus pada minat mereka. Negara-negara seperti Singapura juga mulai menilai siswa berdasarkan keterampilan hidup dan kontribusi sosial mereka.Â
Di Indonesia, pendekatan ini dapat diwujudkan melalui proyek akhir yang relevan dengan minat siswa, seperti membuat karya seni, menulis esai, atau menciptakan produk inovatif. Selain itu, ujian modular yang mencerminkan keterampilan spesifik yang telah dipelajari siswa selama tahun ajaran juga dapat menjadi solusi.
Dari pengalaman mengajar di dua SMK dengan kompentensi yang berbeda: SMK Perhotelan dan Tata Busana dan SMK Kesehatan ujian nasional menjadi tidak penting, karena yang dibutuhkan justru standar kompentensi yang ditetapkan sekolah yang bersangkutan dengan para pihak yang terkait (seperti perhotelan atau rumah sakit).Â
Siswa justru lebih mempersiapkan diri untuk menjadi pribadi yang berkompeten dengan bidangnya tanpa takut dia akan lulus UN atau tidak.Â
Apalagi sekarang dengan kurikulum Merdeka melalui salah satu proyek P5-nya, siswa justru lebih tertantang mengembangkan segala potensi dirinya baik secara personal maupun komunal bersama teman-teman kelompoknya.Â
Pendapat Beragam: Guru, Siswa, dan Orangtua
Pandangan terhadap Ujian Nasional bervariasi tergantung pada sudut pandang. Sebagian besar guru merasa bahwa tanpa Ujian Nasional, mereka memiliki lebih banyak fleksibilitas dalam mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Namun, ada juga kekhawatiran mengenai kurangnya alat ukur standar.
Bagi siswa, banyak yang merasa lebih nyaman tanpa tekanan Ujian Nasional, meskipun ada pula yang kehilangan motivasi untuk belajar secara intensif.Â
Sementara itu, orangtua memiliki pandangan yang beragam. Sebagian orangtua menganggap Ujian Nasional membantu mereka memantau perkembangan anak, sementara yang lain merasa bahwa UN lebih banyak membawa tekanan dibanding manfaat.
Kesimpulan: Menuju Evaluasi yang Holistik
Menghapus Ujian Nasional bukan berarti menghilangkan evaluasi pendidikan, melainkan mengubah cara kita menilai keberhasilan siswa.Â
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, penting untuk mengadopsi pendekatan evaluasi yang lebih holistik. Evaluasi ini harus menghargai keberagaman kemampuan siswa dan mendorong pembelajaran sepanjang hayat.Â
Dengan demikian, evaluasi pendidikan tidak hanya menjadi alat ukur, tetapi juga wahana untuk menginspirasi generasi penerus bangsa.
Daftar Rujukan
kemdikbud.go.id | antaranews.com | journal.unesa.ac.id | kurikulum.kemdikbud.go.id | kompas.com | kompas.com/edu | kompas.com/ujian-nasional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H