Badan Bank Tanah (4): Tanah untuk Semua, Mengurai Peran Badan Bank Tanah dalam Mewujudkan Keadilan Agraria
Tanah adalah dasar kehidupan, menjadi tempat berpijak sekaligus sumber penghidupan bagi manusia. Namun, di tengah derasnya arus pembangunan dan penguasaan lahan oleh segelintir pihak, keadilan agraria masih menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.
Dalam konteks inilah Badan Bank Tanah hadir sebagai solusi strategis. Namun, mampukah lembaga ini mengatasi sengkarut ketimpangan tanah di Indonesia? Ataukah ia hanya akan menjadi wacana tanpa jejak nyata?
Dalam artikel keempat saya ini saya akan mengupas peran, tantangan, dan harapan terhadap Badan Bank Tanah dari perspektif filosofi pertanahan, perspekatif hukum dan kebijakan tata ruang serta perspektif sosio-antropologi dalam mewujudkan keadilan agraria.
Perspektif Filosofi Pertanahan: Mengapa Negara Harus Hadir?
Tanah tidak hanya sekadar aset fisik, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam. Dalam filsafat sosial, tanah adalah simbol keberadaan manusia sebagai makhluk yang berakar pada ruang dan waktu, pada konteks sosial budaya tertentu.
Negara memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa tanah sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat diakses secara adil oleh semua lapisan masyarakat. Prinsip keadilan distributif, sebagaimana dirumuskan oleh filsuf seperti John Rawls, menekankan pentingnya distribusi sumber daya untuk memastikan bahwa pihak yang paling rentan tetap memiliki akses terhadap kebutuhan dasar.
Kehadiran negara melalui Badan Bank Tanah adalah wujud nyata dari tanggung jawab negara untuk melindungi hak asasi setiap warganya atas tanah. Tanpa kehadiran negara, tanah berpotensi menjadi alat eksploitasi, di mana pihak-pihak dengan modal besar menguasai lahan dalam jumlah masif, sementara masyarakat kecil kehilangan akses terhadap ruang hidupnya. Badan Bank Tanah, dengan mandatnya, harus menjadi instrumen untuk merealisasikan prinsip keadilan ini.
Perspektif Hukum dan Kebijakan Tata Ruang
Dalam kerangka hukum, Badan Bank Tanah adalah manifestasi dari amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengaturan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan dasar legalitas yang kuat untuk pembentukan dan operasionalisasi Badan Bank Tanah. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada harmonisasi dengan kebijakan tata ruang nasional.
Kebijakan tata ruang menjadi landasan penting untuk memastikan bahwa tanah yang dikelola oleh Badan Bank Tanah sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, kawasan pertanian produktif harus dilindungi dari alih fungsi lahan untuk perumahan atau industri.
Di sisi lain, kawasan kumuh di perkotaan harus dioptimalkan menjadi lahan hunian yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan tata ruang yang terintegrasi dengan tugas Badan Bank Tanah akan memastikan bahwa distribusi dan penggunaan tanah mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Namun, tantangan yang muncul adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi kebijakan tata ruang. Selain itu, keberadaan mafia tanah yang sering kali melibatkan oknum di lembaga pemerintah menjadi penghambat besar bagi efektivitas Badan Bank Tanah. Diperlukan mekanisme pengawasan yang ketat serta penerapan hukum yang tegas untuk memastikan bahwa tujuan lembaga ini tidak diselewengkan.
Perspektif Sosiologi dan Antropologi: Kepemilikan Tanah di Mata Masyarakat
Dalam pandangan sosiologi dan antropologi, tanah memiliki dimensi yang sangat personal sekaligus kolektif. Tanah sering kali dianggap sebagai identitas kultural dan simbol keberlanjutan generasi. Masyarakat adat, misalnya, memandang tanah sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan [sehingga tidak heran sering terjadi perang adat karena perebutan tapal batas tanah. Ketika masih kecil di daerah Nagekeo lalu saat remaja di Ngada, sering mendengar dan menyaksikan orang ribut bahkan harus kehilangan nyawa karena perebutan tanah adat, tanah warisan leluhur], bukan sekadar aset ekonomi [yang bisa diperjualkan belikan dengan gampang seperti orang menjual kacang goreng di warung].
Badan Bank Tanah harus mampu mengakomodasi perspektif ini dengan menghormati hak-hak ulayat dan memastikan bahwa kepemilikan tanah tidak tercerabut dari akar budaya masyarakat.
Dalam masyarakat modern, akses terhadap tanah juga berhubungan dengan martabat dan peluang ekonomi. Ketimpangan dalam kepemilikan tanah dapat memperdalam jurang sosial dan ekonomi, sehingga negara wajib hadir untuk mengatasi ketimpangan ini melalui kebijakan redistribusi yang adil.
Kepemilikan tanah tidak hanya sekadar berfungsi sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tetapi juga merupakan landasan bagi stabilitas sosial dan identitas komunitas.
Dalam konteks ini, kehadiran negara sangat penting untuk memastikan bahwa hak atas tanah dilindungi dan dikelola dengan baik. Negara memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum yang berkeadilan dan melindungi hak-hak masyarakat yang lebih rentan, terutama komunitas adat yang sering kali terpinggirkan oleh perkembangan ekonomi yang cepat.
Dengan kebijakan yang tepat, termasuk penyusunan hukum yang inklusif dan mekanisme penyelesaian sengketa tanah, negara dapat menciptakan lingkungan di mana semua kelompok masyarakat dapat mengakses dan mengelola tanah secara adil, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.
Keberadaan negara yang responsif dan proaktif dalam pengelolaan kepemilikan tanah akan membantu memperkuat kohesi sosial dan menjaga keberlanjutan nilai-nilai budaya yang terkait dengan tanah sebagai bagian dari warisan dan identitas masyarakat.
Urgensi Badan Bank Tanah Secara Politik: Keberpihakan pada Rakyat
Secara politik, Badan Bank Tanah mencerminkan keberpihakan negara terhadap rakyat kecil. Di tengah dominasi kepentingan korporasi besar, kehadiran lembaga ini menjadi sinyal bahwa negara tidak memihak pada segelintir elite ekonomi.[meski kenyataan di lapangan masih terjadi tumpang tindih karena ulah segelintir oknum yang berusaha mencari keuntungan pribadi.]
Badan Bank Tanah harus menunjukkan keberanian politik untuk menghadapi mafia tanah dan praktik korupsi yang sering menghambat distribusi tanah secara adil.
Keberhasilan Badan Bank Tanah tidak hanya ditentukan oleh regulasi, tetapi juga oleh komitmen politik yang kuat. Pemerintah perlu menjamin transparansi dalam pengelolaan tanah dan memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan tanah tersebut secara produktif. Dengan demikian, tanah menjadi instrumen strategis untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Penutup
Filosofi pertanahan, kebijakan tata ruang, serta perspektif sosiologi dan antropologi semuanya menegaskan pentingnya kehadiran negara dalam pengelolaan tanah.Â
Badan Bank Tanah adalah representasi konkret dari tanggung jawab negara untuk menciptakan keadilan agraria. Namun, keberhasilan lembaga ini membutuhkan sinergi lintas sektor, komitmen politik, dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal.
Dengan pengelolaan yang tepat, Badan Bank Tanah dapat menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa menuju distribusi tanah yang lebih adil dan berkelanjutan.Â
Harapannya, tanah tidak hanya menjadi milik sebagian kecil pihak, tetapi menjadi sumber kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Referensi
https://indonesia.go.id/kategori/editorial/4048/bank-tanah-untuk-keadilan?
Youtube Kementerian ATR BPN: [FORUM ILMIAH 2024] PERAN BANK TANAH DALAM PENJAMINAN KETERSEDIAAN TANAH YANG BERKEADILAN
https://repository.stpn.ac.id/3591/1/Problem_Agraria_Sistem_Masyarakat_Adat_2015-dikompresi.pdf
TINJAUAN HUKUM PERAN BANK TANAH DALAM PENGELOLAAN ASET TANAH, https://jurnal.fakum.untad.ac.id/index.php/TPS/article/view/1144
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H