Kebijakan tata ruang menjadi landasan penting untuk memastikan bahwa tanah yang dikelola oleh Badan Bank Tanah sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, kawasan pertanian produktif harus dilindungi dari alih fungsi lahan untuk perumahan atau industri.
Di sisi lain, kawasan kumuh di perkotaan harus dioptimalkan menjadi lahan hunian yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan tata ruang yang terintegrasi dengan tugas Badan Bank Tanah akan memastikan bahwa distribusi dan penggunaan tanah mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Namun, tantangan yang muncul adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi kebijakan tata ruang. Selain itu, keberadaan mafia tanah yang sering kali melibatkan oknum di lembaga pemerintah menjadi penghambat besar bagi efektivitas Badan Bank Tanah. Diperlukan mekanisme pengawasan yang ketat serta penerapan hukum yang tegas untuk memastikan bahwa tujuan lembaga ini tidak diselewengkan.
Perspektif Sosiologi dan Antropologi: Kepemilikan Tanah di Mata Masyarakat
Dalam pandangan sosiologi dan antropologi, tanah memiliki dimensi yang sangat personal sekaligus kolektif. Tanah sering kali dianggap sebagai identitas kultural dan simbol keberlanjutan generasi. Masyarakat adat, misalnya, memandang tanah sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan [sehingga tidak heran sering terjadi perang adat karena perebutan tapal batas tanah. Ketika masih kecil di daerah Nagekeo lalu saat remaja di Ngada, sering mendengar dan menyaksikan orang ribut bahkan harus kehilangan nyawa karena perebutan tanah adat, tanah warisan leluhur], bukan sekadar aset ekonomi [yang bisa diperjualkan belikan dengan gampang seperti orang menjual kacang goreng di warung].
Badan Bank Tanah harus mampu mengakomodasi perspektif ini dengan menghormati hak-hak ulayat dan memastikan bahwa kepemilikan tanah tidak tercerabut dari akar budaya masyarakat.
Dalam masyarakat modern, akses terhadap tanah juga berhubungan dengan martabat dan peluang ekonomi. Ketimpangan dalam kepemilikan tanah dapat memperdalam jurang sosial dan ekonomi, sehingga negara wajib hadir untuk mengatasi ketimpangan ini melalui kebijakan redistribusi yang adil.
Kepemilikan tanah tidak hanya sekadar berfungsi sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tetapi juga merupakan landasan bagi stabilitas sosial dan identitas komunitas.
Dalam konteks ini, kehadiran negara sangat penting untuk memastikan bahwa hak atas tanah dilindungi dan dikelola dengan baik. Negara memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum yang berkeadilan dan melindungi hak-hak masyarakat yang lebih rentan, terutama komunitas adat yang sering kali terpinggirkan oleh perkembangan ekonomi yang cepat.
Dengan kebijakan yang tepat, termasuk penyusunan hukum yang inklusif dan mekanisme penyelesaian sengketa tanah, negara dapat menciptakan lingkungan di mana semua kelompok masyarakat dapat mengakses dan mengelola tanah secara adil, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.
Keberadaan negara yang responsif dan proaktif dalam pengelolaan kepemilikan tanah akan membantu memperkuat kohesi sosial dan menjaga keberlanjutan nilai-nilai budaya yang terkait dengan tanah sebagai bagian dari warisan dan identitas masyarakat.