Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Keadilan yang Terseduh di Cangkit Kopi

29 Desember 2024   15:00 Diperbarui: 29 Desember 2024   16:45 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

KEADILAN YANG TERSEDUH DI CANGKIR KOPI 

Di bawah rintik hujan yang tak henti-hentinya mengguyur, secangkir kopi pahit menjadi saksi bisu keresahan seorang insan terhadap wajah hukum yang kian samar. Di malam-malam Desember yang dingin, refleksi tentang ketimpangan dan ironi kehidupan menyeruak, menuntun kita untuk merenungi: apakah keadilan masih punya tempat di negeri yang penuh asa ini? Mari hirup aroma kopi yang getir, namun jangan biarkan semangat melawan ketidakadilan ikut terbenam.

***

Saat hendak berangkat misa malam Natal pada hari Selasa 24 Desember 2024 hujan deras sekali mengguyur Yogyakarta dan sekitarnya. Kami yang akan berangkat misa di Gereja Santo Yusup Pekerja Condongcatur harus dengan sabar menunggu Gocar (setelah pesanan keenam baru dapat mobil). Berangkat dalam keadaan hujan deras sehingga saat di mobil harus melepas sepatu. Saat turun banjir melintas di jalan di depan gereja, sehingga putra kedua yang tidak mau melepas sepatunya harus digendong oleh kakaknya dan melompati air.

Hal yang sama terjadi lagi kemarin Sabtu 28 Desember sore. Putra nomot dua bertugas sebagai pelayan altar maka harus berangkat lebih awal, namun tiba-tiba hujan deras (meski tidak sederas tanggal 24 Desember). Kali ini meski berangkat pakai motor, tidak sampai membasahi celana dan sepatu.

Pagi ini, hujan lagi. Lalu sambil memperhatikan hujan yang bertubi-tubi menikam bumi, saya terinspirasi membuat puisi berikut. Karena kebetulan sambil minum secangkir kopi pahit.

***

KOPI KE-29 DI BULAN DESEMBER

Hujan menyiram malam sejak lonceng Natal berdentang,
Dingin menyeruak, tak memadamkan semangatku menghirup kopi di teras.
Asap rokok melayang, menemani pikiran yang merayap jauh,
Menyoroti hukum yang terjerat, awut-awutan tanpa arah.

Tiga ratus triliun dirampas, hukuman sekadar mainan angka,
Enam setengah tahun terasa lelucon di panggung keadilan.
Pariyem, perempuan desa dengan tangan penuh luka,
Mengambil kayu bakar, lalu dihukum seolah ia durjana.

Hukum dan politik berselingkuh tanpa malu di depan kita,
Lawan dibungkam, kawan dibiarkan berpesta pora.
Kopi ke-29, pahit di ujung lidah, getir di hati,
Aku bertanya: adakah keadilan akan lahir kembali?

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Puisi "Kopi ke-29 di Bulan Desember" mencerminkan kegelisahan mendalam atas kondisi penegakan hukum dan keadilan di negeri ini. Melalui suasana malam hujan yang tenang, saya sengaja menciptakan kontras dengan ketidakadilan yang menggema dalam pikiran.

Gambaran seorang individu yang mengamati ketimpangan hukuman memberikan ilustrasi nyata bagaimana hukum sering kali tidak berpihak pada mereka yang lemah, melainkan tunduk pada kekuatan uang dan pengaruh. Ini adalah jeritan hati yang menuntut perhatian lebih dari masyarakat.

Ketimpangan yang ditunjukkan, seperti perbandingan hukuman antara pelaku korupsi besar dan perempuan desa sederhana, adalah ironi yang pahit. Kasus ini bukan hanya tentang hukuman yang tidak seimbang, tetapi juga tentang keretakan moral dalam sistem hukum.

Ketika keadilan dapat dibeli, harapan bagi mereka yang tak bersuara menjadi kian surut. Gambaran ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga integritas lembaga hukum dan memisahkan mereka dari pengaruh politik dan ekonomi.

Refleksi atas perselingkuhan antara hukum dan politik dalam puisi ini mengajak kita berpikir lebih dalam tentang bahaya ketika sistem yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru menjadi alat kekuasaan. 

Lawan politik ditangkap tanpa pandang bulu, sementara mereka yang berada di lingkaran kekuasaan sering kali bebas menjarah.

Fenomena ini mengancam demokrasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Puisi ini menggugah hati nurani kita untuk tidak tinggal diam ketika keadilan dilanggar secara terang-terangan.

Ajakan dalam puisi ini sebenarnya sangat jelas: "Ayo, orang-orang yang peduli pada kebenaran dan keadilan, jangan diam saja." Diam bukan lagi pilihan dalam menghadapi ketidakadilan. 

Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bersuara, baik melalui diskusi, tulisan, maupun tindakan nyata untuk memperbaiki keadaan.

Hukum yang sehat hanya dapat tercipta jika masyarakatnya peduli dan terus-menerus mengawasi para pengambil keputusan.

Akhirnya, puisi ini adalah cermin bagi kita semua. Ia menantang kita untuk menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton yang apatis. 

Dalam situasi ini, harapan tidak boleh padam. Keberanian untuk melawan ketidakadilan adalah langkah awal menuju perubahan yang lebih baik.

Jika keadilan adalah kopi pahit, maka keberanian kita adalah gula yang mampu menyeimbangkannya. Mari bergerak bersama untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya tegak, tetapi juga adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun