Puisi "Kopi ke-29 di Bulan Desember" mencerminkan kegelisahan mendalam atas kondisi penegakan hukum dan keadilan di negeri ini. Melalui suasana malam hujan yang tenang, saya sengaja menciptakan kontras dengan ketidakadilan yang menggema dalam pikiran.
Gambaran seorang individu yang mengamati ketimpangan hukuman memberikan ilustrasi nyata bagaimana hukum sering kali tidak berpihak pada mereka yang lemah, melainkan tunduk pada kekuatan uang dan pengaruh. Ini adalah jeritan hati yang menuntut perhatian lebih dari masyarakat.
Ketimpangan yang ditunjukkan, seperti perbandingan hukuman antara pelaku korupsi besar dan perempuan desa sederhana, adalah ironi yang pahit. Kasus ini bukan hanya tentang hukuman yang tidak seimbang, tetapi juga tentang keretakan moral dalam sistem hukum.
Ketika keadilan dapat dibeli, harapan bagi mereka yang tak bersuara menjadi kian surut. Gambaran ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga integritas lembaga hukum dan memisahkan mereka dari pengaruh politik dan ekonomi.
Refleksi atas perselingkuhan antara hukum dan politik dalam puisi ini mengajak kita berpikir lebih dalam tentang bahaya ketika sistem yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru menjadi alat kekuasaan.Â
Lawan politik ditangkap tanpa pandang bulu, sementara mereka yang berada di lingkaran kekuasaan sering kali bebas menjarah.
Fenomena ini mengancam demokrasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Puisi ini menggugah hati nurani kita untuk tidak tinggal diam ketika keadilan dilanggar secara terang-terangan.
Ajakan dalam puisi ini sebenarnya sangat jelas: "Ayo, orang-orang yang peduli pada kebenaran dan keadilan, jangan diam saja." Diam bukan lagi pilihan dalam menghadapi ketidakadilan.Â
Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bersuara, baik melalui diskusi, tulisan, maupun tindakan nyata untuk memperbaiki keadaan.
Hukum yang sehat hanya dapat tercipta jika masyarakatnya peduli dan terus-menerus mengawasi para pengambil keputusan.