Khong Kali Kong
Malam itu, kabut tebal menyelimuti pinggiran hutan Gunung Lawu. Di bawah naungan pohon pinus yang tinggi dan berayun oleh angin malam, tiga pria berbeda generasi berdiri dengan wajah penuh ketegangan.Â
Mereka adalah ayah, paman, dan anak. Di depan mereka, sebuah altar sederhana dari batu tua yang berlumut berdiri, menjadi saksi ritual yang akan dilakukan.
Si ayah, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam, membawa sesajen berupa kemenyan, uang logam, dan beberapa lembar kain kuning.Â
Namun yang paling mencolok adalah sekelompok orang yang berlutut di belakangnya, penggemar fanatik yang mengamini setiap kata yang keluar dari mulutnya, seberapa pun absurdnya.Â
Mereka adalah tumbal yang dipersembahkan, manusia-manusia yang telah menyerahkan akal sehat mereka demi pujian.
Di sisi lain, paman, seorang pria dengan tatapan penuh intrik, membawa pasukan kecil berseragam yang berdiri kaku seperti patung.Â
Namun, sorot mata mereka menunjukkan ketakutan, seperti seseorang yang memikul beban rahasia yang siap meledak kapan saja. Mereka adalah alat bagi sang paman, dijadikan jaminan atas masalah pribadi yang telah ia sandera.
Si anak, seorang pemuda berwajah garang, membawa segerombolan pemuda berbadan kekar. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang selalu memilih kekerasan sebagai jawaban.Â
Dengan langkah berat, mereka mengikuti si anak yang telah mendoktrin mereka untuk taat tanpa banyak bertanya.