Taktik ini bisa berkisar dari intimidasi, penyerangan langsung, hingga pembunuhan. Dalam banyak kasus, tindakan ini kadang-kadang menyasar individu yang sama sekali tidak terlibat dalam konflik, termasuk anak-anak yang menjadi korban ketidakadilan. Ini menunjukkan bahwa dalam upayanya untuk menjaga kekuasaan, seorang penguasa bisa merasa memiliki legitimasi untuk mengorbankan pihak-pihak yang lemah dan tak berdaya.
Praktik semacam ini menciptakan siklus kekerasan yang tampak turun-temurun hingga hari ini. Di banyak negara, kekuasaan sering kali disalahgunakan oleh mereka yang berada di puncak piramida, memanfaatkan kekuatan untuk melenyapkan siapa pun yang dianggap sebagai ancaman.
Anak-anak, yang seharusnya dilindungi dan dijaga, sering kali menjadi sasaran akibat dari pertarungan kekuasaan yang lebih besar. Dalam masyarakat yang masih bergulat dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan, kita mendapati bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya merupakan cerminan dari ketidakmampuan sistem untuk melindungi anak, tetapi juga hasil dari struktur sosial yang membiarkan kekuasaan dilakukan tanpa pengawasan.
Mengapa Kekerasan Terhadap Anak Terus Terjadi?
Meskipun telah berlalu berabad-abad, kita masih menyaksikan kekerasan terhadap anak terjadi di berbagai belahan dunia. Fenomena ini berkaitan erat dengan kurangnya perlindungan bagi anak-anak, norma sosial yang mengizinkan kekerasan, dan sistem yang gagal untuk memberikan keadilan.
Dalam masyarakat modern, kita melihat bagaimana ketidakadilan struktural, kemiskinan, serta kekurangan akses pendidikan dan layanan kesehatan dapat mengekspos anak-anak pada risiko kekerasan.
Di sisi lain, penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakpedulian terhadap kesejahteraan anak sering kali menghasilkan suasana yang membiarkan kekerasan berkembang.
Selain itu, ada juga faktor budaya yang berkontribusi pada berlanjutnya kekerasan terhadap anak. Dalam beberapa masyarakat, kekerasan sering kali dianggap sebagai cara yang valid untuk mendidik atau mengontrol perilaku anak-anak.
Pendidikan yang berdasarkan pada metode disiplin keras, serta norma sosial yang mempromosikan ketidaksetaraan gender dan hierarki kekuasaan, dapat menciptakan lingkungan yang berbahaya bagi anak.
Dampak dari siklus ini tidak hanya menjadikan anak-anak korban, tetapi juga membentuk mereka menjadi individu yang tidak memahami pentingnya perlindungan diri dan empati terhadap sesama.
Ketika budaya kekerasan ini dibiarkan berlangsung tanpa ditanggapi, tidaklah mengherankan bahwa kekerasan terhadap anak terus berlanjut, mempertahankan siklus kesakitan dan ketidakadilan yang telah ada selama berabad-abad.