Pesta Kanak-Kanak Suci:
Refleksi atas Kekerasan Terhadap Anak dalam Perspektif Injil Matius 2:13-18
Hari ini, Gereja Katolik merayakan Pesta Kanak-Kanak Suci, Martir. Pesta ini mengajak kita merenungkan tragedi dan kekerasan terhadap anak yang sudah berlangsung sejak dua ribuan tahun yang lalu. Melalui Injil Matius 2:13-18, kita menemui kisah pilu tentang anak-anak yang menjadi korban kekerasan di tangan Herodes. Refleksi ini mengajak kita untuk memahami akar dari kekerasan tersebut dan relevansinya dalam konteks masyarakat kita saat ini.
Pengenalan kepada Kisah Matius 2:13-18
Kisah dalam Injil Matius ini menceritakan bagaimana setelah kelahiran Yesus, malaikat Tuhan memberi wahyu kepada Yusuf untuk melarikan diri ke Mesir dengan Maria dan bayi Yesus setelah Herodes berusaha membunuh siapa pun yang berpotensi menjadi raja di masa depan.
Firman Tuhan mencatat bahwa Herodes, dalam usaha untuk membasmi ancaman terhadap kekuasaannya, memerintahkan pembunuhan semua anak laki-laki di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah.Â
Ini merupakan tindakan brutal yang menjadi gambaran jelas betapa kekerasan terhadap anak sudah ada sejak zaman dahulu.
Akar Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan yang dialami oleh Kanak-Kanak Suci bukan hanya sekadar dampak dari kebijakan kejam seorang raja, tetapi juga merupakan hasil dari ketakutan, keserakahan, dan ambisi yang tidak terukur.
Herodes, yang merasa terancam oleh kedatangan Mesias, menganggap bahwa tindakan kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan kekuasaan dan statusnya.Â
Di sinilah kita menemukan akar penyebab kekerasan terhadap anak: ketidakpastian sosial, ketakutan akan perubahan, dan eksploitasi posisi kekuasaan.
Penguasa yang terjebak dalam ketakutan sering kali mengambil langkah ekstrem untuk melindungi kedudukan mereka.Â
Herodes bukanlah satu-satunya yang menggunakan kekerasan untuk membungkam ancaman; dalam banyak sejarah, kita melihat bahwa penguasa yang merasa posisinya terancam akan berusaha dengan segala cara untuk mengeliminasi lawan-lawan mereka.