Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Runtuhnya Peradilan di Amplop Coklat

27 Desember 2024   18:57 Diperbarui: 27 Desember 2024   18:57 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi amplopoklat di ruang deliberasi, olahan GemAIBot, dokpri)

Runtuhnya Peradilan di Amplop Coklat

Di balik megahnya gedung pengadilan, tersimpan rahasia busuk yang lama mengendap. Hakim-hakim berseragam toga hitam tak lagi berbicara atas nama keadilan, melainkan atas nama kekuasaan dan uang. Di ruang sidang, kebenaran bukan lagi barang yang dicari, melainkan komoditas yang dipertaruhkan.

Dinginnya ruangan sidang itu terasa menusuk. Bukan karena AC yang terlalu kuat, tetapi karena pandangan-pandangan kosong dari hakim dan jaksa yang duduk di atas panggung kekuasaan. Di sudut meja hakim, secarik amplop cokelat terlihat mengintip dari balik dokumen-dokumen tebal.

"Saudara terdakwa, apa yang ingin Anda sampaikan sebelum majelis hakim menjatuhkan vonis?" suara hakim ketua memecah sunyi, namun lebih terdengar seperti formalitas yang diulang ratusan kali.

Lakoloka, seorang pria paruh baya dengan wajah lelah, berdiri gemetar di tengah ruang sidang. Ia adalah seorang petani kecil yang dituduh mencuri beberapa karung beras dari gudang milik salah satu pengusaha besar di kota itu. Dengan mata basah, ia berkata, "Saya hanya ingin anak-anak saya makan, Yang Mulia. Beras itu sudah membusuk di gudang. Saya... saya hanya mengambil sedikit agar keluarga saya tidak kelaparan."

Namun, sebelum Lakoloka selesai bicara, hakim mengangkat tangannya, seolah-olah kata-kata pria malang itu tidak berarti apa-apa.

"Majelis sudah cukup mendengar," katanya dingin. "Kami akan bermusyawarah untuk memutuskan vonis."

Di balik pintu ruang deliberasi, hakim ketua meletakkan palu sidangnya di atas meja. Jaksa menyalakan rokok, asapnya berputar di udara seperti pengingat betapa bobroknya sistem yang mereka jalankan.

"Berapa yang diberikan Pak Nganamosa untuk kasus ini?" tanya hakim ketua tanpa basa-basi, mengacu pada pengusaha besar yang menjadi pelapor.

"Lima puluh juta," jawab jaksa dengan senyum kecil. "Tapi dia minta hukuman berat. Katanya, biar jadi pelajaran untuk orang-orang kecil yang berani melawan."

Hakim ketua mengangguk. Lima puluh juta bukan jumlah kecil. Apalagi di tengah gaya hidupnya yang mewah: mobil baru, jam tangan mahal, dan pesta-pesta eksklusif. Dalam pikirannya, keadilan adalah soal angka, bukan prinsip.

***

Ketukan palu menggema di ruang sidang.

"Setelah mempertimbangkan semua fakta dan bukti di persidangan, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun kepada terdakwa Lakoloka atas dakwaan pencurian."

Lakoloka terperangah. Istrinya yang duduk di kursi pengunjung menjerit kecil, lalu pingsan. Para wartawan sibuk memotret momen itu, sementara hakim berdiri dari kursinya tanpa ekspresi.

Di tempat lain, seorang pria bersetelan jas mahal menyaksikan berita itu di layar televisi sambil tersenyum puas. Pak Nganamosa tahu, uang yang ia keluarkan sudah bekerja dengan baik. Petani kecil itu telah menjadi contoh sempurna bahwa siapa pun yang berani mengambil haknya akan dihancurkan.

***

Namun doa-doa orang-orang seperti Lakoloka ternyata tidak pernah sia-sia. Dalam diam, ada kekuatan yang bekerja.

Berbulan-bulan kemudian setelah putusan itu, kehidupan keluarga hakim dan jaksa mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan. Istri hakim ketua yang selama ini hidup dalam kemewahan tiba-tiba terkena stroke. Tubuhnya lumpuh sebelah, dan biaya pengobatan yang membengkak mulai menggerogoti simpanan mereka.

Anak sulungnya yang bersekolah di luar negeri dikeluarkan karena terlibat kasus narkoba. Anak bungsunya tak kalah membuat masalah, menjadi biang keributan di sekolah dengan kelakuan yang meresahkan guru dan teman-temannya. Kejayaan sang ayah sebagai hakim yang dihormati berubah menjadi beban, dengan keluarga yang terpecah belah dan harta yang terus terkuras.

Jaksa yang menjadi rekan konspirasi hakim pun tak luput dari cobaan. Usaha sampingannya yang dibangun dari uang suap mendadak bangkrut karena kasus hukum yang menjeratnya. Di rumah, istrinya mulai sering memarahi anak-anak karena tingkah laku mereka yang makin tidak terkendali. Tekanan hidup membuat keluarga itu perlahan hancur.

Dan Pak Nganamosa, sang pengusaha yang merasa telah memenangkan permainan, menderita sakit misterius. Dokter tak menemukan penyebabnya, tetapi tubuhnya melemah hari demi hari. Ia kehilangan kendali atas bisnisnya, sementara rekan-rekannya mulai meninggalkannya satu per satu.

***

Di sisi lain, Lakoloka yang hidup di balik jeruji besi menjalani hari-harinya dengan tenang. Meski penuh keterbatasan, ia tetap sehat. Doa dan harapan membuatnya bertahan. Anak-anaknya kini diasuh oleh komunitas sosial yang peduli, memberi mereka kesempatan untuk tetap bersekolah.

"Keadilan akan mencari jalannya sendiri," kata seorang narapidana tua yang menjadi teman Lakoloka di penjara. "Orang yang bermain-main dengan hukum untuk orang jujur pasti akan menyesal pada akhirnya."

Dan benar saja, amplop-amplop cokelat yang pernah diterima hakim dan jaksa itu ternyata tak pernah bisa mereka nikmati. Uang itu hanya membawa malapetaka bagi mereka.

***

Keadilan mungkin terlambat datang, tetapi ia tetap hadir. Di atas panggung sandiwara hukum, para pemain yang bermain curang satu per satu kehilangan peran. Sementara itu, orang-orang seperti Lakoloka tetap berdiri teguh, menjadi bukti bahwa doa dan ketulusan adalah kekuatan yang tak bisa diabaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun