Hakim ketua mengangguk. Lima puluh juta bukan jumlah kecil. Apalagi di tengah gaya hidupnya yang mewah: mobil baru, jam tangan mahal, dan pesta-pesta eksklusif. Dalam pikirannya, keadilan adalah soal angka, bukan prinsip.
***
Ketukan palu menggema di ruang sidang.
"Setelah mempertimbangkan semua fakta dan bukti di persidangan, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun kepada terdakwa Lakoloka atas dakwaan pencurian."
Lakoloka terperangah. Istrinya yang duduk di kursi pengunjung menjerit kecil, lalu pingsan. Para wartawan sibuk memotret momen itu, sementara hakim berdiri dari kursinya tanpa ekspresi.
Di tempat lain, seorang pria bersetelan jas mahal menyaksikan berita itu di layar televisi sambil tersenyum puas. Pak Nganamosa tahu, uang yang ia keluarkan sudah bekerja dengan baik. Petani kecil itu telah menjadi contoh sempurna bahwa siapa pun yang berani mengambil haknya akan dihancurkan.
***
Namun doa-doa orang-orang seperti Lakoloka ternyata tidak pernah sia-sia. Dalam diam, ada kekuatan yang bekerja.
Berbulan-bulan kemudian setelah putusan itu, kehidupan keluarga hakim dan jaksa mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan. Istri hakim ketua yang selama ini hidup dalam kemewahan tiba-tiba terkena stroke. Tubuhnya lumpuh sebelah, dan biaya pengobatan yang membengkak mulai menggerogoti simpanan mereka.
Anak sulungnya yang bersekolah di luar negeri dikeluarkan karena terlibat kasus narkoba. Anak bungsunya tak kalah membuat masalah, menjadi biang keributan di sekolah dengan kelakuan yang meresahkan guru dan teman-temannya. Kejayaan sang ayah sebagai hakim yang dihormati berubah menjadi beban, dengan keluarga yang terpecah belah dan harta yang terus terkuras.
Jaksa yang menjadi rekan konspirasi hakim pun tak luput dari cobaan. Usaha sampingannya yang dibangun dari uang suap mendadak bangkrut karena kasus hukum yang menjeratnya. Di rumah, istrinya mulai sering memarahi anak-anak karena tingkah laku mereka yang makin tidak terkendali. Tekanan hidup membuat keluarga itu perlahan hancur.