Mengurai Aspirasi Warga, Menata Strategi Kebijakan
Satu program yang menyita perhatian publik (viral) adalah program LAPOR Mas Wapres. Bayangkan seorang Wapres memantau keluhan tentang jalan berlubang di pelosok desa atau masalah air bersih di wilayah terpencil. Apakah ini cerminan pemerintahan yang dekat dengan rakyat, atau justru tanda pergeseran fokus dari tugas strategis? Apakah ini sebuah solusi yang briliant atau sekadar gimmick politik yang pragmatis: menarik simpati.
Program LAPOR Mas Wapres adalah inisiatif yang diharapkan menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah. Dengan membawa keluhan dari tingkat RT/RW ke meja pengambil kebijakan nasional, program ini menawarkan harapan sekaligus memunculkan tanda tanya besar: apakah pendekatan semacam ini merupakan langkah maju dalam mendekatkan rakyat dengan pemerintah, atau justru terlalu teknis untuk level Wapres yang seharusnya mengurusi isu strategis lintas sektor?
Aspirasi dari Akar Rumput
Tak bisa disangkal, LAPOR Mas Wapres menghadirkan model komunikasi yang inklusif. Dengan platform digital yang dapat diakses oleh siapa saja, pemerintah menunjukkan niat untuk mendengar langsung keluhan warga tanpa berbelit-belit. Ini adalah implementasi nyata dari pendekatan bottom-up, di mana kebijakan nasional didasarkan pada kebutuhan yang benar-benar dirasakan di lapangan.
Sebagai contoh, laporan tentang pelayanan kesehatan yang buruk di puskesmas desa atau lampu jalan yang rusak dapat dengan cepat sampai ke pusat. Hal ini memaksa pemerintah daerah bertindak lebih cepat, karena setiap laporan diawasi langsung oleh otoritas nasional. Akuntabilitas yang meningkat ini tentu menguntungkan masyarakat.
Namun, apakah semua keluhan lokal ini harus sampai ke level Wapres? Di sinilah perdebatan bermula.
Membebani atau Memberdayakan?
Masalah yang muncul bukanlah keberadaan program LAPOR, melainkan skala implementasinya. Dengan membawa isu teknis hingga tingkat RT dan RW ke meja Wapres, fokus pemerintah pusat bisa terdistraksi dari tugas strategis, seperti pengembangan infrastruktur nasional, mitigasi krisis ekonomi, atau diplomasi internasional.
Koordinasi lintas lembaga yang dibutuhkan untuk menangani laporan ini juga tak kalah rumit. Bayangkan satu laporan sederhana tentang jalan rusak yang melibatkan pemerintah daerah, kementerian pekerjaan umum, dan mungkin lembaga terkait lainnya. Alih-alih mempercepat solusi, birokrasi yang panjang justru bisa memperlambat proses.
Lebih jauh lagi, ketimpangan dalam infrastruktur digital dan literasi teknologi di daerah terpencil menjadi kendala. Tidak semua warga memiliki akses yang sama terhadap platform digital, sehingga aspirasi mereka berpotensi tertinggal.
Posisi Strategis Program LAPOR
LAPOR Mas Wapres sejatinya bukan program yang salah arah, tetapi perlu penyempurnaan. Pemerintah pusat harus membangun kerangka kerja yang memberdayakan daerah untuk menangani keluhan warga secara mandiri. Dalam hal ini, LAPOR bisa menjadi alat supervisi dan evaluasi, bukan alat eksekusi.