Kaleng-Kaleng Kesepian
Kala matahari mulai tampak pudar, datanglah sebuah program bernama "Makan Bergizi Gratis." Poster-poster mulai ramai menghiasi sudut-sudut jalan. Program ini menawarkan ikan kaleng yang katanya adalah sumber gizi terbaik. Suara riuh anak-anak menggema di sekitar desa saat kabar itu menyebar. "Ikan kaleng gratis!" mereka bersorak gembira, berlari dengan wajah ceria dan perut yang keroncongan.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Anak-anak berkumpul di lapangan desa, wajah-wajah mereka memancarkan semangat. Di depan mereka, deretan meja panjang disiapkan. Setiap meja dipenuhi dengan kaleng-kaleng berwarna cerah yang berkilau, menggoda setiap mata yang memandang. Dengan pelindung di wajah dan dasi hitam, para pejabat berdiri di sampingnya seperti "pahlawan" yang membawa kebahagiaan di tengah tumpukan janji kosong. Mereka tersenyum lebar, seolah sedang mendistribusikan emas.
Begitu peluit dibunyikan, anak-anak berlarian seperti kawanan burung yang baru dilepaskan. Mereka berebut kaleng-kaleng dengan semangat, jari-jemari kecil mereka meraih dan membuka kaleng-kaleng itu tanpa ragu. Keriuhan tercipta saat seorang anak mengangkat kaleng besar berisi ikan, teriak kegirangan sambil menunjukkan kepada teman-temannya. "Aku dapat yang paling besar!" teriaknya, sebelum berlari ke sudut lapangan untuk membuka dan melahap isinya.
Namun, tidak ada yang menyadari bahwa isi kaleng itu bukanlah ikan segar. Di dalamnya terdapat limbah ikan yang disimpan bertahun-tahun lalu, diolah dengan cara yang tidak higienis. Warna dan bau amisnya sudah menguap, menyisakan tekstur kenyal yang kurang menggoda. Anak-anak menikmati makanan itu, tidak menghiraukan apa pun, karena mereka hanya ingin kenyang. Sebuah pesta yang diwarnai kebahagiaan semu.
Setelah kaleng-kaleng itu kosong, suasana mulai berubah. Mereka merasa kekenyangan, tetapi saat itulah hal yang aneh mulai terjadi. Kaleng-kaleng bekas yang semula kosong mulai mendesis, menggema suara pelan yang membuat jantung berdegup kencang. Tangan-tangan kecil yang sudah kehabisan tenaga merasa terjebak di dalam, berusaha mengeluarkan diri dari kaleng-kaleng yang seolah hidup. Senyuman mereka sirna, tergantikan oleh teriakan panik.
Dalam hitungan detik, kaleng-kaleng itu menutup rapat, mengurung anak-anak dalam kegelapan. Setiap kaleng yang awalnya menjadi sumber kebahagiaan kini menjadi penjara gelap yang tak berujung. Suara tawa berangsur-angsur menghilang, tergantikan oleh jeritan dan tangisan. Mereka terperangkap dalam kaleng-kaleng yang menjadi simbol ketidakadilan; aura sesak menyesakkan hati.
Di luar, para pejabat yang awalnya terlihat bersenang-senang kini hanya diam menatap kaleng-kaleng itu. Mereka tertawa puas, bak penguasa yang menikmati makanan lezat saat rakyatnya kelaparan. Di balik senyum manis mereka, terungkap kenyataan pahit; mereka adalah koruptor yang tidak tahu malu, menikmati rente dari program yang dirancang bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan mereka sendiri. Ikan kaleng gratis itu hanyalah kedok untuk menyamarkan keterlibatan mereka dalam sebuah skema besar yang menguntungkan saku mereka.
Malam semakin larut, dan suasana desa berubah menjadi mencekam. Kaleng-kaleng itu tak lagi bersuara, seolah sudah menelan semua candaan dan kegembiraan anak-anak yang terkurung di dalamnya. Mereka terjebak bukan hanya dalam tin kosong, melainkan juga dalam mimpi buruk yang tak berujung, mewakili banyak anak yang kehilangan masa depan karena keserakahan orang dewasa.
Dalam kegelapan, suara-suara kecil mulai berbicara di dalam kaleng. Mereka saling berbisik, berharap ada keajaiban yang datang menolong. "Kita harus keluar dari sini!" teriak salah satu dari mereka, tetapi suaranya teredam oleh ketakutan yang melanda. Mereka tak hanya terkurung dalam kaleng, tetapi juga terpenjara dalam kebodohan yang direkayasa.
Setelah berjam-jam terkurung dalam ketakutan, seorang gadis kecil, Lila, teringat akan pelajaran yang pernah diajarkan di sekolah. "Kita harus bersatu! Hanya dengan bekerja sama, kita bisa keluar," katanya dengan suara bergetar. Tren positifnya menyebar, dan satu per satu anak-anak mulai berusaha bergerak, saling membantu untuk berdesakan ke ujung kaleng. Dengan kekuatan persatuan, anak-anak itu berusaha menekan bagian-bagian kaleng yang rapuh.
Tanpa diduga, kaleng-kaleng itu mulai bergetar dan akhirnya mengeluarkan suara keras, seolah merespons keteguhan hati mereka. Dengan satu dorongan kuat, beberapa kaleng terbuka dan anak-anak pun berhasil keluar dari kegelapan. Namun, pemandangan di luar menjadi semakin mengerikan, desa mereka telah ditinggalkan seakan semua tidak terjadi.
Mereka berlarian, mencari tempat yang aman, sambil ciut dengan rasa takut. Kini, tak ada lagi yang tertawa, hanya ada lirih tangis yang mengantarkan mereka ke suatu tempat di mana mimpi bisa kembali dipupuk. Di dalam hati mereka terukir janji, untuk tidak lagi terjebak dalam janji kosong yang diucapkan oleh mereka yang berkuasa.
Malam itu, bukan hanya kaleng-kaleng yang hancur. Harapan yang sempat diterima di desa itu juga hancur, dibawa oleh keserakahan para pemimpin yang tak bertanggung jawab. Namun, setelah malam kelam itu, Lila dan teman-temannya mulai belajar tentang kekuatan suara dan persatuan. Mereka akan bercerita tentang ikan kaleng yang pernah membawa mereka ke kegelapan, mengingatkan setiap generasi tentang bahaya iming-iming manis yang menyamarkan ketidakadilan.
Desa itu mungkin terluka, tetapi anak-anak itu tidak akan pernah lupa. Mereka akan menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjaga agar kaleng-kaleng kesepian itu tidak pernah kembali, selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H