Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Horor

Kaleng-Kaleng Kesepian

14 November 2024   21:33 Diperbarui: 14 November 2024   21:47 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi kaleng horor yang memakan orang yang memakan isinya, olahan GemAIBot, dokpri)

Kaleng-Kaleng Kesepian

Kala matahari mulai tampak pudar, datanglah sebuah program bernama "Makan Bergizi Gratis." Poster-poster mulai ramai menghiasi sudut-sudut jalan. Program ini menawarkan ikan kaleng yang katanya adalah sumber gizi terbaik. Suara riuh anak-anak menggema di sekitar desa saat kabar itu menyebar. "Ikan kaleng gratis!" mereka bersorak gembira, berlari dengan wajah ceria dan perut yang keroncongan.

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Anak-anak berkumpul di lapangan desa, wajah-wajah mereka memancarkan semangat. Di depan mereka, deretan meja panjang disiapkan. Setiap meja dipenuhi dengan kaleng-kaleng berwarna cerah yang berkilau, menggoda setiap mata yang memandang. Dengan pelindung di wajah dan dasi hitam, para pejabat berdiri di sampingnya seperti "pahlawan" yang membawa kebahagiaan di tengah tumpukan janji kosong. Mereka tersenyum lebar, seolah sedang mendistribusikan emas.

Begitu peluit dibunyikan, anak-anak berlarian seperti kawanan burung yang baru dilepaskan. Mereka berebut kaleng-kaleng dengan semangat, jari-jemari kecil mereka meraih dan membuka kaleng-kaleng itu tanpa ragu. Keriuhan tercipta saat seorang anak mengangkat kaleng besar berisi ikan, teriak kegirangan sambil menunjukkan kepada teman-temannya. "Aku dapat yang paling besar!" teriaknya, sebelum berlari ke sudut lapangan untuk membuka dan melahap isinya.

Namun, tidak ada yang menyadari bahwa isi kaleng itu bukanlah ikan segar. Di dalamnya terdapat limbah ikan yang disimpan bertahun-tahun lalu, diolah dengan cara yang tidak higienis. Warna dan bau amisnya sudah menguap, menyisakan tekstur kenyal yang kurang menggoda. Anak-anak menikmati makanan itu, tidak menghiraukan apa pun, karena mereka hanya ingin kenyang. Sebuah pesta yang diwarnai kebahagiaan semu.

Setelah kaleng-kaleng itu kosong, suasana mulai berubah. Mereka merasa kekenyangan, tetapi saat itulah hal yang aneh mulai terjadi. Kaleng-kaleng bekas yang semula kosong mulai mendesis, menggema suara pelan yang membuat jantung berdegup kencang. Tangan-tangan kecil yang sudah kehabisan tenaga merasa terjebak di dalam, berusaha mengeluarkan diri dari kaleng-kaleng yang seolah hidup. Senyuman mereka sirna, tergantikan oleh teriakan panik.

Dalam hitungan detik, kaleng-kaleng itu menutup rapat, mengurung anak-anak dalam kegelapan. Setiap kaleng yang awalnya menjadi sumber kebahagiaan kini menjadi penjara gelap yang tak berujung. Suara tawa berangsur-angsur menghilang, tergantikan oleh jeritan dan tangisan. Mereka terperangkap dalam kaleng-kaleng yang menjadi simbol ketidakadilan; aura sesak menyesakkan hati.

Di luar, para pejabat yang awalnya terlihat bersenang-senang kini hanya diam menatap kaleng-kaleng itu. Mereka tertawa puas, bak penguasa yang menikmati makanan lezat saat rakyatnya kelaparan. Di balik senyum manis mereka, terungkap kenyataan pahit; mereka adalah koruptor yang tidak tahu malu, menikmati rente dari program yang dirancang bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan mereka sendiri. Ikan kaleng gratis itu hanyalah kedok untuk menyamarkan keterlibatan mereka dalam sebuah skema besar yang menguntungkan saku mereka.

Malam semakin larut, dan suasana desa berubah menjadi mencekam. Kaleng-kaleng itu tak lagi bersuara, seolah sudah menelan semua candaan dan kegembiraan anak-anak yang terkurung di dalamnya. Mereka terjebak bukan hanya dalam tin kosong, melainkan juga dalam mimpi buruk yang tak berujung, mewakili banyak anak yang kehilangan masa depan karena keserakahan orang dewasa.

Dalam kegelapan, suara-suara kecil mulai berbicara di dalam kaleng. Mereka saling berbisik, berharap ada keajaiban yang datang menolong. "Kita harus keluar dari sini!" teriak salah satu dari mereka, tetapi suaranya teredam oleh ketakutan yang melanda. Mereka tak hanya terkurung dalam kaleng, tetapi juga terpenjara dalam kebodohan yang direkayasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun