Setelah berjam-jam terkurung dalam ketakutan, seorang gadis kecil, Lila, teringat akan pelajaran yang pernah diajarkan di sekolah. "Kita harus bersatu! Hanya dengan bekerja sama, kita bisa keluar," katanya dengan suara bergetar. Tren positifnya menyebar, dan satu per satu anak-anak mulai berusaha bergerak, saling membantu untuk berdesakan ke ujung kaleng. Dengan kekuatan persatuan, anak-anak itu berusaha menekan bagian-bagian kaleng yang rapuh.
Tanpa diduga, kaleng-kaleng itu mulai bergetar dan akhirnya mengeluarkan suara keras, seolah merespons keteguhan hati mereka. Dengan satu dorongan kuat, beberapa kaleng terbuka dan anak-anak pun berhasil keluar dari kegelapan. Namun, pemandangan di luar menjadi semakin mengerikan, desa mereka telah ditinggalkan seakan semua tidak terjadi.
Mereka berlarian, mencari tempat yang aman, sambil ciut dengan rasa takut. Kini, tak ada lagi yang tertawa, hanya ada lirih tangis yang mengantarkan mereka ke suatu tempat di mana mimpi bisa kembali dipupuk. Di dalam hati mereka terukir janji, untuk tidak lagi terjebak dalam janji kosong yang diucapkan oleh mereka yang berkuasa.
Malam itu, bukan hanya kaleng-kaleng yang hancur. Harapan yang sempat diterima di desa itu juga hancur, dibawa oleh keserakahan para pemimpin yang tak bertanggung jawab. Namun, setelah malam kelam itu, Lila dan teman-temannya mulai belajar tentang kekuatan suara dan persatuan. Mereka akan bercerita tentang ikan kaleng yang pernah membawa mereka ke kegelapan, mengingatkan setiap generasi tentang bahaya iming-iming manis yang menyamarkan ketidakadilan.
Desa itu mungkin terluka, tetapi anak-anak itu tidak akan pernah lupa. Mereka akan menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjaga agar kaleng-kaleng kesepian itu tidak pernah kembali, selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H