Seketika, tubuh Gendruwo Tambun mulai membengkak lebih besar dari sebelumnya, bukan karena makanan, tetapi karena kutukan yang dilemparkan oleh roh leluhur. Perutnya membesar, membesar, hingga tak ada lagi ruang di dalam ruangan itu yang cukup untuk menampungnya. Tubuhnya pecah, menyemburkan cairan hitam pekat ke seluruh penjuru Kabinet Tambun.
Cairan itu menjalar seperti ular yang lapar, melilit kaki-kaki Gendruwo Pemulus, Penjarah, dan Pendusta. Mereka menjerit, berusaha melarikan diri, namun semakin mereka bergerak, semakin erat cairan itu melilit tubuh mereka, menyeret mereka ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Pagi harinya, rakyat Lakobingu terkejut ketika menemukan Kabinet Tambun kosong, tak ada jejak para Gendruwo. Di tengah aula besar hanya tersisa noda hitam yang pekat dan bau busuk yang menyengat. Karto tersenyum samar di atas bukit, ia tahu bahwa para roh leluhur telah membawa keadilan bagi negeri ini.
Namun, di suatu tempat jauh di kedalaman, suara Gendruwo Tambun masih terdengar samar, "Aku akan kembali... Ketika keserakahan manusia membuka gerbangku lagi..."
Negeri Lakobingu harus waspada, sebab di setiap zaman, selalu ada Gendruwo Tambun yang baru, yang bangkit dari kerakusan manusia itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H