[Horor Jumat Pagi]: Gendruwo di Negeri Lakobingu
Gendruwo Tambun, makhluk rakus dengan perut menggembung sebesar anggaran negara, tak pernah merasa cukup. Di negeri Lakobingu yang malang, ia dan kabinetnya berpesta pora dengan pundi-pundi rakyat, sementara di luar istana, perut-perut anak kecil merintih kelaparan dan suara tangisan terdengar di balik dinding-dinding rumah reyot. Mereka yang pernah berani melawan sudah lama hilang, ditelan kegelapan, dilumat kerakusan tanpa batas. Di balik tawa dan pesta itu, tak ada yang tahu, bahwa kutukan sedang mengintai, siap menelan keserakahan yang telah melampaui batasnya.
Di negeri antah berantah bernama Lakobingu, rakyat hidup dengan segala kesederhanaan dan kerja keras. Namun, mereka selalu diselimuti oleh bayangan mencekam dari para Gendruwo yang berkuasa. Salah satu Gendruwo paling ditakuti di negeri itu adalah Gendruwo Tambun, penguasa tertinggi di Kabinet Tambun. Kabinet ini dikenal dengan nafsu rakus yang tak pernah terpuaskan, sebuah sifat yang diwarisi oleh setiap anggotanya. Pemimpinnya selalu tidak berdaya. Setiap permintaan akan adanya jabatan baru disetujui, sehingga muncul banyak sekali lembaga khusus setingkat menteri. Ngedi deh!
Pada suatu malam yang kelam, kabar tersebar bahwa Menteri Gendruwo menuntun anggaran di departemennya naik menjadi 20 triliun. Sebuah angka yang membuat rakyat yang lemah bergidik ketakutan. "Dengan angka segitu, seluruh anggaran negara bisa saja habis untuk mereka," bisik warga dengan cemas, saling melirik takut di balik jendela-jendela rumah mereka yang reyot.
Tidak ada yang berani menantang keputusan itu, sebab siapa pun yang berusaha melawan Gendruwo Tambun akan dihisap jiwanya hingga kering, menjadi seperti daun yang terhempas layu. Dan begitulah yang terjadi, dari hari ke hari, Gendruwo Tambun semakin tambun. Perutnya semakin membesar, kulitnya yang hitam legam semakin mengkilap oleh minyak yang merembes dari makanan yang ia lahap setiap hari. Ia tak lagi membedakan antara yang halal dan yang haram, semua dilahap dengan penuh nafsu.
Di balik pintu besar Kabinet Tambun, ketiga Menteri Gendruwo yang setia, Gendruwo Pemulus, Gendruwo Penjarah, dan Gendruwo Pendusta, duduk melingkari meja berbentuk bulat yang penuh dengan hidangan dari pundi-pundi negara. Mereka tertawa keras, suara mereka menggema bagai guntur yang menggelegar, membuat genting-genting rumah warga bergetar.
"Anggaran kita sekarang 20 triliun," kata Gendruwo Tambun dengan suara berat dan parau. "Bayangkan, kawan-kawan, dengan ini kita bisa terus makan, minum, dan berpesta sepanjang tahun tanpa henti! Tidak perlu pedulikan rakyat, mereka toh tidak ada gunanya. Hanya debu yang bisa kita seka."
Namun, ada seorang pria tua di Lakobingu, bernama Karto. Dia adalah seorang dukun yang dulunya dihormati di kerajaan sebelum Gendruwo Tambun dan kabinetnya mengambil alih kekuasaan. Meski usianya sudah renta, Karto masih memiliki ilmu yang mampu memanggil roh-roh leluhur. Pada malam yang sama ketika para Gendruwo berpesta pora, Karto melakukan ritual kuno di atas bukit yang dikenal angker, tempat di mana dipercaya sebagai gerbang masuk bagi para roh gentayangan.
Dengan suara lirih, ia memanggil para roh leluhur, meminta bantuan mereka untuk melawan kezaliman yang tak tertahankan lagi. Angin mulai bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Karto merasakan kehadiran mereka, roh-roh yang marah karena tanah yang mereka perjuangkan kini diinjak-injak oleh makhluk rakus.
Malam itu, para Gendruwo tengah berpesta ketika pintu besar Kabinet Tambun tiba-tiba terbuka lebar. Angin dingin menyergap masuk, meniup lilin-lilin hingga padam. Gelap gulita menyelimuti ruangan, dan terdengar bisikan-bisikan dari sudut-sudut gelap, "Rakus... Rakus... Engkau telah melampaui batas."
Ketiga Menteri Gendruwo memandang sekeliling dengan takut. "Apa yang terjadi?" seru Gendruwo Pemulus, wajahnya mendadak pucat. Gendruwo Penjarah yang biasanya begitu ganas, mendadak gemetar tak berdaya.
Seketika, tubuh Gendruwo Tambun mulai membengkak lebih besar dari sebelumnya, bukan karena makanan, tetapi karena kutukan yang dilemparkan oleh roh leluhur. Perutnya membesar, membesar, hingga tak ada lagi ruang di dalam ruangan itu yang cukup untuk menampungnya. Tubuhnya pecah, menyemburkan cairan hitam pekat ke seluruh penjuru Kabinet Tambun.
Cairan itu menjalar seperti ular yang lapar, melilit kaki-kaki Gendruwo Pemulus, Penjarah, dan Pendusta. Mereka menjerit, berusaha melarikan diri, namun semakin mereka bergerak, semakin erat cairan itu melilit tubuh mereka, menyeret mereka ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Pagi harinya, rakyat Lakobingu terkejut ketika menemukan Kabinet Tambun kosong, tak ada jejak para Gendruwo. Di tengah aula besar hanya tersisa noda hitam yang pekat dan bau busuk yang menyengat. Karto tersenyum samar di atas bukit, ia tahu bahwa para roh leluhur telah membawa keadilan bagi negeri ini.
Namun, di suatu tempat jauh di kedalaman, suara Gendruwo Tambun masih terdengar samar, "Aku akan kembali... Ketika keserakahan manusia membuka gerbangku lagi..."
Negeri Lakobingu harus waspada, sebab di setiap zaman, selalu ada Gendruwo Tambun yang baru, yang bangkit dari kerakusan manusia itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H