Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Gendruwo Tambun dan Menteri Seribu Kepala

22 Oktober 2024   17:10 Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:31 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Gendruwo Tambun tertawa rendah, memperlihatkan deretan gigi tajamnya. "Aku adalah penjaga keseimbangan. Apa yang kau ambil secara tidak sah, kini aku ambil kembali. Kau telah menciptakan seribu kepala baru, tapi kau lupa, setiap kepala yang kau ciptakan menambah satu jiwa yang harus kutuntut."

Tiba-tiba, suara ratusan bisikan terdengar di sekitar sang menteri. Di antara pepohonan, tampak sosok-sosok bayangan yang mendekat, wajah mereka tampak samar-samar dan menakutkan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang menjadi korban dari keputusan-keputusan menteri yang serakah. Satu demi satu, mereka mengelilingi sang menteri, mengunci gerakannya.

Sang menteri berusaha berlari, namun langkahnya tertahan oleh beratnya bayangan yang mencengkeramnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seperti ditarik ke dalam kegelapan. Gendruwo Tambun mendekat dengan perlahan, suara tawa seramnya menggema di udara.

"Seribu kepala yang kau ciptakan hanyalah untuk memperbesar perutmu sendiri," bisik Gendruwo. "Sekarang, kau akan menjadi bagian dari perutku."

Dengan satu gerakan cepat, Gendruwo Tambun mencengkram sang menteri dan menariknya ke dalam kegelapan hutan. Esoknya, ketika matahari terbit, tidak ada yang tersisa dari sang menteri selain jejak kaki yang terinjak dalam tanah, dan pohon beringin yang bergoyang pelan seolah berbisik, menyimpan rahasia kelam desa itu.

Sejak saat itu, desa kembali tenang. Cerita tentang Menteri Seribu Kepala dan Gendruwo Tambun terus diwariskan sebagai pengingat bahwa keserakahan akan selalu membawa bencana, dan ada harga yang harus dibayar ketika seseorang mengambil apa yang bukan miliknya.

***

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Saat Gendruwo Tambun menyeret sang menteri ke dalam kegelapan, pekik terakhir yang meluncur dari mulut menteri itu seolah teredam oleh keheningan hutan. Pohon beringin bergoyang-goyang, seakan merayakan kedatangan jiwa baru yang menjadi korbannya.

Ketika fajar menyingsing, para warga yang mendatangi tempat itu hanya menemukan jejak-jejak kaki yang tercabik di tanah dan bayangan pekat di bawah beringin yang tampak lebih besar dari biasanya. Tidak ada sisa dari sang menteri, seolah ditelan oleh bumi. Namun, di bawah pohon itu, suara samar mulai terdengar dari jiwa-jiwa yang pernah direnggut oleh keserakahan.

Desa itu kembali tenang, tetapi tidak ada yang benar-benar merasa lega. Setiap malam, suara tawa serak Gendruwo Tambun menggema, mengingatkan siapa saja yang mendengar bahwa keserakahan selalu memakan korban, dan yang terlelap dalam ambisi tanpa batas akan berakhir dalam perut gelap yang tak pernah puas. Siapa pun yang mencoba mengambil apa yang bukan haknya, akan bernasib sama, lenyap, tanpa jejak, terseret ke dalam kegelapan yang lebih dalam dari malam itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun