Gendruwo Tambun tertawa rendah, memperlihatkan deretan gigi tajamnya. "Aku adalah penjaga keseimbangan. Apa yang kau ambil secara tidak sah, kini aku ambil kembali. Kau telah menciptakan seribu kepala baru, tapi kau lupa, setiap kepala yang kau ciptakan menambah satu jiwa yang harus kutuntut."
Tiba-tiba, suara ratusan bisikan terdengar di sekitar sang menteri. Di antara pepohonan, tampak sosok-sosok bayangan yang mendekat, wajah mereka tampak samar-samar dan menakutkan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang menjadi korban dari keputusan-keputusan menteri yang serakah. Satu demi satu, mereka mengelilingi sang menteri, mengunci gerakannya.
Sang menteri berusaha berlari, namun langkahnya tertahan oleh beratnya bayangan yang mencengkeramnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seperti ditarik ke dalam kegelapan. Gendruwo Tambun mendekat dengan perlahan, suara tawa seramnya menggema di udara.
"Seribu kepala yang kau ciptakan hanyalah untuk memperbesar perutmu sendiri," bisik Gendruwo. "Sekarang, kau akan menjadi bagian dari perutku."
Dengan satu gerakan cepat, Gendruwo Tambun mencengkram sang menteri dan menariknya ke dalam kegelapan hutan. Esoknya, ketika matahari terbit, tidak ada yang tersisa dari sang menteri selain jejak kaki yang terinjak dalam tanah, dan pohon beringin yang bergoyang pelan seolah berbisik, menyimpan rahasia kelam desa itu.
Sejak saat itu, desa kembali tenang. Cerita tentang Menteri Seribu Kepala dan Gendruwo Tambun terus diwariskan sebagai pengingat bahwa keserakahan akan selalu membawa bencana, dan ada harga yang harus dibayar ketika seseorang mengambil apa yang bukan miliknya.
***
Saat Gendruwo Tambun menyeret sang menteri ke dalam kegelapan, pekik terakhir yang meluncur dari mulut menteri itu seolah teredam oleh keheningan hutan. Pohon beringin bergoyang-goyang, seakan merayakan kedatangan jiwa baru yang menjadi korbannya.
Ketika fajar menyingsing, para warga yang mendatangi tempat itu hanya menemukan jejak-jejak kaki yang tercabik di tanah dan bayangan pekat di bawah beringin yang tampak lebih besar dari biasanya. Tidak ada sisa dari sang menteri, seolah ditelan oleh bumi. Namun, di bawah pohon itu, suara samar mulai terdengar dari jiwa-jiwa yang pernah direnggut oleh keserakahan.
Desa itu kembali tenang, tetapi tidak ada yang benar-benar merasa lega. Setiap malam, suara tawa serak Gendruwo Tambun menggema, mengingatkan siapa saja yang mendengar bahwa keserakahan selalu memakan korban, dan yang terlelap dalam ambisi tanpa batas akan berakhir dalam perut gelap yang tak pernah puas. Siapa pun yang mencoba mengambil apa yang bukan haknya, akan bernasib sama, lenyap, tanpa jejak, terseret ke dalam kegelapan yang lebih dalam dari malam itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H