"Gendruwo Tambun adalah sosok penjaga yang ditugaskan oleh para leluhur untuk menjaga keseimbangan alam," lanjut lelaki tua itu. "Tetapi, ketika Menteri Seribu Kepala mulai membagi-bagikan kekuasaan secara sembarangan, serakah dan tak terpuji, Gendruwo Tambun pun bangkit untuk menuntut kembali apa yang telah diambil dengan cara yang tidak sah. Ia tidak hanya mencari harta, tetapi juga jiwa."
Pak Tohir menatap dengan ragu. "Maksud Bapak, Gendruwo Tambun itu... benar-benar nyata?" tanyanya.
Lelaki tua itu mengangguk pelan. "Ya, dan saat ini ia sedang lapar... sangat lapar."
Malam itu, suasana desa mendadak mencekam. Beberapa warga melaporkan mendengar suara langkah berat dan aroma busuk yang memenuhi udara di sekitar rumah mereka. Sapi-sapi yang dipelihara warga ditemukan mati dengan kondisi mengenaskan, seperti ada yang mencabik-cabiknya. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya, tetapi cerita tentang Gendruwo Tambun segera menjadi bahan perbincangan hangat.
Keesokan harinya, seorang pejabat dari kota tiba di desa tersebut untuk memeriksa kabar angin yang beredar. Pejabat itu adalah salah satu dari seribu wakil menteri yang baru diangkat. Ia datang dengan tujuan menenangkan warga dan membantah semua cerita tentang makhluk gaib. "Semua ini hanyalah takhayul! Tidak ada Gendruwo, tidak ada menteri seribu kepala yang terkutuk!" serunya dengan lantang.
Namun, di malam yang sama, sang wakil menteri menghilang secara misterius. Tidak ada yang melihatnya pergi, tetapi desas-desus mengatakan bahwa ia diculik oleh Gendruwo Tambun. Seorang saksi mata mengaku melihat sosok hitam besar membawa tubuh sang wakil menteri ke dalam hutan, di dekat pohon beringin yang dipercaya sebagai tempat tinggal makhluk gaib itu.
Kabar menghilangnya sang wakil menteri segera sampai ke telinga Menteri Seribu Kepala. Dalam rasa marah dan putus asa, sang menteri memutuskan untuk pergi sendiri ke desa itu, berusaha menunjukkan bahwa dia tidak takut pada takhayul atau makhluk halus. Dengan kawalan ketat, sang menteri tiba di desa, langsung menuju ke tempat sang wakil terakhir terlihat.
Saat malam tiba, di bawah cahaya bulan yang redup, sosok besar dan menyeramkan muncul di hadapan sang menteri. Gendruwo Tambun, dengan tubuhnya yang besar dan tambun, berdiri di antara pepohonan, menatap menteri dengan mata merah yang menyala penuh kebencian.
"Kau... terlalu serakah," geram Gendruwo, suaranya menggelegar seperti gemuruh. "Kursi-kursi yang kau bagikan bukan milikmu, dan sekarang, kau akan menebusnya."
Sang menteri mencoba melawan rasa takutnya, berteriak dengan lantang. "Aku berkuasa! Aku yang berhak menentukan semuanya! Siapa kau, makhluk busuk, yang berani menentangku?"