Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa yang Tak Terlupakan

16 September 2024   19:45 Diperbarui: 16 September 2024   20:00 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar olahan AI oleh penulis)

Rasa yang Tak Terlupakan

Setiap kali suara gerimis mengalun di atap rumah, ingatan tentang bumbu kacang selalu menyeruak di benak Sambaladi. Entah mengapa, di antara banyak kenangan masa kecilnya, aroma bumbu kacang buatan ibunya selalu menjadi yang paling kuat, paling mengakar, paling tak terlupakan meski kini sudah berkeluarga sendiri. Hari ini, dia terjebak di dapur kecil apartemennya yang modern namun terasa begitu asing. Hujan di luar seperti memanggilnya untuk menghidupkan kembali satu tradisi yang selalu berhasil menghangatkan hatinya - membuat bumbu kacang.

"Sambaladi, kenapa sih kamu suka sekali sama bumbu kacang?" tanya Sambalado, suaminya, yang sesekali datang mencium aroma rempah yang sedang diolah di dapur.

Sambaladi tersenyum kecil. Baginya, pertanyaan itu adalah sebuah nostalgia yang tak bisa dijawab dengan satu kalimat sederhana. Bagaimana bisa menjelaskan bahwa bumbu kacang bukan sekadar pelengkap makanan? Itu adalah jantung dari setiap makan siang keluarga, pengikat suasana, dan pengantar canda tawa yang akrab.

"Karena rasanya seperti rumah," jawab Sambaladi singkat, namun penuh makna. Matanya berbinar saat ia menuangkan kacang tanah yang sudah disangrai ke dalam cobek besar. Setiap kali ia menumbuk kacang, satu per satu ingatan masa kecilnya kembali terangkai. Ingat bagaimana ibunya yang cekatan menumbuk kacang dengan senyum yang merekah indah.

***

Sambaladi kecil selalu duduk di sudut dapur, memperhatikan ibunya mengolah bumbu kacang dengan cara yang sama. Tumbukan yang dilakukan perlahan, menciptakan irama yang menenangkan. Kacang yang baru saja disangrai mengeluarkan aroma gurih yang langsung menyebar ke seluruh rumah. Cabai merah dan bawang putih bergabung dalam cobek, diikuti gula merah dan sedikit asam jawa. Ibunya mengatakan bahwa keseimbangan rasa itu penting - gurih, manis, sedikit pedas, dan segar dari asam. Satu kesalahan dalam proporsi akan membuat bumbu kacang kehilangan magisnya.

Hari Minggu selalu menjadi hari spesial. Itulah saat di mana seluruh keluarga berkumpul, duduk di meja makan yang penuh dengan hidangan: sate ayam, lontong, sayuran rebus, dan tentu saja, bumbu kacang yang ditunggu-tunggu. Sambaladi ingat betapa antusiasnya ia setiap kali mencelupkan potongan lontong ke dalam saus kental itu. Gurihnya kacang berpadu sempurna dengan manisnya gula merah dan sentuhan pedas dari cabai. Sederhana, tapi terasa sempurna.

Di antara semua jenis bumbu kacang, bumbu pecel adalah favorit Sambaladi. Ada sesuatu yang sangat nyaman dan familiar dari rasa kacang yang disiramkan di atas sayuran rebus. Pecel ibunya adalah lambang kasih sayang. Tak pernah ada resep pasti, semuanya berdasarkan perasaan. Terkadang lebih pedas, terkadang lebih manis, tapi selalu memberikan kehangatan yang sama.

Suatu hari, saat Sambaladi mulai beranjak dewasa, ibunya mengajaknya untuk benar-benar mempelajari cara membuat bumbu kacang. Bukan lagi sekadar duduk di sudut dapur, melainkan ikut terlibat. Dia mengajarkan cara memilih kacang yang baik, menyusun bahan-bahan, dan yang paling penting, merasakan setiap langkah.

"Ini bukan sekadar soal memasak," ucap ibunya lembut. "Ini tentang merangkai kenangan dan rasa."

Sambaladi mulai mengerti bahwa setiap kali ibunya membuat bumbu kacang, ada lebih dari sekadar kacang dan rempah. Ada cinta, ada kesabaran, dan ada kehangatan keluarga yang tak pernah hilang. Bahkan di saat-saat sulit, ketika hidup sepertinya berjalan lebih lambat dan berat, bumbu kacang tetap menjadi penawar yang ampuh. Hidangan itu seperti membawa mereka kembali ke inti kebahagiaan yang sederhana.

***

(gambar olahan AI oleh penulis)
(gambar olahan AI oleh penulis)

Sambaladi tersenyum saat bumbu kacangnya mulai terbentuk di cobek. Kali ini, dia tidak hanya membuatnya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Sambalado yang mulai ikut menikmati bumbu kacang di banyak hidangan mereka. Seperti ritual, Sambaladi selalu merasakan setiap tumbukan dan membayangkan sentuhan kasih sayang yang dulu ibunya berikan melalui bumbu ini. Setelah bumbu selesai, dia mencicipinya sedikit dengan ujung sendok. Rasa gurih yang manis dengan sedikit pedas membuatnya menutup mata sesaat. Rasanya benar-benar membawa pulang.

Sambalado datang ke dapur, matanya bersinar ketika melihat hidangan yang sudah siap. "Hari ini pecel lagi?" tanyanya dengan senyum lebar. Sambaladi mengangguk sambil tertawa kecil.

"Selalu pecel," jawabnya.

Sambil menyantap pecel bersama, Sambaladi dan Sambalado membicarakan banyak hal. Seperti bumbu kacang yang menyatukan banyak rasa dalam harmoni, obrolan mereka juga menyatu dengan baik. Makanan memang memiliki kekuatan seperti itu - bukan hanya soal mengisi perut, tapi juga mengisi hati. Mereka saling berbagi cerita tentang masa kecil mereka, tentang makanan-makanan yang selalu mengingatkan mereka pada rumah.

"Ngomong-ngomong," Sambaladi tersenyum nakal. "Kamu mau coba resep baru yang aku temukan?"

Sambalado mengangguk antusias. Sambaladi berjalan ke lemari dan mengambil sesuatu yang disembunyikannya dari pandangan. Itu adalah sebotol kecil sambal tumpang, sebuah bumbu kacang khas daerahnya yang sedikit berbeda dari yang biasanya dibuat. "Ini sambal kacang dengan tempe busuk. Namanya sambal tumpang. Rasanya unik banget, kamu pasti suka."

Sambalado agak ragu, tapi dia mencobanya. Begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, matanya langsung membesar. "Ini... luar biasa!" serunya. Rasa tempe busuk yang gurih berpadu dengan kacang dan rempah-rempah yang kaya memberikan sensasi rasa yang baru namun tetap akrab.

Sambaladi tertawa melihat reaksi suaminya. "Aku tahu kamu akan suka. Ini adalah salah satu bumbu kacang yang tidak banyak orang tahu, tapi sekali mencoba, pasti akan terus mencari."

***

(gambar olahan AI oleh penulis)
(gambar olahan AI oleh penulis)

Malam itu, Sambaladi merasa kembali menemukan makna di balik setiap bumbu kacang yang ia buat. Itu bukan sekadar tentang rasa, melainkan tentang kenangan, tentang rumah, dan tentang bagaimana makanan bisa menghubungkan kita dengan masa lalu dan orang-orang yang kita cintai. Setiap kali ia membuat bumbu kacang, ia seperti menghidupkan kembali momen-momen kebersamaan dengan ibunya dan keluarganya yang tak pernah pudar dari ingatannya. Itulah cinta yang terus hidup, yang selalu bersemi setiap kali menumbuk kacang, setiap kali menikmati sayur rebus dengan taburan sambal kacang di atasnya. Itulah cinta yang lestari.

Bumbu kacang bukan sekadar pelengkap, melainkan inti dari kehangatan yang selalu dia cari dalam setiap hidangan. Dan sekarang, dia bisa berbagi kehangatan itu dengan Sambalado, dengan cara yang sama seperti ibunya dulu. Rasa yang tak terlupakan, itulah yang selalu ia temukan di balik setiap sendok bumbu kacang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun