Namun, dalam kegilaan kekuasaannya, Raja Agung tidak menyadari bahwa kerajaan yang ia banggakan mulai retak. Para prajuritnya mulai lelah, bukan karena musuh dari luar, tetapi karena mereka dipaksa untuk melawan rakyat mereka sendiri. Rakyat yang dulunya setia, kini dipenuhi dengan kebencian dan ketakutan. Tidak ada lagi rasa hormat, hanya ada dendam yang semakin membara.
Di tengah-tengah malam yang dingin dan sunyi, saat sang Raja terlelap di dalam kamarnya yang megah, datanglah seorang tamu tak diundang. Ia adalah seorang wanita tua dengan wajah yang dipenuhi keriput, matanya tajam namun dipenuhi dengan kebijaksanaan yang mendalam. Wanita tua ini dikenal oleh rakyat sebagai penjaga kebijaksanaan kuno, seseorang yang hanya muncul ketika masa-masa sulit datang.
Wanita tua itu mendekati tempat tidur Raja dengan langkah tenang. Dalam genggaman tangannya, ia membawa sebuah cermin kecil yang berkilauan dalam cahaya remang-remang. Dengan lembut, ia menempatkan cermin itu di samping kepala Raja, membisikkan kata-kata yang membawa ketenangan, tetapi juga ancaman.
"Yang Mulia, bangunlah dan lihatlah dirimu sendiri," bisik wanita itu. "Lihatlah apa yang telah engkau lakukan pada negerimu, pada rakyatmu, dan pada dirimu sendiri."
Raja Agung terbangun dengan kaget, matanya yang masih berat oleh tidur menatap ke arah cermin di sampingnya. Dalam cermin itu, ia tidak melihat bayangan dirinya yang megah seperti biasanya. Yang ia lihat adalah bayangan seorang pria tua yang kesepian, dengan wajah yang penuh dengan garis-garis kelelahan dan kesedihan. Wajah itu bukanlah wajah seorang raja yang berkuasa, melainkan wajah seorang tiran yang terbuang.
"Apa... apa ini?" Raja Agung tergagap, mencoba menjauhkan cermin itu dari pandangannya.
"Ini adalah bayanganmu, Yang Mulia," jawab wanita tua itu dengan suara yang tenang namun penuh dengan kekuatan. "Ini adalah gambaran dirimu yang sesungguhnya. Semua yang pernah engkau banggakan, semua yang pernah engkau raih, kini hancur karena kesombongan dan keserakahanmu. Tidak ada lagi kehormatan, hanya kesunyian yang menyelimuti."
Raja Agung terdiam, pandangannya tertuju pada cermin yang menampakkan kenyataan pahit yang selama ini ia abaikan. Ia mulai menggigil, bukan karena udara malam yang dingin, tetapi karena rasa takut yang perlahan merayapi hatinya. Ia menyadari bahwa kekuasaannya tidak lagi berarti, dan ia hanyalah seorang pria tua yang ditinggalkan oleh dunia.
"Kembalilah ke asalmu, Yang Mulia," kata wanita tua itu sambil melangkah mundur menuju pintu. "Kembalilah ke tempat di mana engkau pernah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Hanya dengan begitu, engkau dapat menebus kesalahanmu dan menemukan kedamaian sebelum senja yang terakhir datang menjemputmu."
Raja Agung memandangi wanita tua itu hingga menghilang dalam kegelapan malam. Kata-katanya terus terngiang di telinga Raja, mengguncang jiwanya yang selama ini tertutup oleh ego dan ambisi. Ia sadar bahwa kesempatannya untuk menebus kesalahan mungkin sudah hampir habis.