Senja yang Suram untuk Sang Raja
Senja yang suram merayap perlahan di langit kerajaan, menghantarkan bayang-bayang kelabu yang melingkupi seluruh negeri. Istana megah berdiri angkuh di puncak bukit, memandang dengan penuh kesombongan kepada desa-desa yang berbaris rapi di bawahnya. Dinding-dindingnya, yang dahulu bercahaya emas, kini mulai memudar, seakan-akan ikut merasakan ketidakadilan yang menggerogoti kerajaan itu.
Raja Agung, yang pernah dihormati dan dipuja, kini duduk di atas singgasananya dengan wajah yang penuh keangkuhan. Mahkota emas yang berkilauan bertengger di atas kepalanya, namun di balik kemegahan itu, ada jiwa yang kering dan penuh dengan kebencian. Dulu, rakyat menyebutnya sebagai pemimpin bijak, tetapi itu semua telah lama terlupakan. Kini, yang tertinggal hanyalah bayang-bayang keagungan yang perlahan-lahan pudar di senjakala masa kekuasaannya.
Raja Agung berasal dari kalangan rakyat jelata. Sebelum takdir membawanya ke istana, ia hanyalah seorang pemuda sederhana yang dikenal akan kebijaksanaan dan kerendahhatiannya. Nasibnya berubah ketika seorang raja tua tanpa ahli waris memilihnya sebagai penerus takhta. Pilihan ini didasarkan pada desas-desus tentang kebaikan hatinya dan kecerdasannya yang luar biasa. Namun, tak lama setelah ia mengenakan mahkota, segalanya berubah. Kekuasaan yang begitu besar membuat Raja Agung perlahan-lahan melupakan asal usulnya. Ia mulai memandang rendah mereka yang pernah ia anggap sebagai saudara, dan hanya mengelilingi dirinya dengan para pembisik yang memberinya nasihat penuh puja-puji tanpa saringan.
"Saya adalah penguasa terhebat yang pernah ada," gumam Raja Agung pada dirinya sendiri, sembari memandang ke luar jendela besar yang menghadap ke kerajaan. "Tidak ada yang bisa menandingi kekuatanku. Aku telah membangun kerajaan ini dengan tanganku sendiri."
Namun, ia lupa bahwa kerajaan ini dibangun atas pengorbanan banyak orang. Ia lupa pada para petani yang telah bekerja keras menghasilkan pangan, pada para prajurit yang telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk melindungi perbatasan, dan pada para penasihat tua yang pernah memberinya arahan bijak. Kini, Raja Agung lebih suka mendengar bisikan para penjilat yang hanya mengatakan apa yang ingin ia dengar.
"Yang Mulia," seorang menteri yang licik berbicara dari sudut ruangan. "Rakyat itu hanya layak untuk melayani dan memuja Anda. Mereka harus tahu siapa yang berkuasa di sini. Tidak perlu mendengar keluhan mereka. Mereka hanyalah kaum lemah yang tidak mengerti bagaimana kerajaan ini dijalankan."
Raja Agung tersenyum licik, senang mendengar kata-kata yang membesarkan egonya. "Benar, mereka semua harus tunduk padaku. Aku adalah penguasa yang mutlak."
Hari demi hari, Raja Agung semakin terperangkap dalam jaring kesombongan dan keserakahannya. Ia memerintahkan agar pajak dinaikkan hingga tiga kali lipat, memaksa rakyat yang sudah miskin untuk menyerahkan semua yang mereka miliki. Jika ada yang berani menentang, mereka akan dihukum dengan kejam, dipenjara, atau bahkan dihukum mati. Kekejamannya tak mengenal batas. Ia menghancurkan desa-desa yang dianggap tidak patuh, membakar rumah-rumah dan ladang-ladang, mengirimkan sinyal ketakutan yang mematikan ke seluruh negeri.
"Saya adalah Raja yang paling berkuasa!" seru Raja Agung, memandang ke arah negerinya yang tertutup debu perang dan penderitaan. "Tidak ada yang bisa menentang kehendakku."
Namun, dalam kegilaan kekuasaannya, Raja Agung tidak menyadari bahwa kerajaan yang ia banggakan mulai retak. Para prajuritnya mulai lelah, bukan karena musuh dari luar, tetapi karena mereka dipaksa untuk melawan rakyat mereka sendiri. Rakyat yang dulunya setia, kini dipenuhi dengan kebencian dan ketakutan. Tidak ada lagi rasa hormat, hanya ada dendam yang semakin membara.
Di tengah-tengah malam yang dingin dan sunyi, saat sang Raja terlelap di dalam kamarnya yang megah, datanglah seorang tamu tak diundang. Ia adalah seorang wanita tua dengan wajah yang dipenuhi keriput, matanya tajam namun dipenuhi dengan kebijaksanaan yang mendalam. Wanita tua ini dikenal oleh rakyat sebagai penjaga kebijaksanaan kuno, seseorang yang hanya muncul ketika masa-masa sulit datang.
Wanita tua itu mendekati tempat tidur Raja dengan langkah tenang. Dalam genggaman tangannya, ia membawa sebuah cermin kecil yang berkilauan dalam cahaya remang-remang. Dengan lembut, ia menempatkan cermin itu di samping kepala Raja, membisikkan kata-kata yang membawa ketenangan, tetapi juga ancaman.
"Yang Mulia, bangunlah dan lihatlah dirimu sendiri," bisik wanita itu. "Lihatlah apa yang telah engkau lakukan pada negerimu, pada rakyatmu, dan pada dirimu sendiri."
Raja Agung terbangun dengan kaget, matanya yang masih berat oleh tidur menatap ke arah cermin di sampingnya. Dalam cermin itu, ia tidak melihat bayangan dirinya yang megah seperti biasanya. Yang ia lihat adalah bayangan seorang pria tua yang kesepian, dengan wajah yang penuh dengan garis-garis kelelahan dan kesedihan. Wajah itu bukanlah wajah seorang raja yang berkuasa, melainkan wajah seorang tiran yang terbuang.
"Apa... apa ini?" Raja Agung tergagap, mencoba menjauhkan cermin itu dari pandangannya.
"Ini adalah bayanganmu, Yang Mulia," jawab wanita tua itu dengan suara yang tenang namun penuh dengan kekuatan. "Ini adalah gambaran dirimu yang sesungguhnya. Semua yang pernah engkau banggakan, semua yang pernah engkau raih, kini hancur karena kesombongan dan keserakahanmu. Tidak ada lagi kehormatan, hanya kesunyian yang menyelimuti."
Raja Agung terdiam, pandangannya tertuju pada cermin yang menampakkan kenyataan pahit yang selama ini ia abaikan. Ia mulai menggigil, bukan karena udara malam yang dingin, tetapi karena rasa takut yang perlahan merayapi hatinya. Ia menyadari bahwa kekuasaannya tidak lagi berarti, dan ia hanyalah seorang pria tua yang ditinggalkan oleh dunia.
"Kembalilah ke asalmu, Yang Mulia," kata wanita tua itu sambil melangkah mundur menuju pintu. "Kembalilah ke tempat di mana engkau pernah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Hanya dengan begitu, engkau dapat menebus kesalahanmu dan menemukan kedamaian sebelum senja yang terakhir datang menjemputmu."
Raja Agung memandangi wanita tua itu hingga menghilang dalam kegelapan malam. Kata-katanya terus terngiang di telinga Raja, mengguncang jiwanya yang selama ini tertutup oleh ego dan ambisi. Ia sadar bahwa kesempatannya untuk menebus kesalahan mungkin sudah hampir habis.
Dengan langkah berat, Raja Agung turun dari singgasananya dan berjalan menuju ruang takhtanya yang megah namun kini terasa sepi dan hampa. Ia menyadari bahwa semua yang ia kejar selama ini hanyalah ilusi yang menipunya, dan di balik semua kekuasaan itu, ia hanyalah seorang manusia yang lemah.
Pagi itu, saat matahari mulai terbit, Raja Agung berjalan keluar dari istana tanpa iring-iringan atau pengawalan. Ia berjalan menuju desa tempat ia dulu tinggal, tempat di mana ia pernah dikenal sebagai seorang pemuda yang bijaksana dan rendah hati. Namun, saat ia sampai di desa itu, ia hanya menemukan reruntuhan yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Rumah-rumah yang dahulu penuh dengan tawa kini hancur dan ditinggalkan. Tidak ada lagi kehidupan, hanya puing-puing yang berserakan.
Raja Agung jatuh berlutut di tengah reruntuhan, merasakan beban penyesalan yang tak tertahankan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis dalam keheningan pagi yang dingin. Tidak ada lagi yang tersisa, hanya senja yang suram menantinya, membawa kepergian yang penuh dengan penyesalan dan kesendirian.
Di akhir hidupnya, Raja Agung akhirnya memahami bahwa kekuasaan yang ia banggakan hanyalah sebuah fatamorgana. Semua yang pernah ia raih hilang dalam sekejap mata, meninggalkan dirinya terperangkap dalam kesepian yang tak berujung. Dan saat senja yang terakhir tiba, ia menyadari bahwa ia bukanlah raja yang agung, melainkan hanya seorang pria yang tersesat dalam kesombongan dan keserakahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H