KOPI DAN HARI-HARI MENJELANG KEMERDEKAAN
Di meja bundar penuh aroma kopi,
Bapa Bangsa berkumpul, berbisik pelan,
Di tengah malam yang penuh harapan,
Merancang masa depan dengan semangat.
Di dalam sidang, suara gemuruh,
Mengukir jalan, meretas impian,
Merajut kemerdekaan dari genggaman,
Menyatu dalam cita-cita perjuangan.
Namun kini, di balik layar gemerlap,
Roh perjuangan seakan terlupakan,
Sirna ditelan korupsi, kolusi, nepotisme,
Pengkhianatan atas darah dan air mata.
Menjelang ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, di kampung-kampung warga dengan antusiasme yang tinggi bahu membahu memasang bendera dan umbul-umbul merah putih. Kerlap kerlip lampu malam di gapura masuk menambah semarak indahnya kemerdekaan. Namun adakah refleksi yang tercetus untuk mendalami dan memaknai perjalanan panjang bangsa ini? Tentu refleksi ini menjadi sangat relevan.
Melalui puisi "Kopi dan Hari-hari Menjelang Kemerdekaan" di atas, saya hendak menggambarkan suasana kebatinan para Bapa Bangsa saat mereka merancang masa depan Indonesia. Aroma kopi yang menemani diskusi di tengah malam melambangkan semangat dan dedikasi yang tak kenal lelah untuk mencapai kemerdekaan.Â
Ini mengingatkan kita pada pentingnya kebersamaan dan kerja keras untuk meraih cita-cita bersama. Berkat kegigihan mereka, kini kita bisa merayakan kebersamaan: masyarakat gotong royong bekerja sama membuat semarak kemerdekaan di kampung-kampung tanpa peduli asal usul mereka. Mereka satu hati sebagai Indonesia.
Pada bait kedua, saya menggambarkan suara gemuruh di dalam sidang untuk mencerminkan kegigihan dan tekad para pemimpin masa lalu. Mereka tidak hanya bermimpi tetapi juga bekerja keras untuk merajut kemerdekaan dari tangan penjajah. Semangat ini masih relevan hari ini, ketika kita terus berjuang untuk mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Semangat meretas impian ini harus terus menginspirasi generasi saat ini untuk tetap teguh menghadapi berbagai tantangan.
Namun gambaran pada bait satu dan dua seperti menemukan anti klimaksnya kini pada bait ketiga. Pada bait ketiga saya berusaha menyentuh isu-isu yang sayangnya masih menghantui kita hingga kini, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bahkan semakin subur dan menjadi-jadi (lihat artikel saya sebelumnya Politik Dinasti seperti Cendawan di Musim Hujan).Â