Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kopi dan Hari-hari Menjelang Kemerdekaan

5 Agustus 2024   21:18 Diperbarui: 6 Agustus 2024   09:27 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi para Bapa Bangsa sedang rapat, dokpri GemAIBOT)

KOPI DAN HARI-HARI MENJELANG KEMERDEKAAN

Di meja bundar penuh aroma kopi,
Bapa Bangsa berkumpul, berbisik pelan,
Di tengah malam yang penuh harapan,
Merancang masa depan dengan semangat.

Di dalam sidang, suara gemuruh,
Mengukir jalan, meretas impian,
Merajut kemerdekaan dari genggaman,
Menyatu dalam cita-cita perjuangan.

Namun kini, di balik layar gemerlap,
Roh perjuangan seakan terlupakan,
Sirna ditelan korupsi, kolusi, nepotisme,
Pengkhianatan atas darah dan air mata.

(ilustrasi kopi dan rokok di sela rapat, dokpri, GemAIBOT)
(ilustrasi kopi dan rokok di sela rapat, dokpri, GemAIBOT)

Menjelang ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, di kampung-kampung warga dengan antusiasme yang tinggi bahu membahu memasang bendera dan umbul-umbul merah putih. Kerlap kerlip lampu malam di gapura masuk menambah semarak indahnya kemerdekaan. Namun adakah refleksi yang tercetus untuk mendalami dan memaknai perjalanan panjang bangsa ini? Tentu refleksi ini menjadi sangat relevan.

Melalui puisi "Kopi dan Hari-hari Menjelang Kemerdekaan" di atas, saya hendak menggambarkan suasana kebatinan para Bapa Bangsa saat mereka merancang masa depan Indonesia. Aroma kopi yang menemani diskusi di tengah malam melambangkan semangat dan dedikasi yang tak kenal lelah untuk mencapai kemerdekaan. 

Ini mengingatkan kita pada pentingnya kebersamaan dan kerja keras untuk meraih cita-cita bersama. Berkat kegigihan mereka, kini kita bisa merayakan kebersamaan: masyarakat gotong royong bekerja sama membuat semarak kemerdekaan di kampung-kampung tanpa peduli asal usul mereka. Mereka satu hati sebagai Indonesia.

Pada bait kedua, saya menggambarkan suara gemuruh di dalam sidang untuk mencerminkan kegigihan dan tekad para pemimpin masa lalu. Mereka tidak hanya bermimpi tetapi juga bekerja keras untuk merajut kemerdekaan dari tangan penjajah. Semangat ini masih relevan hari ini, ketika kita terus berjuang untuk mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Semangat meretas impian ini harus terus menginspirasi generasi saat ini untuk tetap teguh menghadapi berbagai tantangan.

Namun gambaran pada bait satu dan dua seperti menemukan anti klimaksnya kini pada bait ketiga. Pada bait ketiga saya berusaha menyentuh isu-isu yang sayangnya masih menghantui kita hingga kini, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bahkan semakin subur dan menjadi-jadi (lihat artikel saya sebelumnya Politik Dinasti seperti Cendawan di Musim Hujan). 

Ini menjadi sebuah pengingat yang keras bahwa perjuangan para pendahulu bisa dikhianati oleh praktik-praktik yang merugikan bangsa oleh anak bangsa sendiri. 

Menjelang ulang tahun kemerdekaan, ada kebutuhan mendesak untuk merenungkan bagaimana kita dapat mengatasi masalah-masalah ini dan melindungi integritas bangsa agar tidak tercemar oleh kepentingan pribadi segelintir orang yang haus akan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.

(ilustrasi pejabat masa kini yang sarat KKN, dokpri: GemAIBOT)
(ilustrasi pejabat masa kini yang sarat KKN, dokpri: GemAIBOT)

Semangat perjuangan yang digambarkan dalam puisi ini hendaknya mendorong masyarakat untuk aktif dalam mengawasi dan menuntut transparansi dari para pemimpin. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokrasi dan pengambilan keputusan menjadi krusial untuk memastikan bahwa aspirasi rakyat terwujud dan tidak diabaikan. 

Ini adalah saatnya untuk bersatu dan bekerja bersama demi kebaikan bangsa, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Untuk itu, tunjukkan kedaulatan kita ketika memilih pemimpin daerah pada November 2024 yang akan datang. Putuskan mata rantai korupsi, kolusi dan nepotisme yang tercermin dalam politik dinasti mulai dari tangan kita sebagai rakyat dan pemilih.

Akhirnya, ulang tahun kemerdekaan bukan hanya tentang perayaan tetapi juga tentang refleksi (tentang makna perjuangan para pendahulu) dan aksi (mewujudkan semangat egaliter dengan memangkas habis mereka yang bertabiat merusak inti kemerdekaan demi kepentingan kelompoknya sendiri). 

Puisi ini juga mengajak kita untuk merenungkan masa lalu, memahami tantangan saat ini, dan merencanakan masa depan dengan penuh tanggung jawab. Sebagaimana para Bapa Bangsa yang bermimpi dan bertindak untuk kemerdekaan, kita pun harus terus berjuang untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun