Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Senja di Ujung Hari

28 Juli 2024   10:49 Diperbarui: 28 Juli 2024   10:53 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: nytimes.com)

Senja di Ujung Hari

(Renungan di Hari Lansia Sedunia)

 

Rumah tua itu dipenuhi oleh kenangan masa lalu. Rumah itu milik sepasang suami istri, Pak Busangaza dan Bu Beodego, yang telah menjalani hidup bersama selama lebih dari lima puluh tahun.

Pak Busangaza dan Bu Beodego selalu tampak bahagia ketika ada tamu yang datang. Mereka menyambut dengan senyuman hangat dan cerita-cerita lama yang penuh nostalgia. Namun, di balik senyuman itu, mereka menyimpan rasa kesepian yang mendalam. Anak-anak mereka telah lama merantau ke kota besar dan jarang pulang. Cucu-cucu mereka bahkan hampir tak mengenal kakek-neneknya, hanya mendengar cerita dari orang tua mereka.

"Pak, bagaimana kalau kita pindah ke kota, tinggal bersama anak-anak?" usul Bu Beodego suatu sore, ketika mereka duduk berdua di teras rumah sambil memandangi matahari yang hampir tenggelam.

Pak Busangaza menggeleng pelan. "Kita tidak mau jadi beban mereka, Bu. Biarlah kita di sini saja, bersama kenangan."

Hari-hari berlalu, dan usia semakin memakan tubuh mereka. Kesehatan Pak Busangaza semakin menurun, sementara Bu Beodego tetap setia merawatnya. Anak-anak mereka mengusulkan agar pasangan lansia itu pindah ke panti jompo, supaya mereka bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, baik Pak Busangaza maupun Bu Beodego menolak keras.

"Aku hanya ingin hidup dan mati di rumah ini," ujar Pak Busangaza dengan suara parau.

Meski di panti jompo ada yang merawat, mereka merasa kehilangan kehangatan cinta dari keluarga. Mereka rindu akan canda tawa anak-anak dan cucu-cucu mereka. Setiap malam, Bu Beodego menangis dalam diam di samping Pak Busangaza yang tertidur lelap.

Suatu pagi, ketika mentari baru saja menyapa, Bu Beodego merasa kesepian yang sangat dalam. Ia menatap wajah Pak Busangaza yang semakin tua dan keriput, namun tetap teduh di matanya. Dengan lembut, ia membelai pipi suaminya yang tertidur.

"Pak, mungkin saatnya kita pergi bersama," bisik Bu Beodego.

Hari itu, senja datang lebih awal. Pak Busangaza tak lagi bangun dari tidurnya. Bu Beodego yang menemukan suaminya telah pergi, merasa seluruh dunianya runtuh. Dengan penuh kesedihan, ia mengecup kening suaminya untuk terakhir kali, kemudian merebahkan diri di samping tubuh suaminya yang sudah dingin.

Mereka ditemukan oleh tetangga keesokan harinya, berbaring berdua di atas ranjang dengan tangan yang saling menggenggam erat, seolah enggan dipisahkan. Kepergian mereka meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, yang akhirnya menyadari betapa mereka telah mengabaikan cinta dan perhatian yang sangat dibutuhkan oleh orang tua mereka.

Rumah tua itu kini kosong, namun kenangan akan cinta sejati Pak Busangaza dan Bu Beodego terus hidup dalam ingatan orang-orang yang mengenalnya. Mereka telah pergi, namun cinta mereka tetap abadi, menyatu dalam keabadian senja di ujung hari.

(sumber: nytimes.com)
(sumber: nytimes.com)

Refleksi di Hari Lansia Sedunia

Saya ingin menutup refleksi tentang hari lansia ini dengan kata-kata yang amat menyentuh dari Santa Teresa dari Kalkuta, "Kemiskinan paling mengenaskan adalah kesendirian dan perasaan tidak dicintai."

Kata-kata Santa Teresa dari Kalkuta, menyoroti dimensi kemiskinan yang melampaui kekurangan materi. Bagi banyak orang, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Namun, ungkapan ini mengingatkan kita bahwa kebutuhan emosional/cinta dan spiritual juga penting. Ketika seseorang merasa sendirian dan tidak dicintai, mereka mengalami bentuk kemiskinan yang mendalam, yang bisa lebih merusak daripada kemiskinan fisik.

Kesepian dan perasaan tidak dicintai dapat menyebabkan penderitaan emosional yang berat. Orang yang merasa terisolasi dari orang lain mungkin mengalami depresi, kecemasan, dan kehilangan harapan. Kurangnya hubungan dan dukungan sosial dapat membuat hidup terasa kosong dan tidak berarti, menghilangkan kebahagiaan dan kesejahteraan seseorang. Dalam banyak kasus, perasaan terisolasi ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental dan fisik, menciptakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan, terutama di kalangan lansia yang merasa dibuang oleh anak dan cucu mereka.

Selain itu, cinta dan koneksi sosial adalah elemen penting dalam memberikan makna dan tujuan dalam hidup seseorang. Mereka yang merasa dicintai dan diterima cenderung lebih optimis dan mampu menghadapi tantangan hidup. Komunitas yang saling mendukung dapat memberikan rasa aman dan kepemilikan, yang pada gilirannya memperkaya kehidupan individu. Oleh karena itu, mengatasi kemiskinan emosional ini melalui cinta, perhatian, dan dukungan sosial adalah langkah penting untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun