Senja di Ujung Hari
(Renungan di Hari Lansia Sedunia)
Â
Rumah tua itu dipenuhi oleh kenangan masa lalu. Rumah itu milik sepasang suami istri, Pak Busangaza dan Bu Beodego, yang telah menjalani hidup bersama selama lebih dari lima puluh tahun.
Pak Busangaza dan Bu Beodego selalu tampak bahagia ketika ada tamu yang datang. Mereka menyambut dengan senyuman hangat dan cerita-cerita lama yang penuh nostalgia. Namun, di balik senyuman itu, mereka menyimpan rasa kesepian yang mendalam. Anak-anak mereka telah lama merantau ke kota besar dan jarang pulang. Cucu-cucu mereka bahkan hampir tak mengenal kakek-neneknya, hanya mendengar cerita dari orang tua mereka.
"Pak, bagaimana kalau kita pindah ke kota, tinggal bersama anak-anak?" usul Bu Beodego suatu sore, ketika mereka duduk berdua di teras rumah sambil memandangi matahari yang hampir tenggelam.
Pak Busangaza menggeleng pelan. "Kita tidak mau jadi beban mereka, Bu. Biarlah kita di sini saja, bersama kenangan."
Hari-hari berlalu, dan usia semakin memakan tubuh mereka. Kesehatan Pak Busangaza semakin menurun, sementara Bu Beodego tetap setia merawatnya. Anak-anak mereka mengusulkan agar pasangan lansia itu pindah ke panti jompo, supaya mereka bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, baik Pak Busangaza maupun Bu Beodego menolak keras.
"Aku hanya ingin hidup dan mati di rumah ini," ujar Pak Busangaza dengan suara parau.
Meski di panti jompo ada yang merawat, mereka merasa kehilangan kehangatan cinta dari keluarga. Mereka rindu akan canda tawa anak-anak dan cucu-cucu mereka. Setiap malam, Bu Beodego menangis dalam diam di samping Pak Busangaza yang tertidur lelap.
Suatu pagi, ketika mentari baru saja menyapa, Bu Beodego merasa kesepian yang sangat dalam. Ia menatap wajah Pak Busangaza yang semakin tua dan keriput, namun tetap teduh di matanya. Dengan lembut, ia membelai pipi suaminya yang tertidur.