Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Konflik Rusia-Ukrain, Egopolitik yang Merusak Kemanusiaan

25 Februari 2022   12:57 Diperbarui: 25 Februari 2022   13:02 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Paus Fransiskus, Audiens Umum (9/2/2022)

Rusia, dulunya Uni Soviet, sebuah negara besar dan luas. Menjadi negara besar karena kekuatan politik dan militernya. Menjadi negara yang luas karena segi geografis dan jumlah penduduknya. Kekuatan politik dan militer, serta secara geografis dengan jumlah penduduknya besar, rupanya tidak menjamin Uni Soviet menjadi sebuah negara besar yang aman, damai, dan sejahtera.

Egopolitik sentralistik dan daya tekan komunisme, pujaan Lenisme telah menampilkan wajah baru dari mayarakat pinggiran wilayah perbatasan negara. Sentralistik kekuasaan metropolitan lupa bahwa negara-negara tetangga yang kecil seperti Rumania, dll, mampu membangun dekade pendekatan humanis di wilayah perbatasan.

Dan ini terbukti bahwa ketika wilayah-wilayah perbatasan berjuang untuk memisahkan diri, dan berhasil, Uni Soviet menjadi Rusia. Sisi inilah yang membuat adidaya, melempeng. Ditambah lagi, kekuasaan komunis pun runtuh, berantakan. Komunis seakan terhapuskan dari Uni Soviet. 

Nama Rusia diabadikan karena berasal dari ras Rus. Uni Soviet, sebuah nama negara menjadi kenangan dalam sejarahnya. Dan Ukrain yang pernah berada didalamnya. Mungkin saking luas, ribut kecil-kecil diperbatasan, tak terasakan di pusat. Apalagi di pusat sibuk dengan membangun kekuatan politik dan militer untuk show keluar negeri. Sekali lagi, mungkin sebab ini pada akhirnya menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Karena itu juga, Ukrain menurut Bahasa Lokal yang artinya "perbatasan" menjadi negara merdeka pada 24 Agustus 1991. Negara yang melepaskan diri dari negara adikuasa ini, Rusia. Kemerdekaan Ukrain, menambah deretan sebuah negara otonom yang mengurus dirinya sendiri di Eropa Timur.

Konflik Rusia-Ukrain, konflik bathin dan lahiriah

Rasa kemanusiaan Ukrain terhadap Rusia sirna ketika Ukrain berjuang menjadi sebuah negara dan menjadi sebuah negara yang merdeka. Bagi Rusia, kemanusiaan sirna yang dirasakan Ukrain, tidak sertamerta hilang dari Rusia. Sebabkan konflik sekarang ini, mau membuktikan bahwa Rusia tidak mau melepaskan Ukrain sebagai sebuah negara, tetapi melakukan pendekatan militerisasi terhadap Ukrain. Sementara itu, bagi Ukrain, Rusia negara yang menjajah mereka. 

Negara yang maju tetapi tak sanggup mengurus rumah tangganya sendiri. Secara politik, Rusia mampu menjadi negara adikuasa, namun secara internal, tak sanggup mengurus rumah tangganya. Julukan Superpower, ternyata melempeng secara internal. Superpower pun menjadi kenangan juga.

Konflik Rusia-Ukrain, berujung perang?

Si vis pacem para bellum, jika anda ingin berdamai, bersiaplah untuk berperang! Perdamaian merupakan sebuah perjuangan. Dan perjuangan ini, tak pernah selesai, walaupun ada setumpukan berkas hitam-putihnya. Berkas ini tak memiliki fungsi. Hanya sebatas perjanjian. Dan perjanjian, hanya bisa bertahan dalam waktu tertentu.

Perjuang untuk perdamaian, dengan berbagai cara. Itu pun, jika cara-cara itu diterima kedua belah pihak. Jika cara-cara itu tidak diterima, konflik antar keduanya akan muncul ke permukaan. Maka risikonya, egoisme diri dan superpower masa lalu, seakan dibangkitkan kembali. Tidak heran, Ukrain membawa nama AS dan NATO. Rusia tidak salah juga memanas. 

Memanasnya, tidak tanggung-tanggung, langsung mengerahkan prajuritnya untuk ke perbatasan. Iya, itulah cara Rusia menggertakan Ukrain. Nyali Ukrain tak surut. Dukungan AS dan NATO kepada Ukrain, seakan jiwa superpower Rusia, yang telah padam, seakan dihidupkan kembali.

Disinilah, dunia internasional dapat membaca aksi-reaksi dari konflik Rusia-Ukrain. Yang merasa besar dan tua, seakan tetap memonopoli kekuasaan. Sementara yang kecil dan muda, dengan jiwa muda merasa terusik, dan mau bangkit melawannya. Egopilitik internal merusak kemanusiaan, bahkan mau melibatkan negara-negara lain. Disinilah, perlu belajar lebih dalam tentang sejarah peradapan masa lalu. Kesombongan atas pengekploitasian miteri, merusak manusia-manusia dan alam. Manusia dan alam, hancur karena jiwa egopolitik dan kekuatan miter.

Indonesia, harus bisa belajar dari konflik ini 

Apapun konfliknya, manusia merupakan pusat sebuah negara, pusat dari suatu kehidupan yang beradab. Tidak mungkin, sebuah konflik, tak bisa diselesaikan. Karena itu, membangun diplomatik antar negara konflik, tidak hanya melihat suatu kepentingan meluluh. 

Perlu memperhitungkan dan mempertimbangkan seberapa besar, konflik itu akan muncul dan merugikan manusia serta peradaban manusia yang selama ini dibangun dengan begitu susah payah. Dan harus bertanya diri antar para diplomat, mengapa perdamaian itu susah untuk diperjuangkan dan dipertahankan?

Belajar dari konflik Rusia-Ukrain, Indonesia dengan landasan negara yang kuat yaitu Pancasila, harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Pancasila, mengedepankan manusia dan manusia Indonesia menghayati nilai-nilai hidupnya yang berbeda, namun satu dalam ikatan kejiwaan, yaitu Berkat Tuhan yang Mahaesa. Berkat Tuhan yang Mahaesa inilah kemanusiaan tetap dihormati, kerendahanhati dan tatakramah menjadi cara hidup mengimplementasi nilai-nilai Pancasila.

Mengutip dari lawan www.cnbcindonesia.com Vasyl Hamianin, Duta Besar Ukrain untuk Indonesia, pada Kamis (24/2/2022), bahwa Ukrain meminta supaya Indonesia pun bersuara keras supaya dictator Rusia, bisa mendengarkannya.

Permintaan Ukrain ini perlu dipikirkan dengan matang dan dimaknai secara benar. Artinya bahwa politik luar negeri kita, perlu bebas dan aktif membangun diplomasi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan tadi. Karena Ukrain masih sangat berharap untuk memperjuangkan perdamaian dengan menyelesaikan konflik dengan cara manusiawi. 

Hegemoni politik holistik, masih memiliki nilai tersendiri bagi Ukrain. Egopolitik yang menyusup masuk dalam jiwa mereka, dikalahkan dengan prinsip kemanusiaan. Bahkan Paus Fransikus, pemimpin Gereja Katolik Dunia dalam audiens umum (9/2/2022) telah meminta diplomat-diplomat dunia supaya dapat menyelesaikan konflik Rusia-Ukrain dengan cara dialog multilateral. Karena bagi Paus, perang merupakan "kegilaan". ***

Pangkalpinang, 25 Februari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun