"Murus" atau yang dikenal sekarang "mural" jauh berbeda, baik itu dalam proses perkembangan maupun cara menghadirkan mural.
Memang harus diakui bahwa dulu "murus-murus" yang digambarkan manusia prasejarah tidak seindah sekarang. Karena gambar atau lukisan yang dibuat begitu sederhana, tanpa desain grafis seperti sekarang.
Dan yang membacanya atau melihatnya pun mungkin tidak menyukainya, tidak seviral seperti sekarang. Yang menyukainya, paling-paling mereka yang mau menganalisa atau memahami atau mengerti tentang sejarah masa lampau.
Mural dulu, pasti tidak semua harus melukiskannya. Hanya orang tertentu yang melukiskan dan itu pun pasti disetujui oleh ketua atau pemimpin yang menetap dalam gua.
Jauh berbeda dengan sekarang, siapa saja mau melukisnya atau menggambarnya kapan saja dan dimana saja, baik dinding-dinding ditempat umum ataupun di dinding-dinding rumah sendiri.
Melukis atau menggambar dengan corak desain grafis yang indah, memiliki nilai tersendiri. Apalagi gambar atau lukisan itu mengandung estetika yang bagus dan bernilai tinggi. Ini yang menjadi harapan bersama.
Tetapi jika dinding-dinding di tempat umum kemudian dilukis dengan sesuatu yang kurang bernilai atau menghujat, tentu siapapun akan terperangah dan mungkin akan marah.
Mereka yang terperangah atau yang marah, ini harus juga diterima. Tidak boleh marah kepada mereka yang bersikap demikian. Mereka yang marah, tentu mereka mengalami luka.
Dan mereka pasti akan mengambil suatu tindakan atas apa yang dilukiskan itu. Dalam konteks ini, jika yang digambarkan itu adalah sesuatu atau seseorang yang memiliki publik figur, iya.... kita pun harus terima.
Penghapusan mural hari-hari ini adalah versus demokrasi?
Hemat saya, tidak. Di sinilah semestinya kita perlu memahami dengan baik, makna dan nilai mural dan demokrasi. Penghapusan mural, juga suatu penghayatan dari makna dan nilai demokrasi, khususnya demokrasi Pancasila.