Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Murus, Media Historis yang Menjunjung Tinggi Etika Kemanusiaan

18 Agustus 2021   16:07 Diperbarui: 20 Agustus 2021   13:06 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari Lascaux IV ouvrira la mi-dcembre sur la commune de Montignac en Dordogne.

Kata mural itu asalnya dari kata Latin "murus" yang berarti "dinding". Semetntara dinding adalah sebuah media, sarana, wadah, semacam tempatlah.

Awalnya dinding ini tidak menjadi sarana coret-coretan. Dinding ini sebagai tempat berlindung. Karena sebagai tempat berlindung, "murus" ini telah dikenal sejak zaman prasejarah.

Manusia zaman prasejarah mengenal "murus" sebagai tempat, sarana, perlindungan.

"Murus" sendiri adalah dinding-dinding gua. Dinding-dinding gua itu terbuat dari batu atau tanah, maka ia menjadi sarana manusia prasejarah berlindung, supaya mereka sendiri selamat dari binatang buas, dinginnya situasi, dan sebagainya.

Lamban laun, dalam perkembangan pola berpikir manusia prasejarah, "murus" tadi menjadi tempat untuk menggambarkan sesuatu seperti manusia, binatang, pohon, mataharia, bulan, dan lain-lain.

Gambar-gambar di "murus" ini kemudian hari sebagai jejak sejarah. Muras dulu, tak seindah sekarang. Mereka tak mengenal warna-warni.

Mereka hanya menggambarkan suatu gambar, dengan simbol atau lambang yang memiliki makna khas yang harus dibaca oleh manusia masa kini.

Di masa dulu apakah "murus" yang digambarkan itu memiliki nilai estetika seperti sekarang? Atakah pada "murus" itu menandai sebuah makna kritik?

Mungkin tidak! Gambar pada "murus" yang ditinggalkan mereka hanya menunjukkan suatu kehidupan yang sedang mereka lakoni.

Dan para arkeolog masa kini menilai sebagai sebuah tahapan estika dan memaknai kehidupan mereka masa itu sebagai masyarakat petani atau berburuh atau sebagai masyarakat nomaden. Hemat saya tidak pernah terbaca sebagai suatu nilai estetika.

"Murus" masa prasejarah, tanpa grafis seperti sekarang. Semuanya dalam bentuk tanda atau lambang tertentu. Dari lambang atau simbol itulah harus dibaca dan dimaknai sebagai makna suatu kehidupan masa itu.

"Murus" atau yang dikenal sekarang "mural" jauh berbeda, baik itu dalam proses perkembangan maupun cara menghadirkan mural.

Memang harus diakui bahwa dulu "murus-murus" yang digambarkan manusia prasejarah tidak seindah sekarang. Karena gambar atau lukisan yang dibuat begitu sederhana, tanpa desain grafis seperti sekarang.

Dan yang membacanya atau melihatnya pun mungkin tidak menyukainya, tidak seviral seperti sekarang. Yang menyukainya, paling-paling mereka yang mau menganalisa atau memahami atau mengerti tentang sejarah masa lampau.

Mural dulu, pasti tidak semua harus melukiskannya. Hanya orang tertentu yang melukiskan dan itu pun pasti disetujui oleh ketua atau pemimpin yang menetap dalam gua.

Jauh berbeda dengan sekarang, siapa saja mau melukisnya atau menggambarnya kapan saja dan dimana saja, baik dinding-dinding ditempat umum ataupun di dinding-dinding rumah sendiri.

Melukis atau menggambar dengan corak desain grafis yang indah, memiliki nilai tersendiri. Apalagi gambar atau lukisan itu mengandung estetika yang bagus dan bernilai tinggi. Ini yang menjadi harapan bersama.

Tetapi jika dinding-dinding di tempat umum kemudian dilukis dengan sesuatu yang kurang bernilai atau menghujat, tentu siapapun akan terperangah dan mungkin akan marah.

Mereka yang terperangah atau yang marah, ini harus juga diterima. Tidak boleh marah kepada mereka yang bersikap demikian. Mereka yang marah, tentu mereka mengalami luka.

Dan mereka pasti akan mengambil suatu tindakan atas apa yang dilukiskan itu. Dalam konteks ini, jika yang digambarkan itu adalah sesuatu atau seseorang yang memiliki publik figur, iya.... kita pun harus terima.

Penghapusan mural hari-hari ini adalah versus demokrasi?

Hemat saya, tidak. Di sinilah semestinya kita perlu memahami dengan baik, makna dan nilai mural dan demokrasi. Penghapusan mural, juga suatu penghayatan dari makna dan nilai demokrasi, khususnya demokrasi Pancasila.

Demokrasi Indonesia yang bernuansa Pancasila, jauh berbeda dengan penerapan demokrasi di semua negara.

Demokrasi tidak harus mengungkapkan secara bebas, tanpa memikirkan nilai-nilai demokrasi dan apalagi demokrasi Indonesia dengan memiliki nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, keadilan, musyarawat-mufakat, dll.

Demokrasi yang dihayati dengan melakukan penghapusan mural, bukan berarti anti kritik. Tetapi justru secara ilegal, diisinkan akan hal ini.

Demokrasi Pancasila, tidak anti kritik. Justru memberikan ruang untuk masukan pendapat, informasi bahkan kritik sekalipun kepada siapapun. Hanya bahwa harus diingat di sini pendapat dan informasi bahkan kritik yang diberikan mengikuti tata cara yang etis dan bermartabat. Tata cara etis dan bermartabat dalam kritik dengan hal potisip, saya yakin pasti akan diterima dan bahkan difollowup.

Demokrasi Indonesia dengan warna khas Pancasila, tak banyak yang menghayati pada akhir-akhir ini. Apakah ini kita akui? Ini hanya sekedar retorika untuk direfleksikan saja. Jika kita benar menghayati, tentu etika tak luntur. Etika ini yang harus mewarnai seluruh jatidiri kita yang menghayatinya.

Etika saling menghormati, saling menghargai dengan segala latarbelakang dan perbedaan lainnya, ini pun kita perhatikan bersama. Etika Pancasila sangat menunjungi tinggi nilai kemanusiaan. Menjujung tinggi nilai kemanusiaan ini pun termasuk mengoreksi diri. Semestinya warna etika inilah harus dibangunkan.

Mengkritik dengan berbagai cara termasuk dengan cara mural, dan lain sebagai sebenarnya hal positip, asal tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ini kemanusiaan ini yang terkadang, kita lupakan. Lebih mengedepankan emosional dan egoisme diri, serta warna khas politik. Ini yang justru harus dipikirkan secara matang bagi kita semua.

Dewasa ini, di Indonesia ini lebih dominasi menghayati nilai Ketuhanan yang maha Esa ketimbang kemanusiaan. Harusnya seimbang. Karena dari penghayatan nilai Ketuhanan sebagai topik utama mengalir juga didalam nilai-nilai lain seperti kemanusiaan, persatuan, keadilan sosial, musyawarah mufakat, dll.

Keseimbangan penghayatan inilah yang semestinya juga kita bangkitkan. Sehingga segala aspek hidup yang kita jalani pun diwarnai oleh penghayatan nilai-nilai yang ada di dalam demokrasi Pancasila.

Bagi saya, mural yang dari awal kehidupan manusia adalah baik karena mengandung unsur histori dan informasi kehidupan awal maka mural yang kini teringrasi dengan model desain grafis yang lebih bermoral estetis harus juga memiliki nilai etis dan menunjung tinggi kemanusiaan.

***

Pangkalpinang, 18 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun