Bila dahulu keresahan dan kesia-siaan tergambar di dalam kesusasteraannya, sebagaimana ditulisnya pada buku harian di tahun 1914 bahwa gejolak sastera itu sangat menggelora di dalam dirinya seperti dalam kisah pertunangannya dengan dengan Felice Bauer:
"Aspirasi unikku dan satu-satunya panggilanku ... adalah kesusasteraan ... Segala yang telah aku lakukan adalah hasil dari kesunyian ... Dengan menikah, aku tak akan sendiri lagi" dan ketika seremoni pertunangan di Berlin "Aku terbelenggu seperti seorang kriminil. Jika aku diikat di suatu pojokan dengan rantai sungguhan dan polisi di hadapanku ... itu tak akan lebih buruk.[2]
Â
Namun hingga semakin menyepi dia pun menyadari Kafka pun akhirnya mengerti bahwa keselamatan itu terdapat di dalam ketabahan di tengah keterasingan, menuliskan dunia dan bait-bait keresahan yang menandakan dirinya ada upaya untuk mendekati pada kepenuhan, yakni senantiasa untuk mengembara.
Apa yang terjadi pada Kafka dalam observasi Blanchot dinyatakan sebagai keterasingan padang gurun di mana membawa kemenangan yang sekaligus menyadarkan sebuah kekalahan tersendiri terlebih khusus adanya keterasingan.[3]
Kesia-siaan yang tabah inilah yang diartikulasikan Kafka dalam karya-karyanya. Sang seniman adalah seorang eksil, seorang yang terbuang dari kampung halamannya dan terkutuk (sekaligus terberkahi) untuk mengembara di padang gurun, di luar keselamatan yang teratur dan terprediksi, di suatu "luar absolut" (absolute outside) yang tak menjanjikan apapun selain janji itu sendiri: there exists for him only the outside, the glistening flow of the eternal outside.
Hanya dengan menuliskan yang tak mungkin-lah, hanya dengan menghikmati ketakmungkinan menulis lah, menulis menjadi mungkin.Â
Sunyi yang Terpancar dari Negeri
Catatan yang Blanchot berikan kepada salah satu entry dari Kafka sendiri, ingin melibatkan suatu analogi, yakni tepat ketika kita menjadi tuan atas keresahan di situlah kita tak dapat menulis apapun. Hingga pada titik tersebutlah, jika kita masih takut di hadapan maut, maka akan ada kata yang tergelincir masuk ke dalam tulisan kita tanpa kita rencanakan dan itu akan merusak karya kita.
Upaya menganalisis Kafka pada perspektif Blanchot terpapar bahwa "Aku tidak bersembunyi dari orang-orang karena aku ingin hidup secara damai, melainkan karena aku ingin hancur secara damai [perish peacefully]."
Tak seorang pun yang yakin dengan kematian. Tak ada yang meragukan kematian, tetapi tak seorang pun yang dapat memikirkan kematian yang niscaya selain secara meragukan. Sebab memikirkan kematian adalah mengintrodusir yang sepenuhnya meragukan ke dalam pemikiran [...] Seolah untuk memikirkan keniscayaan kematian secara otentik, kita mesti membiarkan pemikiran tenggelam dalam keraguan dan ketakotentikan [...] jika orang secara umum tak berpikir tentang kematian, jika mereka menghindar dari konfrontasi atasnya, itu untuk lari dari kematian dan bersembunyi darinya, tetapi pelarian-diri ini mungkin karena kematian itu sendiri adalah gerak pelarian yang abadi di hadapan kematian [...] Maka bersembunyi darinya adalah, secara niscaya, bersembunyi di dalamnya.[4]