Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Maurice Blanchot, Jalan Imanensi yang Sunyi

8 Oktober 2020   09:04 Diperbarui: 8 Oktober 2020   09:12 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Maurice Blanchot (1907-2003) adalah seorang kritikus sastra sekaligus sastrawan yang menjadi sumber inspirasi banyak filsuf Prancis kontemporer. Jean-Paul Sartre, Georges Bataille, Emmanuel Levinas, Michel Leiris, Pierre Klossowski, Michel Foucault, Jaqcues Derrida, Jean-Luc Nancy, Philippe Lacoue-Labarthe---mereka semua adalah filsuf yang berhutang budi pada Blanchot.[1]

Posisinya pada sejarah pemikiran imanensi dalam tradisi Prancis kontemporer cukup sentral. Imanensi memang bukan kata kunci pemikiran Blanchot. Kalau kita hendak mencari kata kunci tersebut kita akan menemukannya: pasivitas. 

 Bagi Blanchot Seni terlahir dari kesunyian. Adanya Kesunyian (solitude) yang ia maksud, tentu saja, bukanlah suasana eksternal yang sepi ataupun suasana batin yang teduh dan tenang.

Kesunyian dalam insight Blanchot adalah karya seni itu sendiri. Sehingga daripada itu pula seni sesungguhnya tak pernah berhenti, ia akan selalu bergerak dan hanya di dalam kesenyapan, seni mendandani diri tanpa tahu perspektif apa dari akhir suatu karya seni itu sendiri.

Seni yang sunyi dan kita serta seniman, hanya merupakan saksi dari sunyi yang telah selalu ada mendahului kita; seperti ketika kita, pada suatu malam yang cerah, memandang bintang yang sejatinya telah merepih ribuan milenia yang lampau. Sehingga, Sepi manusia selalu muncul sesudah senyap bintang-bintang, sepi rerumputan, sunyi pasir di dasar samudra.

Itulah sebabnya, bagi Blanchot, seniman tak pernah sungguh tahu kapan sebuah karya seni selesai sebagai karya seni, karena karya seni selalu merupakan rahasia bagi seniman dan keduanya senantiasa terpisah dan tak dapat bersidekap dengan erat. Maka prosesi kelahiran lebih merupakan langkah untuk memulai dan di di dalam bahasa Blanchot dikatakan sebagai 'kebermulaian yang abadi (eternal starting over)

Representasi sunyi a la Blanchot

Blanchot merumuskan tak pernah ada titik henti dan selesai untuk sebuah karya seni, sebagaimana di dalam unsur religi di masa pura tentang gambar-gambar pada dinding-dinding gua, serta tulisan-tulisan kesusasteraan lampau sebagaimana aksara yang terpapar dalam sebuah batu, hingga menciptakan sebuah lantunan, menjadi titik tolak seni akan terus mengalir melalui kebermulaian di mana senantiasa terus memulai dan menjadi unsur rahasia bagi seniman itu sendiri.

Seni lahir dari geraknya sendiri beriringan dengan kesunyian, menandakan adanya absensi terhadap segala kriteria (indah dan tak indah, seni dan tidak seni, baik dan buruk.) Titik muasal itulah yang disebut Blanchot sebagai "titik pusat" (central point), yaitu titik di mana kehadiran absolut dari bahasa adalah sama dengan ketakhadirannya.

Blanchot menyebutnya sebagai "tengah malam", sebagai asal-usul yang mendahului segala asal-usul; "titik ini adalah ambiguitas itu sendiri.  Asal-usul seni tak pernah dapat direngkuh bukan karena ia berada sepenuhnya di luar seni melainkan justru karena ia berada di dalam seni itu sendiri: "kita tak pernah bergerak dari 'dunia' menuju seni," demikian Blanchot, "kita selalu bergerak dari seni".

Franz Kafka (1883-1924) misalnya salah seorang penulis dari Afrika, di mana menandaskan kesunyian sebagai suatu citra untuk menggambarkan sastra itu sangatlah memberi dirinya suatu keselamatan.

Bila dahulu keresahan dan kesia-siaan tergambar di dalam kesusasteraannya, sebagaimana ditulisnya pada buku harian di tahun 1914 bahwa gejolak sastera itu sangat menggelora di dalam dirinya seperti dalam kisah pertunangannya dengan dengan Felice Bauer:

"Aspirasi unikku dan satu-satunya panggilanku ... adalah kesusasteraan ... Segala yang telah aku lakukan adalah hasil dari kesunyian ... Dengan menikah, aku tak akan sendiri lagi" dan ketika seremoni pertunangan di Berlin "Aku terbelenggu seperti seorang kriminil. Jika aku diikat di suatu pojokan dengan rantai sungguhan dan polisi di hadapanku ... itu tak akan lebih buruk.[2]

 

Namun hingga semakin menyepi dia pun menyadari Kafka pun akhirnya mengerti bahwa keselamatan itu terdapat di dalam ketabahan di tengah keterasingan, menuliskan dunia dan bait-bait keresahan yang menandakan dirinya ada upaya untuk mendekati pada kepenuhan, yakni senantiasa untuk mengembara.

Apa yang terjadi pada Kafka dalam observasi Blanchot dinyatakan sebagai keterasingan padang gurun di mana membawa kemenangan yang sekaligus menyadarkan sebuah kekalahan tersendiri terlebih khusus adanya keterasingan.[3]

Kesia-siaan yang tabah inilah yang diartikulasikan Kafka dalam karya-karyanya. Sang seniman adalah seorang eksil, seorang yang terbuang dari kampung halamannya dan terkutuk (sekaligus terberkahi) untuk mengembara di padang gurun, di luar keselamatan yang teratur dan terprediksi, di suatu "luar absolut" (absolute outside) yang tak menjanjikan apapun selain janji itu sendiri: there exists for him only the outside, the glistening flow of the eternal outside.

Hanya dengan menuliskan yang tak mungkin-lah, hanya dengan menghikmati ketakmungkinan menulis lah, menulis menjadi mungkin. 

Sunyi yang Terpancar dari Negeri

Catatan yang Blanchot berikan kepada salah satu entry dari Kafka sendiri, ingin melibatkan suatu analogi, yakni tepat ketika kita menjadi tuan atas keresahan di situlah kita tak dapat menulis apapun. Hingga pada titik tersebutlah, jika kita masih takut di hadapan maut, maka akan ada kata yang tergelincir masuk ke dalam tulisan kita tanpa kita rencanakan dan itu akan merusak karya kita.

Upaya menganalisis Kafka pada perspektif Blanchot terpapar bahwa "Aku tidak bersembunyi dari orang-orang karena aku ingin hidup secara damai, melainkan karena aku ingin hancur secara damai [perish peacefully]."

Tak seorang pun yang yakin dengan kematian. Tak ada yang meragukan kematian, tetapi tak seorang pun yang dapat memikirkan kematian yang niscaya selain secara meragukan. Sebab memikirkan kematian adalah mengintrodusir yang sepenuhnya meragukan ke dalam pemikiran [...] Seolah untuk memikirkan keniscayaan kematian secara otentik, kita mesti membiarkan pemikiran tenggelam dalam keraguan dan ketakotentikan [...] jika orang secara umum tak berpikir tentang kematian, jika mereka menghindar dari konfrontasi atasnya, itu untuk lari dari kematian dan bersembunyi darinya, tetapi pelarian-diri ini mungkin karena kematian itu sendiri adalah gerak pelarian yang abadi di hadapan kematian [...] Maka bersembunyi darinya adalah, secara niscaya, bersembunyi di dalamnya.[4]

Lalu untuk hal apakah yang dapat disumbangkan kepada negeri? Pastinya ada di dalam keterlemparan dalam ruang dan waktu saat ini, seperti tertera pada Heidegger terkait Dasein.

Saat diri sudah mengalami keterlemparan, dan membiarkan diri untuk menerima fenomena secara lebih koheren tentu tak ada lagi ruang untuk merumuskan kekosongan itu sendiri, yakni tepat ketika tak ada lagi semangat berefleksi jika berada dan berdiri bersama di pintu ambang kehancuran seperti apakah diri ini? dan siapakah diri ini nantinya?

Para petinggi negri mungkin alpa di dalam hal ini, karena tak pernah mau menulis catatan evaluasi dari setiap perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Suka duka rakyat dibiarkan untuk rakyat saja yang menulisnya dan membiarkan serta memberi dogma untuk belajar tabah dengan pelbagai tunjangan.

Seperti dalam rumusan Kafka yang berani untuk terjun ke dalam kesunyiaan dan kesia-siaan demi merumuskan keselamatan bagi dirinya agar menunjang tentang siapa dirinya sesungguhnya di hadapan keselamatan itu sendiri, menjadi sebuah rumusan terbalik untuk negeri ini dan mungkin akan ditertawakan, tetapi sesungguhnya itu menjadi bukti bahwa petinggi negeri mungkin tak ada kepekaan untuk terlibat, serta hadir dan menuntaskan semangat martir di tengah kegamangan di masa pandemik ini.

Sekarang telah banyak khalayak bingung untuk menjawab terkait siapa yang dapat bertanggung jawab terhadap kesenjangan yang akhir-akhir ini melanda. Sebab hingga kini semua gerak wakil rakyat seolah enggan untuk solider dengan rakyat jelata, alih-alih solider malah mengurus kepentingan untuk pilkada.

Sudahlah.... Biarkan aku sunyi menemani dan menuliskan bait-baitku serta bersuara bagi kepala keluarga yang masih senantiasa menafkahi anak cucu dengan peluh dan darah.

Biara Sang Surya 8 Oktober 2020

[1] Daftar nama ini diperoleh dari tulisan Ann Smock dalam Translator's Introduction atas buku Maurice Blanchot, The Space of Literature diterjemahkan oleh Ann Smock (Lincoln: University of Nebraska Press), 1989,  hlm. 1.

[2] The Space of Literature diterjemahkan oleh Ann Smock (Lincoln: University of Nebraska Press), 1989,  hlm. 61.

[3] The Space of Literature diterjemahkan oleh Ann Smock (Lincoln: University of Nebraska Press), 1989,  hlm. 41.

[4] The Space of Literature diterjemahkan oleh Ann Smock (Lincoln: University of Nebraska Press), 1989,  hlm. 95

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun