Mohon tunggu...
ALFIYATUL LAILI
ALFIYATUL LAILI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA, UIN K H. ACHMAD SHIDDIQ JEMBER

Upload di saat nugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Grebeg Suro

22 Juni 2022   14:25 Diperbarui: 22 Juni 2022   14:44 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Grebeg Suro merupakan sebuah adat istiadat tahunan bagi rakyat Ponorogo. Grebeg Suro merupakan ajang perayaan ketika menyambut datangnya bulan Muharram tepatnya pada tanggal 1 Muharram (1 Suro dalam kalender Jawa). Dalam perayaan tersebut biasanya terdapat pertunjukkan seni dan budaya yang ditampilkan seperti Festival Nasional Reog Ponorogo, Pawai Lintas Sejarah, dan Kirab Pusaka di Telaga Ngebel.

Dalam sejarahnya Grebeg Suro ini merupakan adat istiadat dari masyarakat Ponorogo, Sebab adanya kebiasaan dari masyaraakat terutama kalangan Warok pada malam 1 Suro yakni dengan tirakatan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo selama semalam suntuk. 

Pada tahun 1987, Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo terbesit dibenaknya tentang sebuah ide kreatif untuk mewadahi budaya tersebut guna sebagai ajang pelestarian budaya juga. Melihat pemuda yang pada saat itu sudah mulai lintur ketertarikannya dengan kesenian reog, oleh karena itu diadakanlah Grebeg Suro yang disitu diselipkan juga kesenian reog [1][2]

Namun, dewasa ini budaya Grebeg Suro tak hanya bisa kita nikmati di Ponorogo saja, tak usah kita jauh-jauh melancong pergi ke kota asal kesenian Reog Ponorogo tersebut. Banyak di daerah-daerah sebelah timur Kabupaten Ponorogo juga memperingati datangnya awal bulan Muharrah dengan perayaan Grebeg Suro juga, seperti beberapa wilayah tapal kuda yakni Lumajang, Jember, dan Banyuwangi  

Dari beberapa informasi yang dinyatakan Narasumber, mayoritas Perayaan Grebeg suro di daerah Pandhalungan merupakan perayaan bagi umat beragama islam. Perayaan ini dilakukan untuk menyambut hari besar tahun Hijriah yang jatuh pada tanggal 1 Muharram/suro. 

Perayaan ini diperingati sesuai dengan adat daerah masing-masing dengan tujuan perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, disamping itu perayaan diharapkan agar Tuhan senantiasa memberi keselamatan dan keberkahan rezeki kepada hambanya. Hal ini juga dijelaskan oleh dr. Faida, MMR selaku Bupati Jember

Tutur beliau  “Ritual petik laut Puger rutin dilakukan setiap tahun, sebagai salah satu ritual adat yang bersifat religius untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT”.

Dalam menyambut datangnya 1 suro, sebagian besar warga pandhalungan mempersiapkan segala keperluan sebelum melalukan perayaan. Adapun perayaan di daerah pandhalungan seperti  di Banyuwangi, memandikan keris, membersihkan kafan yang terletak di nisan makam sesepuh, ider barong ( memainkan barong Banyuwangi keliling desa ), ider bumi, tumpengan, kebo keboan ( di desa alasmalang dan aliyan ), petik laut, dan tari Seblang. 

Perayaan Grebeg suro di Jember meliputi petik laut, madaf muharram carnival, festifal kesenian, memandikan keris, parade sukoreno. Sedangkan di daerah Lumajang, grebeg suro diperingati dengan cara melakukan ritual adat. Sejarah adanya grebeg ini diyakini sejak ratusan tahun yang lalu, sudah diperingati dan diawali oleh masyarakat jawa kuno untuk memperingati 1 muharram.

Perayaan grebeg suro ini memberikan efek ganda pada segi ekonomi, hal ini di karenakan banyaknya orang yang berpartisipasi dalam perayaan akan menambah peluang pekerjaan bagai masyarakat. Contohnya: ketika ada pamera-pameran atau pusat keramain tidakbisa dipungkiri jika disana terdapat pedagang kaki lima 

Keanekaragaman grebeg suro wilayah pandhalungan

Grebeg, merupakan sebuah perayaan tradisi Jawa  yang di adakan setiap satu tahun sekali, karena tepat pada bulan suro atau  Muharram sehingga momentum tersebut di juluki grebeg suro.

 Suro merupakan bulan pertama dalam kallender jawa dan bulan suro dalam kalender islam atau hijriyah bertepatan dengan tanggal 1 muharrom, karena kalender jawa yang di tetapkan oleh sultan agung mengacu pada penanggalan hiriyah (islam).  

Bulan suro dalam pandangan   kejawen merupakan bulan yang sakral atau keraamat sehingga bulan suro di anggap tepat dalam melakukan berbagai macam ibadah atau ritual, penulis memberi kan contoh di Banyuwangi, memandikan keris, membersihkan kafan yang terletak di nisan makam sesepuh, ider barong ( memainkan barong Banyuwangi keliling desa ), ider bumi, tumpengan, kebo keboan ( di desa alasmalang dan aliyan ), petik laut, dan tari Seblang, tapi di sini penulis mengangkat grebeg suro di daerah Banyuwangi kecamatan Singojuruh desa benelan kidul dusun Cawang yaitu selametan pelecutan, kata pelecutan di ambil dari sebuah legenda yaitu ketika ada seseorang wanita yang tinggal di dusun Cawang sebelah barat tiba tiba menghilang, sehingga daerah tersebut di juluki pelecutan ( tiba tiba menghilang ) hingga kini tradisi tersebut sangat di yakini oleh masyarakat sekitar sebagai istilah bersih desa agar selamat dari bahaya, sehingga kepercayaan orang setempat bahwa orang yang hilang tadi ada kaitannya dengan sesepuh dusun Cawang, konon katanya ketika masyarakat setempat ingin lomba kontes angklung caruk ( kesenian Banyuwangi ) sebelum hari H ritualnya ialah menempatkan alat musik di pelecutan ( di pojok dusun Cawang ) ketika malam itu alat musik di bersihkan dengan air bunga kemudian di tinggalkan dan akan di ambil di ke esokan harinya, kepercayaan orang setempat agar Ketika lomba di berikan kemenangan, kemudian ada sebuah cerita dari masyarakat setempat bahwa dahulun pelecutan tersebut sebuah gumuk dan di beli oleh seseorang ketika gumuk itu di sama ratakan ada pegawai yang menemukan bahwa ada sebuah benda kuno, jadi hingga sekarang pelecutan menjadi tempat selametan dan sebuah nama wilayah pojok dusun Cawang desa benelan kidul kecamatan Singojuruh kabupaten Banyuwangi.

Grebeg suro juga dirayakan di berbagai wilayah pandhalungan seperti Jember. Pelaksanaan grebeg suro secara serentak contohnya adalah petik laut. Ritual petik laut di Jember merupakan kegiatan tahunan kabupaten yang dilakukan di Puger untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT serta sebagai permohonan agar nelayan selamat dalam melaut dan mendapatkan rezeki yang manfaat barokah. Ritual ini berupa pembuatan sesajen yang akhirnya dilarungkan ke laut. 

Sebelum melarungkan sesaji,warga puger mengarak sesaji tersebut keliling desa terlebih dahulu lalu melakukan ritual do’a diatas perahu. Pelaksanaan petik laut ini juga dihadiri oleh bupati Jember sendiri sebagai tanda penghormatan. Perayaan grebeg suro juga dirayakan diberbagai desa di kabupaten Jember seperti Jombang. Setiap 1 suro warga desa Jombang memperingati suroan, hal ini berupa perlombaan, MMC (Madaf Muharrom Carnifal), syukuran dan pengusapan anak yatim. 

Dari berbagai kegiatan tersebut yang paling menonjol yaitu MMC (Madaf Muharram Carifal). Pada awalnya MMC dilakukan oleh santri-santri pondok pesantren Mabdaul Maarif saja, karena banyaknya warga yang antusias akan kegiatan tersebut, MMC menjadi tradisi tahunan yang rutin dilakukan setiap tahunnya. 

MMC adalah suatu kegiatan carnaval dengan berpakain islami dan memiliki tema berbeda-beda tiap tahunnya. Carnaval ini diikuti oleh santri-santri Mabdaul Ma’arif, TPQ se desa Jombong, ibu-ibu dan bapak-bapak jama’ah pengajian serta warga sekitar. MMC dilakukan dengan tujuan mempererat persaudaraan, membangun kerukunan serta menjalin keterikatan. 

Tidak hanya itu, Jember juga menggelar acara fetival kesenian seperti yang digelar di Balung lor (Kamis, Agustus 2020). Acara ini rutin dilakukan setiap tahunnya untuk menyambut bulan asyuro. Konsep acara ini yaitu dengan mementaskan berbagai kesenian di Jember secara bergantian, tujuannya adalah agar para pelaku kesenian guyub rukun, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. 

Untuk menyambut datangnya bulan asyuro, masyarakat lintas agama di desa Sukoreno kecamatan Umbulsari juga menggelar grebeg suro. Biasanya kegiatan ini digelar dengan melakukan parade, parade ini diramaikan oleh umat beragama Islam, Budha, Hindu dan aliran kepercayaan dharmo. 

Hal yang diutamakan adalah kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama agar tewujud toleransi dan rasa kekeluargaan tanpa memandang perbedaan. Untuk menjaga keamanan acara tersebut dilibatkan polisi, sat pol pp, TNI untuk memastikan acara tersebut berjalan dengan lancar serta memastikan keamanan saat pelaksanaan grebeg suro digelar.

Ritual grebeg suro juga dilakukan oleh masyarakat lumajang tepatnya di hutan bamboo, desa sumber mujur, candipuro  sebagai tanda penghormatan kepada para leluhur dan juga rasa syukur mereka kepada tuhan yang maha esa, mereka mempercayai barangsiapa yang melaksanakan peribadatan ataupun upacara adat pada bulan suro ini maka segala hajat yang di inginkan akan dengan cepat terkabul. 

Pada hari itu masyarakat desa akan berbondong-bondong menyaksikan dan mengikuti ritual grebeg suro ini dengan melakukan kegiatan ritual seperti penanaman kepala sapi. kegiatan ini dilakukan masyarakat desa sumber mujur sebagai wujud penghormatan kepada arwah leluhur serta ungkapan rasa syukur kita kepada tuhan . 

Acara ritual adat penanaman kepala sapi ini dilaksanakan di kawasan sumber mata air hutan bamboo bukan hanya itu ritual ini juga dilaksanakan sebagai wadah untuk menyambung tali silaturahmi antar masyarakat dan lebih khususnya masyarakta desa sumber mujur. 

Masyarakat desa sumber mujur meyakini bahwa kita hidup di dunia ini tidak hanya bedampingan dengan binatag dan tumbuhan aja melainkan ada makhluk ghoib dan roh nenek moyang yang tak kasat mata yang harus kita hormati keberadaannya.makhluk ghaib dan roh nenek moyang ini dipercaya sebagai penjaga mata air di hutan bamboo ini, mata air ini merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sumber mujur dimana setiap alirannya memberi kemakmuran, kesejahteraan,  serta energy spiritual maka tak heran jika warga desa sangat menjaga kelestarian alamnya.

Hal ini pun sudah mereka lakukan sejak zaman nenek moyang terdahulu sebagai suatu tradisi. Ritual upacara adat penanaman kepala sapi ini juga dihadiri oleh kepala desa , serta pejabat pemerintahan dan dukun adat. 

Ritual in juga dilengkapi dengan berbagai macam persembahan atau sesajian yakni terdapat wedang kopi, cok bakal,ingkung, bubur merah putih,tumpeng, gunungan hasil alam, kepala sapi. Semua sesaji ini akan di letakkan  di tempat sacral yang kemudian akan di kellilingi oleh dukun adat  serta pejabat pemerintahan kemudian dukun adat akan membacakan do’a dan mantra-mantra dengan logat bhasa jawa setelah itu penanaman kepala sapi dilakukan, masyarakat juga di persilahakn untuk makan ingkung yang dibawa oleh warga desa sekaligus di iringi dengan tradisi rebeg suro dari hasil panen masyarakat desa.berbeda daerah berbeda puala ritualnya jika di desa sumber mujur ritual grebeg suro dilakukan dengan ritual adat penanaman kepala sapi maka di desa klanting lumajang sebelum melakukan grebeg suro masyarakat desa akan ber takziah ke makam  mbah singo joyo , mbah singo joyo ini merupakan sesepuh babad alas desa klanting. Setelah itu meeka berbondong-bondong untuk bekumpul di lapangan desa untuk berdoa bersama demi kemakmuran, dan keselamatan seluruh warga desa, dan dilanjutkan dengan grebeg suro hasil bumi dan makan bersama. Hal ini membuktikan betapa beragamnya kebudayaan dan tradisi yang ada di Indonesia ini yang patut kita jaga dan lestarikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun