Sambil menunggu hasil analisa labotarium Eijkman, Siti Fadilah Supari menggelar konferensi pers, guna meredam ekses statement WHO, yang amat sembrono itu. Siti Fadilah Supari menegaskan, penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo: salah! Bila benar terjadi, korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak. Bukan puluhan, tapi mungkin ribuan.
Kabar itu kemudian dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menkes meyakinkan Presiden pendapatnya itu. Hasilnya, menurut cerita Menkes, Presiden SBY kala itu bisa saja melayangkan surat protes ke PBB. Tapi ditahan Menkes, karena sedang menunggu pembuktian labotarium Eijkman.
Yang ditunggu kemudian keluar juga. Labotarium Eijkman berhasil melakukan sequencing. Hasilnya: DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo menunjukkan suatu virus H5N1 yang masih identik dengan virus H5N1 sebelumnya di daerah lain di Indonesia. Artinya: belum menular human to human. Hanya, ada sedikit perubahan yang menunjukkan virus Tanah Karo ini agak lebih ganas dibanding dengan virus sebelumnya.
Namun struktur lainnya masih sesuai dengan virus yang menular dari binatang (ayam) ke manusia. Sayangnya, masyarakat internasional sepertinya cuek. Mereka seolah-olah kurang percaya dengan hasil sequencing yang dilakukan di labotarium Eijkman, hanya karena lembaga tersebut belum pernah diakreditasi oleh WHO. Maka digelarlah pertemuan antar pakar dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia). Akhirnya diputuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok ilmuwan saja.
Sepucuk surat kemudian dilayangkan ke WHO untuk meminta data sequencing virus dari Tanah Karo. Permintaan itu dituruti. Dan tanggal 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia.
Caranya, Siti dengan jeli mengirim data yang tadinya disimpan di WHO ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health Amerika, berkolaborasi dengan DNA DataBank of Japan (DDBJ), European Molecular Biology Laboratory (EMBL), dan GenBank itu sendiri di National Center for Biotechnology Information (NCBI). Dari sinilah semua ilmuan dunia akhirnya bisa mengakses DNA H5N1. Sebab database sekuen genetik, dan semua sekuen DNA, berikut dengan teranotasi dan tranlasinya, dipublikasikan ke seluruh dunia; bisa diakses secara online.
Sejumlah media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantara menuliskan: Menteri Kesehatan Indoensia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Tapi banyak pula yang mencibirnya. Siti Fadilah, terutama dirilis dalam beberapa blog, dilukiskan setara dengan Ahmadienejad, musuh bebuyutan Presiden Bush.
Kabar terakhir yang diperoleh Siti Fadilah, laboratorium Los Alamos sudah ditutup sejak ia menuntut data virus Tanah Karo. Saat FORUM bertandang ke rumahnya, untuk bertanya soal ini, tak kuasa Menkes menahan senyum. Sejak itu diagnosis Flu Burung dilakukan di laboratorium Litbangkes, Departemen Kesehatan RI dan labotarium Eijkman.
Meskipun tidak diakui WHO, Siti Fadilah Supari tak ambil pusing. Ia akan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat yang tidak bisa didikte begitu saja. Malah, setelah Siti Fadilah berjuang membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data flu burung pada GenBank (public domain), Departemen Kesehatan berencana akan membuatearly and rapid diagnostic dan vaksin dari virus strain Indonesia secara mandiri atau bekerja sama dengan prinsip kesetaraan dengan negara maju.
Terbuka akses DNA H5N1 di GenBank telah menabuh perang diplomasi negara-negara berkembang yang dipelopori Indonesia dengan WHO. Sejak 20 Desember 2006, Indonesia tak lagi mengirimkan spesimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO lagi.
”Itu kalau mekanismenya masih mempertahankan GISN,” cetus Siti.