Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money featured

Bu Siti Melawan Amerika

19 Januari 2012   22:16 Diperbarui: 29 April 2020   05:38 4228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/5/2017).(KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)

Bu Siti, yang juga dokter spesialis jantung ini tidak patah arang. Ia mengumpulkan energi dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu. Nama generik obat ini: Oseltamivir, produksi Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Dana sudah ada. Sialnya stok habis. Tamiflu ludes dipesan negara-negara  kaya sebagai stockpilling. Siti curiga.

Pasalnya, kasus flu burung tidak terjadi di negara itu. Menkes akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Negara ini juga memiliki lisensi dari Roche.

Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailan dan Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis.

Kejadian itu meninggalkan bekas luka mendalam di hati Siti Fadilah Supari. Ia berpikir: seandainya nanti ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara kaya yang meraup keuntungannya. Betapa tidak: bahan (material) untuk  membuat vaksin  atau virusnya diperoleh dari negara penderita Flu Burung yang tidak kaya, yang belum tentu mampu membeli vaksin yang dibuat oleh negara kaya.

Maka, kata Siti Fadilah, tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya. Lebih lanjut, Menkes Siti Fadilah Supari mengungkapkan sampel virus Flu Burung diambil dan dikirim ke WHO (WHO Collaborating Center), untuk dilakukan risk assesment (pengkajian risiko), diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus.

Dari seed virus inilah kemudian dipakai untuk membuat vaksin. Sekali lagi, ini amat ironi. Pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri,  negara maju, negara  kaya yang tidak mempunyai kasus Flu Burung pada manusia. Vaksin itu lalu dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Kedaulatan dan rasa nasionalisme Siti Fadilah terusik. Pikirannya menerawang pada ungkapan Bung Karno 50 tahun lalu yang menyebut praktik kecurangan itu sebagai neo-kolonialisme: ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain. Siti Fadilah menjelaskan, pengiriman sampel virus ke WHO tak hanya Flu Burung. Tak urung, karena aturan Global Influenza Surveilance Network (GISN), spesimen Influenza biasa juga wajib dikirim oleh 110 negara ke WHO.

”Itupun sudah berangsung selama 50 tahun. Entah siapa yang mendirikan GISN itu”, tulisnya.

Siti Fadilah tak tahu. Yang jelas, kata dia, negara-negara penderita Flu Burung tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN. Tak ada yang protes kalau virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Kemudian diproses untuk risk assesment dan riset para pakar.

Di samping itu juga diproses menjadi seed virus. Dari seed virus itulah bisa dibuat suatu vaksin. Bila berhasil, vaksin itu didistribusikan ke seluruh negara di dunia secara komersial, termasuk negara penderita yang mengirim virus. Harganya juga cuma bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya bercokol di negara industri yang kaya. Tentu dengan  harga yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi, semata. ”Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik,” hardik Supari.

Siti Fadilah heran kenapa tidak ada yang protes. Padahal tidak seorang pun tahu virus dari mankah yang digunakan untuk membuat vaksin dan kemudian mereka jual. Konon kabarnya virus dari Indonesia dan Malaysia. ”Entahlah benar apa tidak. Pokoknya kalau Anda butuh ya harus membeli dengan harga mahal,” imbuh Supari lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun