Mohon tunggu...
Alfira Fembriant
Alfira Fembriant Mohon Tunggu... Lainnya - Instagram : @Alfira_2808

Music Director and Radio Announcer STAR 105.5 FM Pandaan Pasuruan East Java (from 2012 until now) 📻

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Radio Legal vs Radio Ilegal hingga Era Digital

8 Desember 2022   08:22 Diperbarui: 10 Desember 2022   02:51 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah bertemu tetangga agak jauh saat antar kontrol ibu ke rumah sakit, disitu ada percakapan dan akhirnya menanyakan profesi saya sekarang kerja dimana. Saya pun menjawab bahwa saya 10 tahun terakhir kerja sebagai Penyiar Radio.

Kemudian tanggapannya kurang mengenakan, seperti dapat saweran berapa dari pendengar radio, karena dikira saya siaran sebatas karaokean dan dapat saweran banyak. Sehingga kesuksesan saya sekarang dianggap dapat uang banyak dari saweran tersebut.

Pernah juga saat saya semir rambut ke salon, pegawai salonnya basa-basi bertanya kerja apa. Saya pun menjawab sebagai penyiar radio. 

Lantas tanggapannya pun juga sama, ia mengungkapkan ketidaknyamanannya memandang penyiar itu adalah orang yang gampangan alias wanita panggilan semacamnya.

Ya saya pun mengelus dada dan istighfar. Karena tipikal orang-orang yang demikian, biasanya sangat sulit untuk membedakan, meskipun sudah dijelaskan secara berulang.

Hal tersebut disebabkan ada kesalahpahaman dari masyarakat yang tidak dapat membedakan mana radio legal (resmi/berizin) dengan radio ilegal (tidak resmi/tidak berizin).

Biasanya kalau radio ilegal konteks acaranya tidak jelas, kemudian penyiarnya seadanya alias tidak profesional, dan kemanfaatan siarannya pun dipertanyakan.

Sebaliknya jika radio legal konteks acaranya jelas, sumber daya manusianya berkualitas, dokumen perizinan lengkap termasuk dipantau dan mengikuti P3SPS dari KPI.

Kebetulan lokasi saya di Jawa Timur, berarti masuk wilayah KPID Jatim (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur).

P3SPS singkatan dari Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).

Dalam peraturan KPI di buku tersebut Nomor 01/P/KPI/03/2012 mengatur tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, disitu terdapat banyak Undang-undang dan pasal yang disebutkan untuk mengatur tentang batasan-batasan tertentu sebagai seorang penyiar.

Dan Nomor 02/P/KPI/03/2012 mengatur tentang Standar Program Siaran. Disitu terdapat banyak Undang-undang dan pasal yang disebutkan untuk mengatur tentang batasan-batasan tertentu mengenai program siaran.

Contoh yang disebutkan dalam buku (P3SPS) tersebut yaitu membahas tentang:
1. Penghormatan nilai-nilai kesukuan Agama, Ras, dan Antargolongan
2. Penghormatan nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan
3. Perlindungan kepada anak
4. Muatan program siaran terkait rokok, napza, dan minuman beralkohol
5. Muatan program siaran terkait perjudian
6. Program siaran bermuatan mistik, horor, dan supranatural
7. Larangan dan pembatasan seksualitas, kekerasan (lagu explicit)
8. Dan lain-lain.

Sehingga sebagai penyiar radio yang profesional pun harus mengikuti rambu-rambu kepenyiaran yang berlaku tersebut dan tidak siaran seenaknya saja seperti penyiar radio ilegal. 

Termasuk lagu-lagu yang terputar tidak sembarangan diputar. Ada seleksi yang tidak diizinkan memutar lagu bertema seksualitas, kekerasan, mistis, dan lain-lain seperti yang sudah disebutkan di atas.

Untuk diketahui juga bahwa buku P3SPS hanya dimiliki oleh radio legal atau yang terdaftar di KPI.

Sementara radio ilegal tidak mempunyai buku peraturan tersebut, apalagi diundang dalam acara KPI untuk workshop atau sosialisasi per tahunnya mengenai kepenyiaran.

Sehingga sangat bahaya jika media penyiaran publik dipakai hal-hal yang kurang bermanfaat juga tanpa pengawasan dan batasan tertentu.

Selain mematuhi peraturan tertulis dari KPI, dalam radio legal juga terdapat susunan manajemen yang jelas. Dari mulai manajemen tertinggi hingga masing-masing sebagai penyiar.

Seperti ada manager, supervisor, program director, music director, production, data entry, marketing, announcer, dan lain-lain.

Nah, biasanya yang paling sering mengeluh pada job desc tersebut yaitu marketing. Ia mengeluh karena klien sering membandingkan tarif harga iklan dengan radio ilegal. Padahal jelas-jelas kami berbeda.

Misalnya radio legal memberikan tarif iklan ke klien antara harga 1-10 yaitu memberikan tarif 9 (sembilan), sementara radio ilegal memberikan tarif iklan 1 (satu). Dari situ dapat disimpulkan bahwa radio ilegal merusak pasaran radio legal.

Namun biasanya yang sering membandingkan demikian adalah klien lokal. Sementara jika klien dari agency ibu kota, sudah pasti menuju radio legal terbaik di tiap kota tersebut.

Kenapa tarif iklan radio legal lebih mahal 3x lipat dari radio ilegal?

Jawabannya karena terdapat banyak pengeluaran untuk kualitas suatu radio legal.

Contohnya pembayaran sumber daya manusia berkualitas, pembayaran lstrik per bulan dengan cover jangkauan pemancar luas, perawatan alat teknis siaran, perawatan pemancar radio, BHP Frekuensi, pengurusan (pembaharuan) dokumen perizinan siaran radio, dan lain-lain.

Sementara radio ilegal tidak mengeluarkan pengeluaran sebanyak itu, karena dari SDM saja seadanya, kadang juga sukarela siapa saja boleh siaran, cover jangkauannya pun sangat minim dan jauh berbeda cover area pemancarnya, apalagi pengurusan perizinannya juga dipertanyakan.

Maka dari itu karena minimnya pendapatan sukarela, beberapa penyiar radio ilegal merusak image penyiar radio legal.

Bukan dengan program acaranya saja, tapi juga attitude dari penyiarnya yang berdampak miring terhadap kehidupan normal penyiar radio legal, yaitu seperti contoh case yang disebutkan di awal artikel.

Dan yang namanya ilegal pastinya tidak berizin, juga menjadi hal yang wajar jika ditindak lanjut oleh pihak berwenang.

Tetapi meskipun sudah sering diadakan razia atau penutupan paksa radio ilegal, nampaknya tidak membuat radio ilegal jera dan malah pindah-pindah tempat untuk tetap siaran secara sembunyi-sembunyi.

Sehingga jauh sebelum era digital ini, radio ilegal lah yang menjadi momok atau musuh utama radio legal.

Penjelasan saya mengenai hal sesuai judul juga dapat dilihat pada video di bawah ini:


Sejauh ini era digital pun juga dapat memfasilitasi dan mempermudah pekerjaan kami sebagai orang media radio. Kemudahan tersebut jelasnya dari segi komunikasi dan kecepatan informasi.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa radio di era digital ini memang seiring waktu mulai meredup, tapi meredup bukan berarti mati.

Dan jelasnya radio yang was-was adalah radio swasta, karena kalau radio milik pemerintah pastinya tidak sewaspada itu.

Seperti yang diketahui ada beberapa radio yang gulung tikar selama era digital ini, tapi hingga saat ini juga masih ada radio swasta yang tetap mengudara.

Saya pun yang bekerja di radio swasta selama 10 tahun terakhir juga dapat merasakan perubahan yang terjadi, dan yang paling nampak adalah dari pendengar radio.

Dulu sekitar tahun 2012, dalam satu program dapat menyapa dan membacakan atensi pendengar sampai kuwalahan yaitu ratusan pendengar yang bergabung.

Tetapi zaman sekarang yang bergabung memang ada penurunan signifikan terlebih di acara anak muda. Sementara untuk acara radio orang dewasa tetap stabil.

Nah, dari sini kita dapat menganalisis bahwa sebenarnya yang meninggalkan radio adalah anak muda. Sebaliknya orang-orang dewasa di atas usia 30 tahun tetap stabil mendengarkan dan bergabung di radio.

Sehingga dapat disimpulkan juga bahwa paling pas di era digital ini adalah memuat program acara radio untuk orang dewasa.

Jikalau program/acara untuk anak muda pun sebagai sisipan juga tidak masalah, tapi tetap yang utama program/acara all segmen tersebut dapat dijalankan untuk mengejar rating radio.

Dengan all segmen radio seperti ini yang cenderung acaranya untuk orang dewasa, klien yang mempromosikan produk/jasanya juga mengikuti yaitu biasanya produk obat-obatan, kuliner, talkshow kesehatan, dan lain-lain.

Kita juga dapat melihat beberapa radio berhenti mengudara tersebut segmen radionya apa, dan rata-rata yang berhenti mengudara adalah segmen radio anak muda.

Hal tersebut disebabkan anak muda sudah banyak pilihan hiburan di era digital, sementara orang dewasa yang pernah merasakan kejayaan radio pada masanya tetap antusias menjaga radio tetap jaya di udara pada wilayah masing-masing.

Namun, biasanya tergantung populasi suatu area dan berapa banyak saingan radio di tiap kota. Karena untuk tetap berdiri/berjaya, meskipun bukan yang pertama, tapi setidaknya kita harus menjadi satu-satunya (pilihan) di daerah tersebut.

Dan yang sangat disayangkan adalah mengenai survei atau rating radio yang tidak menyeluruh.

Sejauh ini yang saya lihat tiap ada survei tentang keradioan, sampel yang diambil adalah radio-radio di kota besar. Sementara radio yang ada di daerah lainnya jarang dilirik untuk dijadikan bahan penelitian.

Karena dalam realita yang ada, radio di suatu daerah itu masih banyak pendengar yang bergabung. Sehingga kurang validnya suatu data karena mengambil sampelnya hanya di radio kota-kota besar saja.

Padahal radio di banyak daerah lainnya di Indonesia masih banyak yang berjaya sesuai klasifikasi usia/segmen radionya masing-masing.

Kenapa demikian?

Jawabannya, karena di daerah-daerah kecil di Indonesia itu tidak ada mall, tidak banyak bioskop, tidak banyak diskotik, tidak banyak konser musik, dan tidak banyak pilihan hiburan lainnya.

Jujur saja semua tempat hiburan yang disebutkan spesifik adanya di kota bukan? 

Lantas, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil bagaimana? 

Jangankan era digital yang bergantung pada internet, terkadang untuk mendapatkan sinyal seluler saja di pelosok desa susah.

Hingga akhirnya gelombang radio pun masih menjadi pilihan hiburan bagi masyarakat daerah di Indonesia. 

Sehingga dengan kesenjangan tersebut dapat disimpulkan juga bahwa saat ini radio-radio di daerah lainnya di Indonesia (bukan hanya kota-kota besar di suatu provinsi) juga malah lebih berpeluang mendapat rating yang bagus.

So, di era digital ini sebagai seorang penyiar, saya tidak kecewa apalagi menganggap musuh perkembangan teknologi ini, tapi malah tetap bersyukur dengan kemudahan komunikasi dan informasi di era digital ini.

Kenapa saya masih bertahan di radio walau sudah mengetahui nasib radio yang tergerus oleh waktu di masa depan?

Jawabannya, karena saya mengimani karir di radio ini seperti takdir kehidupan manusia.

Setiap yang hidup, pasti akan mati.

Entah kapan masanya (radio) berakhir, tapi selagi saat ini kita masih hidup, tetap berusaha berikan yang terbaik. Karena hari ini adalah kenangan terindah di masa depan yang lebih baik.

Tetap bangga menjadi bagian dari (anak) radio.

Salam, @Alfira_2808

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun