PENDAHULUAN
           Setelah kelahiran psikologi kontemporer di dunia barat, banyak pengertian tentang psikologi yang ditawarkan oleh pada psikolog. Pengertian-pengertian oleh para tokoh psikologi kontemporer dapat disederhanakan menjadi tiga pengertian umum (Mujib & Muzakir, 2002). Ketiga definisi tersebut yaitu, psikologi sebagai ilmu tentang jiwa (studi Plato dan Aristoteles), psikolgi sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiranl; persepsi; intelegensi; kemauan dan ingatan yang dipelopori oleh Willhelm Wund. Dan yang terakhir adalah psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme yang dipelopori oleh John Watson. pengertian pertama lebih menekankan pada konsep tentang jiwa yang condong ke filosofisnya, sedangkan pengertian yang kedua bertujuan untuk memisahkan antara aspek psikologis dan filsafat dengan fokus pada keadaan mental dan pikiran meski belum sempurna. Sementara pengertian yang ketiga menunjukkan kemandirian ilmu psikologi yang benar-benar memisahkan diri dari filsafat. Tidak lagi sebatas hakikat jiwa, tetapi lebih cenderung pada gejala-gejala jiwa yang ditunjukkan melalui perilaku organisme.
           Psikologi secara etimologi memiliki arti ilmu tentang jiwa, sedangkan dalam Islam istilah jiwa ini dapat disamakan dengan istilah al-nafs, dan ada juga yang mengatakan al-ruh. Namun keduanya memiliki asumsi yang berbeda (Mujib & Muzakir, 2002).
           Sejauh ini psikologi kontemporer secara umum hanya mengakui tiga dimensi dalam menentukan perilaku manusia (Bastaman, 1995), yaitu dimensi raga (organo-biologi); jiwa (psiko-edukasi); dan lingkungan sosial budaya (sosio-kultural). Dimensi raga dipelajari dalam ruang lingkup kedokteran, sedangkan perilaku manusia dikaji dalam ilmu sosiologi dan antropologi. Namun selama kedua dimensi tersebut berkaian dengan dimensi kejiwaan, maka psikologi dapat dilibatkan.
Psikologi Islam sendiri mengakui adanya hembusan Ruh-Nya ke dalam diri manusia. Sejenis ruh yang teramat halus dan luhur yang dikaruniakan al-Rah,am al-Rahiim kepada manusia semata-mata (Bastaman, 1995). Dengan tujuan agar manusia memiliki hubungan ruhaniah dengan Allah SWT. Dengan demikian, dalam pandangan Islami ada empat dimensi yang terpadu pada diri manusia selama hidup, yaitu dimensi ragawi, kejiwaan, lingkungan dan ruhani.
PEMBAHASAN
           Pada umumnya para ahli membagi substansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs (Mujib & Mudzakir, 2002). Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh adalah benda mati, sebaliknya ruh tanpa jasad tidak dapat diaktualisasikan. Substansi jasmani adalah adalah bagian manusia yang terdiri dari struktur fisik. Dan fisik manusia lebih sempurna daripada organisme lainnya. Jasmani manusia memiliki natur sendiri. Al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain (Daudy dalam Mujib & Mudzakir, 2002).
           Substansi yang selanjutnya adalah substansi ruh. Pembahasan tentang ruh dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruh yang berhubungan dengan zatnya sendiri dan ruh yang berhubungan dengan badan jasmani (Mujib & Mudzakir, 2002).
           Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism lathif), ada substansi sederhana (jauhar basith), dan ada juga yang mengatakan substansi ruhani (jauhar ruhani). Sedangkan menurut Al-Ghazali dalam Mujib dan Mudzakir (2002), ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Dan ia juga sebagai penggerak bagi keberadaan jasad manusia.
           Menurut Al-Ghazali pada diri manusia terkumpul sekaligus empat dimensi kejiwaan (Bastaman, 1995), yaitu dimensi ragawi (al-jism), dimensi nabati (al-natiyyah), dimensi hewani (al-hayawaniyyah), dan dimensi insani (al-insaniyyah). Sedangkan dimensi insani berkaitan dengan aspek intelektual,yaitu active intellect (‘aamilah) dan Cognitive Intellect (‘aalimah). Dimana setiap dimensi memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, baik yang teramati maupun yang tidak dapat teramati.
           Dimensi al-natiyyah memiliki dua fungsi, yaitu fungsi nutrisi (al-qhaadiyyah) dan fungsi reproduksi (al muwallidah). Sementara pada dimensi al-hayawaniyyah, memiliki fungsi motivasi (al-mubarrikah) dan fungsi persepsi (al-mudrikah). Yang keduanya tersebut dikatakan Al-Ghazali sebagai pasukan hati (Bastaman, 1995). Dimana pasukan tersebut memiliki cabang fungsi lagi yang jumlahnya pun tidak diketahui secara pasti, misalnya motivasi yang memiliki dua daya. Dua daya tersebut adalahdaya pembangkit dan pendorong, yang menggerakkan tubuh dan aktifitas manusia dan mencerminkan adanya kemauan dan kemampuan.
           Pandangan Al-Ghazali mengenai struktur keruhanian manusia dan aspek-aspeknya memberi kesan bahwa semacam pola kualifikasi berjenjang atas berbagai kualitas insani, yakni menggolongkan sifat manusia dari yang paling rendah melewati beberapa tahap (jenjang antara) sampai pada tingkatan yang paling tinggi dengan tolak ukur sejauh mana keterikatan dengan jasmani dan keterkaitannya dengan ruhani (Bastaman, 1995).
           Yang ketiga adalah substansi Nafs. Nafs dapat berarti jiwa (soul), nyawa, ruh konasi, yang berdaya syahwat dan ghadbab, kepribadian, dan substansi psikofisik manusia. Pada substansi nafs ini adalah dimana komponen jasad dan ruh bergabung. Substansi nafs memiliki potensi gharizah (bawaan/psikofisik manusia yang dibawa sejak lahir dan menjadi penent tingkah laku manusia), yang jika dikaitkan dengan jasad dan ruh dapat dibagi menjadi tiga bagian (Mujib & Mudzakir, 2002). Bagian-bagian tersebut adalah al-qalb yang berhubungan dengan emosi, al-‘aql yang berhubungan dengan cipta dan kognisi, dan daya al-nafs yang berhubungan dengan karsa dan konasi. Dan ketiga potensi tersebut adalah subsistem nafs yang dapat membentuk kepribadian.
           Kalbu merupakan materi organic yang memiliki system kognisi dan emosi. Alh-Ghazali secara tegas melihat qalbu dari dua aspek, yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani (Mujib & Mudzakir, 2002). Kalbu jasmani adalah jantung pada manusia, sedangkan kalbu ruhani adalah esensi manusia yang berhubungan dengan kalbu jasmani yang bersifat halus (lathief), rabbani dan ruhani.
           Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang disebut dengan annur al-illahiyyah (cahaya ketuhanan) dan al-bashiroh al-bathinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan (Mujib & Mudzakir, 2002). Menurut Al-Ghazali kalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan kalbu sangat tergantung pada ma’rifat kepada Allah SWT yang tergantung pada perenungan ciptaan-Nya. Pengetahuan tentang ciptaan Allah SWT hanya dapat diperoleh melalui bantuan indera. Sehingga indera harus bersumber dari kalbu. Tanpa kalbu maka indera manusia tidak akan memperoleh daya persepsi, terutama persepsi spiritual. Daya persepsi manusia akan terjadi jika terjadi koneksi anatara kalbu dan indera.
           Kalbu secara psikologis memiliki daya-daya emosi, yang menimbulkan daya rasa. Selain daya emosi, kalbu juga memiliki daya kognisi menurut At-thabathaba’i (Mujib & Mudzakir, 2002). Akan tetapi yang lebih terlihat adalah daya emosi dibandingkan dengan daya kognisinya. Daya emosi kalbu sendiri ada yang bersifat positif dan negatif. Emosi positif misalnya cinta, senang, riang, percaya, tulus, dan lain-lain. Sedangkan emosi negative misalnya benci, sedih, ingkar, mendua dan lain-lain.
           Bagian nafs yang selanjutnya adalah akal. Akal secara psikologis memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua pengalaman kognisi, seperti melihat, mengamati, memperhatikan, mendengarkan pendapat, mengasumsikan, berimajinasi, memprediksi, berpikir, mempertimbangkan, menduga, dan menilai (Chaplin dalam Mujib & Mudzakir, 2002).
           Al-Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki banyak aktivitas. Aktivitas tersebut adalah al-nazhar atau melihat dengan memperhatikan, al-tadabbur atau memperhatikan secara seksama, al-ta’ammul atau merenungkan, al-istibshar atau melihat dengan mata batin, al-I’tibar atau menginterpretasikan, al-takfir atau memikirkan, dan al-tadakkur atau mengingat (Victor Said dalam Mujib & Mudzakir, 2002).
           Bagian yang ketiga dari nafs adalah nafsu. Nafsu memiliki dua kekuatan, yaitu al-Ghadhab dan al-syahwat. Al-ghadab adalah kekuatan yang menggerakkan manusia untuk menghindari dari hal-hal yang membahayakan. Dalam psikoanalisa ini disebut defense. Sedangkan Âal-syahwat adalah kekuatan atau daya yang mendorong pada hal-hal yang menyenangkan yang dalam psikologi disebut appetite, yaitu hasrat atau motif yang berasal dari perubahan fisiologis.
           Dalam psikologi barat sendiri, juga ada beberapa tipologi-tipologi kejiwaan pada manusia yang diajukan oleh beberapa tokoh. Misalnya Plato yang berpendapat bahwa jiwa terdiri dari tiga bagian (Suryabrata, 2012), yaitu pikiran (logos) yang berkedudukan di kepala, kemauan (thumos) yang berkedudukan di kepala, dan hasrat (epithumid) yang berkedudukan di perut. Dan dalam hubungannya dengan ketiga bagian tersebut, Plato menyatakan tiga macam kebajikan, diantaranya yaitu kebijaksanaan keberanian dan penguasaan diri. Dengan selasarasnya ketiga kebajikan tersebut, akan mewujudkan keadilan dan kebenaran. Sedangkan jika ada dominasi dari salah satu bagian jiwa manusia, maka akan terjadi tiga macam tipe orang. Tipe pertama adalah orang yang tertutama dikuasai oleh pikir, karena logosnya lah yang mendominasi diri manusia tersebut. Tipe yang kedua adalah orang dikuasai oleh kemaudan dan tipe yang terakhir adalah tipe orang yang dikuasai oleh hasrat.
           Sedangkan Queyrat membagi daya jiwa menjadi daya kognitif, afektif dan konatif. Berdasarkan atas daya mana yang mendominasi, makan dapat dikemukakan tipe-tipe sebagai berikut (Suryabrata, 2012) :
- Salah satu daya yang dominan, akan menimbulkan tipe mediatif (daya kognitif dominan), emosional (daya afektif dominan), dan aktif (daya konatif dominan).
- Dua daya yang dominan, akan menimbulkan tipe mediatif-emosional atau sentimental (daya kognitif dan afektif dominan), aktif-emosional atau garang (konatif dan aktif dominan), aktif-mediatif atau berkemauan (daya konatif dan kognitif dominan).
- Jika tiga daya dalam keadaan seimbang, akan menimbulkan tipe seimbang, amoroph, dan apatis.
- Ketiga daya itu berfungsi secara tidak teratur, dapat menimbulkan tipe tak stabil, tak teguh hati, dan kontradiktoris.
- Dan ada tiga macam tipe yang tidak sehat, yaitu tipe hypochondoris, melancholis, dan histeris.
Selanjutnya, Malapert juga memiliki klasifikasi tersendiri mengenai manusia melalui aspek-aspek kejiwaan, diantarnya tipe intelektual yang terdiri atas analitis dan reflektif, tipe afektif yang terdiri dari emosional dan bernafsu, tipe volunteer yang terdiri dari golongan tanpa kemauan dan besar kemauan, dan tipe aktif yang terdiri dari golongan aktif dan tidak aktif.
PENUTUP
Jika dibandingkan antara kejiwaan dalam pandangan Islam dan pandangan psikologi barat, maka ditemukan kesamaan khususnya adanya substansi nafs dalam psikologi Islam yang terdiri dari kalbu yang terdiri dari emosi dan kognitif, kemudian akal yang berkaitan dengan banyak aktivitas dan nafsu yang terdiri dari pertahanan dan hasrat. Jika dilihat struktur ini sama dengan struktur yang diungkapkan Plato, yakni kejiwaan terdiri dari pikiran, kemauan atau motivasi dan hasrat. Pikiran dalam Islam sama dengan akal, yakni segala hal yang mengontrol aktivitas-aktivitas yang terjadi pada manusia.
Kemudian kemauan berkaitan dengan bagian al-hayawaniyyah pada manusia menurut Al-Ghazali, kemudian hasrat dalam Islam yang menjadi bagian dari nafsu manusia. Sedangkan daya jiwa menurut Queyrat, yang terdiri dari afektif , kognitif dan konatif dalam Islam telah dijelaskan dalam kalbu yang terdiri emosi dan kognitif. Begitu juga dengan tipe-tipe yang disebutkan Malapert mengenai tipe-tipe berdasar aspek-aspek kejiwaan, telah dijelaskan dalam Islam mengenai kalbu, akal dan bahkan nafsu.
Jadi, pendapat yang dikemukakan oleh para tokoh psikologi barat mengenai jiwa manusia sesungguhnya lebih luas dan lebih jelas dibahas di dalam Islam dan tokoh-tokoh Islam. Tokoh Islam telah menerangkan mengenai jiwa manusia sebagai suatu kesatuan pada manusia.
REFERENSI
Bustaman, Hanna Djumhana. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam.: Yogyakarta
Pustaka Pelajar.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. 2002. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta : Raja
          Grafindo Persada.
Suryabrata, Sumadi. 2012. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali Pers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H