Adapun beberapa pasal yang mengatur tentang perbuatan cabul dalam hukum pidana Indonesia antara lain pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296. Pasal 290 ayat (1) KUHP misalnya menyatakan bahwa "Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Modus operandi dalam kasus ini adalah pelaku melakukan aksinya pada saat para korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Keadaan pingsan atau tidak berdaya dalam kasus ini diakibatkan oleh obat bius atau keadaan mabuk tidak sadarkan diri.
Jika dilihat dalam rumusan RUU-KUHP yang sampai saat ini belum disahkan, ketentuan perkosaan diatur pada bagian ketiga Pasal 480 ayat (3). Pasal 480 Ayat (1) bahwa Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Ayat (2) huruf c Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Ayat (3) huruf a Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain.
Jika dilihat perbandingan sanksi pidana dalam KUHP dan RUU-KUHP, sangat pidana sangat berbeda. Didalam KUHP sanksi pidananya berupa penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Sedangkan dalam RUU-KUHP sanksi pidanaya berupa pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Yang menarik dari kasus ini adalah jumlah korbannya sangat banyak.
Sementara hukum pidana Indonesia tidak memperhatikan aspek korban. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia berkaitan erat dengan asas legalitas atau nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP bahwa "Suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada".
Maksud dari asas legalitas tersebut adalah suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana.
Maka dapat simpulkan bahwa jika kasus seperti ini terjadi di Indonesia, pasal terebut diatas akan menjadi acuan dalam menjatuhkan putusan. Pidana yang dijatuhkan akan lebih ringan dibandingkan dengan pidana yang dijatuh dalam pengadilan manchester, Inggris.
Harusnya jumlah korban dan modus yang dilakukan layak dijadikan sebagai alasan pemberat dalam menjatuhkan pidana. Hal ini juga membuktikan bahwa tidak selalu perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Lelaki juga rentan menjadi korban.