Mohon tunggu...
Alfikri Lubis
Alfikri Lubis Mohon Tunggu... Konsultan - Sarjana Hukum

“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” (H.O.S. Tjokroaminoto)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Reynhard dan Perkosaan terhadap Pria dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia

4 Maret 2020   00:08 Diperbarui: 6 Oktober 2021   11:14 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hukum. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Walaupun kasus Reynhard Sinaga ini sudah lama berlalu, sudut pandang dalam perspektif hukum pidana Indonesia perlu dilakukan. 

Bahkan jika merujuk sejarah, kasus pelecehan seksual juga banyak terjadi pada zaman nabi, terutama yang paling parah pada zaman Nabi Luth. Dan pada saat itu belum ada mekanisme hukum seperti saat ini.

Saya berasumsi bahwa kasus ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus lainnya yang terungkap sampai kepermukaan dan dilakukan proses penegakan hukum. Jika ditelusuri lebih jauh pasti masih ada beberapa kasus serupa lainnya yang terjadi diberbagai belahan dunia.

Dikutip dari beberapa rilis media, kasus ini berawal pada 2 Juni 2017, ketika Reynhard melakukan serangan seksual terhadap seorang pria di apartemennya di pusat kota Manchester, Inggris. 

Dengan terbongkarnya kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga, media Indonesia ramai-ramai ikut memberitakan kasus yang dianggap pemerkosaan terburuk di dunia. Kasus yang sudah berlalu sekitar lebih kurang 2 tahun yang lalu itu baru tersebar dan diketahui pada awal tahun 2020. 

Lantas timbul pertanyaan, jika seandainya ada kasus seperti ini terjadi di Indonesia, Bagaimanakah mekanisme hukum pidana indonesia melaksanakan proses penegakan hukum terhadap kasus tersebut? Adakah ketentuan Pidana yang bisa menjerat pelaku?

Jika ditinjau dalam terminologi hukum pidana indonesia, Istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal istilah perbuatan cabul. 

Sementara jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa pelaku pelecehan seksual adalah orang yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. 

Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303).

Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), Perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293).

Adapun beberapa pasal yang mengatur tentang perbuatan cabul dalam hukum pidana Indonesia antara lain pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296. Pasal 290 ayat (1) KUHP  misalnya menyatakan bahwa "Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.  Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.   

Modus operandi dalam kasus ini adalah pelaku melakukan aksinya pada saat para korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Keadaan pingsan atau tidak berdaya dalam kasus ini diakibatkan oleh obat bius atau keadaan mabuk tidak sadarkan diri. 

Jika dilihat dalam rumusan RUU-KUHP yang sampai saat ini belum disahkan, ketentuan perkosaan diatur pada bagian ketiga Pasal 480 ayat (3).  Pasal 480 Ayat (1) bahwa Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. 

Ayat (2) huruf c Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 

Ayat (3) huruf a Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain.

Jika dilihat perbandingan sanksi pidana dalam KUHP dan RUU-KUHP, sangat pidana sangat berbeda. Didalam KUHP sanksi pidananya berupa penjara selama-lamanya tujuh tahun. 

Sedangkan dalam RUU-KUHP sanksi pidanaya berupa pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Yang menarik dari kasus ini adalah jumlah korbannya sangat banyak.

Sementara hukum pidana Indonesia tidak memperhatikan aspek korban.  Hukum pidana yang berlaku di Indonesia berkaitan erat dengan asas legalitas atau nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP bahwa  "Suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada". 

Maksud dari asas legalitas tersebut adalah suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana.

Maka dapat simpulkan bahwa jika  kasus seperti  ini terjadi di Indonesia, pasal terebut diatas akan menjadi acuan dalam menjatuhkan putusan.  Pidana yang dijatuhkan akan lebih ringan dibandingkan dengan pidana yang dijatuh dalam pengadilan manchester, Inggris. 

Harusnya jumlah  korban dan  modus yang dilakukan  layak dijadikan sebagai alasan pemberat dalam menjatuhkan pidana. Hal ini juga membuktikan bahwa tidak selalu perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Lelaki juga rentan menjadi korban.

Bagian penting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakkan berlakunya norma.

Jika dikaitkan dengan teori pemidanaan bahwa penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana setidaknya harus berorientasi pada upaya pencegahan terhadap terpidana (special prefention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang.

Serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari kemungkinaan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukakan terpidana maupun kejahatan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun