Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... Administrasi - biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Ke Kandangan Kita Mangopi", Sejarah Kopi di Afdeeling Hulu Sungai Kalimantan Selatan

24 November 2020   08:08 Diperbarui: 7 Desember 2020   11:04 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah Banjar, melayu atau dayak sebenarnya tidak dikenali oleh orang hulu sungai sendiri, hanya baru-baru ini sahaja mereka memperkenalkan diri sebagai orang Banjar jika mereka berada diluar daerah, karena dahulu mereka lebih menyandarkan diri sebagai orang hulu sungai berdasar wilayah traditional mereka disana seperti orang hulu sungai dari alai dan kalua atau amandit. Kadang-kadang Hulu Sungai  di sebut sebagai suku melayu, sebenarnya hal ini tidak lah tepat juga, dalam tulisan saya terdahulu saya memang menyebut hulu sungai sebagai wilayah melayu, tapi saya ingin meralatnya bahwa hulu sungai bukan wilayah melayu dalam arti suku melayu seperti di wilayah melayu di semenanjung atau kepulauan melayu secara genetic. Hulu Sungai mempunyai keunikannya sendiri, mungkin karena Banjarmasin yang dipesisir lebih "terpengaruh" budaya melayu yang dominan dinusantara saat itu, maka seolah-oleh hulu sungai juga dianggap melayu, yang mana Hulu sungai yagnjauh dipedalaman pun juga terpengaruh budaya melayu yang saat itu dominan dalam pergaulan nusantara, Hulu sungai lebih dekat kepada peradapan suku-suku asli pribumi yang berhasil menyatu dengan budaya luar yang datang seperti hindu budha, yang pada akhirnya setelah agama islam datang Hulu Sungai hampir massif berpindah ke Islam, karena berpindah ke Islam lah pula Hulu Sungai dianggap seperti Melayu, disinilah keunikannya Hulu Sungai yang memang wilayahnya terpisah jauh dengan Banjarmasin. Hulu Sungai bisa dikatakan sebagai Dayak, bisa dikatakan sebagai Banjar, Bisa dikatakan sebagai Melayu, meski saya lebih suka menyebutnya sebagai hulu sungai itu sendiri daripada lainnya. Menariknya Bahasa Hulu Sungai lah yang kemudian disebut sebagai Bahasa Banjar yang menjadi lingua Franca paling dominan di pulau Kalimantan saat ini.

Alasan-alasan otonomnya Hulu Sungai dan tidak bisa campur tangannya kesultanan banjar di Martapura terhadap ke-Temanggungan di Hulu sungai mungkin akan kita bahas lebih panjang di lain tulisan dengan sumber-sumber data yang bisa kita dapati. Salah satu alasan sederhana adalah alasan politik dimana pahuluan atau alai atau lembah alai merupakan tanah perjanjian perdamaian dan kemampuan orang-orang pahuluan untuk mempertahankan legitimasi dan kemandirian mereka selama ratusan tahun, tidak pernah ada yang pernah mengalahkan ketemanggungan Alai semenjak berdiri setelah Daha dikalahkan demak, hingga belanda datang ketika perang banjar terjadi saja ketemanggungan Alai dikalahkan, dan seperti mafhum diketahui bahwa perang banjar dominan terjadi di Hulu sungai bukan di Banjarmasin atau Martapura, dan perang banjar dianggap selesai oleh kolonial Belanda ketika Hulu Sungai dan khususnya Alai dan Amandit selesai dikuasai oleh Belanda. Meski kemudian perang banjar tetap berlanjut di pedalaman Hulu Barito.

 Dengan jumlah penduduk Hulu Sungai dan kemapanan peradapan hulu sungai yang tidak bisa di tandingi oleh Banjarmasin dan Martapura sangat terasa Hulu Sungai menjadi dominan dan superior, Kesultanan Banjar adalah sebuah dinasti kerajaan baru yang dibangun oleh pangeran samudera dengan bantuan kesultanan demak, sehingga Banjar bisa dikatakan sebuah kota yang baru di bangun yang masih sangat kekurangan sumber daya Manusi yang belum mampu menyaingi sumber daya yang dimiliki oleh Hulu sungai saat itu. Pergesekan antara bangsawan Hulu Sungai dan Banjarmasin yang berbeda dinasti sebenarnya sangat dinamis dari jaman ke jaman.

 Beberapa saat sebelum kesultanan Banjar dihapuskan wilayah hulu sungai terbagi dalam dua wilayah besar , yaitu banua lima dan Pahuluan atau Alai atau wilayah lembah alai. Banua lima terdiri dari daerah-daerah batang banyu, seperti margasari, Negara, alabio, sungai banar, amuntai, kalua, hingga tabalong sedangkan wilayah alai terdiri dari alai dan amandit, setelah perang Banjar wilayah ini dibagi lagi dengan menjadi wilayah batang alai, Labuan amas, kandangan dan amawang, daerah-daerah ini sering berubah-ubah selama lebih dari 50 tahun setelah perang banjar sehingga kadang-kadang sulit dipahami. para penguasanya adalah para keturunan pangeran tumenggung, keturunan para tumenggung ini bercampur dengan para keturunan pengislam yang dikirim Oleh Demak dalam rangka islamisasi, kisah percampuran utusan dari demak ini bisa didapati dalam cerita-cerita keluarga bangsawan hulu sungai yang diceritakan turun temurun. gelar keturunan mereka adalah Raden atau Andin, Rama, dan Anang, gelar diyang dan Galuh juga kadang dipakai oleh perempuan. Para bangsawan ini lah yang mempunyai hak privilege sesuai system feodalis jaman itu, mempunyai hak dalam memegang jabatan-jabatan dalam system pemerintahan di hulu sungai, gelar-gelar adipati, tumenggung, kiai demang, penghulu dan mufti, bahkan para pambakal masih dari jaring keluarga turunan ini. Para ulama-ulama besar juga banyak keturunan dari keluarga bangsawan Hulu Sungai mengingat adanya darah para pengislam didalam darah mereka yagn selalu hidup untuk menghidupkan dakwah keislaman di hulu sungai. Pusat-pusat ibukota ketemenggungan ini bisa kita dapati di Palajau Barabai, atau Karang Jawa di kandangan, tumbukan banyu di Negara dan Sungai banar Amuntai.

Meski keluarga bangsawan hulu sungai jarang dikenal di luar hulu sungai, tapi pada dasarnya mereka masih dikenali di hulu sungai sendiri, karena keturunan mereka juga sudah tercampur baur hampir ke seluruh penduduk hulu sungai, baik dari garis laki-laki maupun dari garis perempuan.

Perlu juga disadari bahwa Hulu Sungai Sebagai sebuah peradapan kuno telah muncul ratusan tahun sebelumnya, dimana Hulu sungai sebagai pusat dari kerajaan besar yang bernama Kerajaan Dipa dan Kerajaan Daha yang menguasai hampir tiga perempat pulau Kalimantan. Maka bertahannya peradapan di hulu sungai selama ratusan tahun hingga sekarang ini sekali lagi tidak terlepas dari penopangnya yaitu alamnya yang menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh peradapan tersebut untuk bertahan. Hulu sungai bukan lah daerah keterbelakang secara budaya, tapi malah sebagai sumber budaya. Ini perlu ditegaskan kembali agar kita bisa melihat hal ini lebih jernih, agar orang-orang hulu sungai jangan merasa mereka adalah terbelakang, tapi pada dasarnya hulu sungai adalah pusat kebudayaan, harus ada keberanian untuk berbicara dan menggali sejarah dan kritis oleh dan dari terhadap orang-orang hulu sungai sendiri.

Kembali ke sejarah Kopi, maka hubungan masalah politik diatas tidak akan bisa dilepaskan dari pencatatan sejarah kopi, karena data-data sejarah kopi ini bisa kita dapati dari tulisan-tulisan orang-orang belanda yang datang ke Hulu Sungai. Tapi apakah kita bisa mempercayai catatan belanda?, beberapa orang menganggap bahwa tulisan belanda itu tidak bisa dipercaya, hal ini bisa dimengerti karena ada pandangan bahwa belanda adalah penjajah. Tapi saya mempunyai alasan tersendiri dalam melihat data belanda, pertama adalah catatan-catatan itu sebagian besar adalah catatan militer, artinya laporan militer harus presisi dan se-objektive mungkin, karena salah membuat laporan akan mengakibatkan salah dalam mengambil kebijakan dan taktik perang, alasan kedua adalah bahwa catatan itu bukan ditujukan untuk kita orang pribumi, artinya catatan itu berbahasa belanda dan untuk orang belandan sendiri, Catatan itu pada dasarnya bukan untuk umum atau untuk pribumi tapi dikhususkan untuk orang-orang penting di pemerintahan Kolonial belanda, kita hanya beruntung bahwa catatan itu disimpan dengan baik, di dokumentasikan dengan baik selama ratusan tahun dan  telah dibuka untuk umum saat ini,lalu kemudian kita bisa pelajari bersama. Alasan ketiga adalah apakah ada sumber lainnya selain sumber belanda? Jika ada saya tentu juga akan senang hati mempelajarinya, sejarah perlu sumber yang otentik dan sesuai kaidah-kaidah ilmiah, kita tidak bisa mengambil sumber dari sembarangan atau suka-suka seperti informasi-informasi gaib yang entah sumbernya darimana dan tidak bisa kita pertanggung jawabkan, selain itu semua sumber perlu kita kritisi baik sumber belanda maupun sumber lainnya artinya semua sumber tidak bisa telan mentah-mentah pula.

Inspirasi saya yang lain dalam menulis tentang kopi  ini adalah karena teman saya yang juga keluarga saya sendiri merupakan salah satu pioner pembuka kafe kopi dibarabai, saya merupakan salah satu pelanggan pertamanya, dan teman diskusinya, selain itu baru-baru ini saya di undang untuk ngopi ke kota kandangan, sangat menyenangkan mengetahui banyaknya warung kopi kecil atau kafe kofi kecil menjamur di Kandangan yang notebeni merupakan bekas ibukota Afdeling Hulu sungai di jaman colonial, berjalan-jalan di kota kandangan yang masih banyak rumah-rumah tua terasa sangat indihs atau berbau-bau Hindia Belanda, tata kota Kandangan dan Barabai adalah salah satu hasil karya Hindia Belanda yang masih bisa kita temui hingga hari ini dihulu sungai. Dan diundang ngopi ke kandangan adalah sesuatu yang menurut saya sangat luar biasa apalagi ketika saya mengetahui sejarah Kopi yang sudah hadir ratusan tahun di hulu sungai.

"Ke kandangan kita Mengopi" adalah jargon-jargon yang membayangi pikiran saya ketika dijalan, rasa-nya itu menjadi lebih masuk akal, menikmati kopi yang bersejarah di kota kandangan yang juga bersejarah, diskusi diwarung kopi lebih menyenangkan dan bisa membuka pikiran kita, anak-anak muda begitu semangat di warung kopi, ke warung kopi kita merasa tercerahkan, diskusi menjadi lebih berwarna, keberanian untuk kritis lebih hidup. Ke warung kopi kita malu untuk mabuk-mabukkan, ke warung kopi kita tidak membawa senjata, mengopi adalah rintik-rintik dalam membangun peradapan, dan saya setuju "Ke kandangan kita harus mengopi".

Dan begitulah, ada pertanyaan kapan kopi pertama kali hadir di bumi hulu sungai dari anak-anak muda kandangan, pertanyaan ini sangat berat dan butuh waktu menjawabnya, Catatan tentang kopi di daerah hulu sungai bisa kita temukan dalam beberapa buku, dalam buku HET STROOMGEBIED VAN DE BARITO karangan H. J. SCHOPHUYS yang terbit tahun 1936  halaman 47 disebutkan ada perkebunan kopi Robusta yang telah mapan di Barabai, dan kopi juga di tanam di daerah martapura dan bibit kopi yang mulai menyebar ke hulu Barito. Beberapa tahun yang lalu saya masih bekerja di Kabupaten Balangan, saya suka berkeliling ke kampung-kampung, di desa-desa di kecamatan Paringin dan Lampihong sepanjang sungai Balangan, suatu hari di tahun 2014-2015 saya sengaja ingin mencari kopi dan seolah keberuntungan saya bertemu dengan seorang ibu tua yang sedang menjemur kopi, saya langsung singgah dan meminta izin untuk membeli kopi yang sedang dijemur tersebut, ibu tua tersebut tertawa dan tidak mau kopinya dibeli, jika saya mau kopi tersebut beliau mempersilahkan saya mengambilnya sesuka hati saya, karena kopi itu tidak banyak dan tidak untuk dijual, hanya untuk dikonsumsi sendiri, saya tetap memaksa membeli dan beliau akhirnya mau, saya memilih kopi berwarna merah saja dan mendapati sekitar 1 kilo lebih. Menurut beliau kopi tersebut berasal dari kebun sendiri di desa Bungin. Kebun kopi tersebut sudah tidak terurus lagi dan digantikan dengan pohon karet, saya baru menyadari sepanjang jalan dipinggir sungai balangan ini terdapat banyak pohon kopi liar dari paringin hingga lampihong. Saya bertekad mendapati dimana bisa memesan kopi yang banyak, akhirnya saya sampai ke sebuah desa dekat tanah habang diperbatasan lampihong dan amuntai, disana saya mendapati mantan pengumpul dan penjual kopi, beliau bercerita bahwa dahulu didaerah lampihong paringin memang banyak kebun kopi tapi karena merosotnya permintaan, pohon kopi pun ditebang dan digantikan dengan pohon karet yang lebih menjanjikan secara ekonomi, beliau juga bercerita tentang kopi tiga kunci yang terkenal dari barabai sempat menjadi langganan beliau dengan membeli kopi ke tempat beliau, saya bertanya lebih berani apa yang menjadi penyebab hancurnya pasar kopi, jawaban beliau begitu jujur dengan sambil tertawa, beliau yakin hal itu diakibatkan oleh tabiat tidak jujur dari pedagang kopi seperti beliau dan pekebun kopi sendiri yang sering curang dalam masalah kwalitas kopi, kopi terlihat bagus dibagian atas karung, tapi berkwalitas sangat buruk dibagian bawah karung, beliau cukup tersenyum dan menyayangkan hal itu terjadi, tapi ada daya semua sudah jadi arang jadi bubur. saya kemudian memesan kopi kepada beliau, sampai beberapa bulan kemudian tidak ada kopi yang bisa beliau dapatkan untuk saya beli. Beliau juga berpesan jika beruntung masih ada penjual kopi yang sudah disangsai dan ditumbuk dipasar-pasar traditional di pasar-pasar besar atau kecil di seluruh hulu sungai. Saya juga mendengar ada perkebunan kopi di darah jaro dan muara uya atau Haruai di hulu sungai tabalong dikabupaten Tabalong, saya juga memesan kopi tersebut kepada teman saya disana, tapi teman saya kesulitan mendapatkan kopi tersebut. Suatu hari pula saya dihubungi oleh seorang teman lain bahwa dia melihat kopi-kopi yang memerah dipinggir jalan di daerah wawai dekat batu tangga di kecamatan batang alai timur di barabai, namun tidak berhasil juga kami mendapatkannya. Akhirnya saya cukup gembira dengan kopi yang saya beli dari ibu tua di paringin, kopi tersebut di-olah oleh teman saya dengan cukup tergesa-gesa karena kami tidak sabar, hasilnya cukup memuaskan, kopi Rubusta dengan rasa yang kuat, saya tidak bisa tidur sampai subuh karena meminum secangkir kecil eskpreso dari kopi tersebut. Dan sepertinya informasi adanya perkebunan kopi rubusta dibarabai pada buku diatas masih bisa kita temukan jejaknya hingga hari ini, mengingat jarak yang dekat antara barabai dan lampihong yang masih sama-sama dalam radius daerah Hulu sungai.

Informasi G. L. TICHELMAN  dalam sebuah essai berjudul DE ONDERAFDEELING BARABAI dalam buku TIJDSCHRIFT VAN HET KONINKLIJK NEDERLANDSCH AARDRIJKSKUNDIG GENOOTSCHAP yang terbit tahun 1931 di bawah edtor Dr. A. A. BEEKMAN dan kawan-kawan, pada halaman 471 ,  mengenai perintah pemberian 100 bibit kopi kelapa dan seratus bibit kopi pada tahun 1861 oleh kapitein Karei van der Heijden bagi orang-orang yang ikut relokasi perkampungan di daerah distrik Alai (Kabupaten hulu sungai tengah saat ini), maksudnya rumah-rumah yang dibangun tidak beraturan dipinggir-pingggir sungai dan pedalaman diperintahkan untuk pindah dan membangun rumah baru di pinggir jalan raya yang sedang dibangun oleh pemerintah kolonial saat itu, hal ini mungkin dilakukan agar pengawasan terhadap penduduk dan perumahan lebih mudah dilakukan, setiap laki-laki kepala keluarga yang rumahnya dipindahkan ke pinggir jalan akan diberikan seratus batang pohon kelapa dan seratus batang pohon kopi. Para kiai kepada distrik dan penghulu ikut mendorong agar perintah ini ditaati oleh penduduk setempat. Informasi kecil seperti ini sangat berharaga melihat perintah penamaan kopi ada disaat-saat perang Banjar yang berkecamuk. Pertanyaannya adalah dari manakah bibit kopi bisa ditemukan disaat itu? Mengingat jika satu kepala keluarga mendapat seratus batang kopi maka akan diperlukan beribu-ribu bibit kopi, dimanakah bibit-bibit tersebut didapatkan? Pertanyaan samping lainnya adalah siapa kepala distrik itu dan siap penghulu itu? Jabatan apakah itu? Dan hubungannya dengan belanda bagaimana? Kenapa mereka ikut membantu belanda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun