Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... Administrasi - biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Ke Kandangan Kita Mangopi", Sejarah Kopi di Afdeeling Hulu Sungai Kalimantan Selatan

24 November 2020   08:08 Diperbarui: 7 Desember 2020   11:04 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokoment Pribadi, Kopi desa Mandingin Barabai

"KE KANDANGAN KITA MANGOPI"
Sejarah Kopi di di Afdeling Hulu Sungai Kalimatan Selatan

Oleh: Andin Alfigenk Ansyarullah Naim

Saya masih ingat ketika waktu kecil kira-kira umur saya dibawah sepuluh tahun bermain-main dibawah kebun kopi dibelakang rumah saya, tepatnya di desa Mandingin Barabai kabupaten Hulu Sungai Tengah salah satu Kabupaten di daerah Hulu Sungai Kalimantan Selatan, kadang saya dan sepupu-sepupu saya naik ke pohon kopi tersebut sambil tertawa-tawa disertai teman dan saudara saya, kebun kopi dibelakang rumah saya tersebut sangat bersih, mungkin ada sekitar 15 batang pohon kopi yang bercampur dengan pohon kelapa, pohon keminting, pohon jambu agung, pohon kalangkala, pohon tarap dan pohon lainnya.

Sebenarnya tidak terlalu tepat juga disebut kebun kopi, karena hanya tumbuh beberapa pohon kopi dilahan yang tidak terlalu luas, tapi juga dengan pohon-pohon kopi yang lumayan besar dan rimbun itu kiranya bisa saja disebut kebun kopi untuk melebih-lebihkan dengan sengaja, karena saya kesulitan mencari padanan kata yang tepat selain itu selain kebun kopi.

Ada beberapa peristiwa yang tidak saya lupakan dikebun kopi tersebut, beberapa kejadian yang selalu saya ingat-ingat , pertama adalah saya kena sengat ulat bulu, sangat sakit, untungnya saya tidak pingsan, ulat bulu itu wujudnya sangat cantik, bentuknya mirip dengan tanda amor lambang cinta, bulunya tercampur berbagai warna yang cerah, hingga-hingga ulat bulu tersebut dinamai ulat bulu alapio, mungkin asal katanya dari I love You pengertian dari lambang amor itu sendiri, saya ingat kejadian itu karena keluarga saya kaget saya tidak pingsan karena disengat ulat bulu tersebut.

Nenek bernama Diyang Masjam, yang saat itu mungkin sudah berumur mendekati 80 tahun tapi tetap terlihat lincah,beliau tidak menceritakan siapa yang menamam kopi-kopi tersebut, tapi setahu saya tanah tersebut adalah tanah warisan, warisan dari orang tua nenek saya atau Datu (Buyut) perempuan saya bernama Diyang Sinah, tanah itu sekurang-kurangnya saya ketahui sampai pada nenek dari Diyang Sinah, Haji Diyang Sinah anak oleh Haji diyang Basnah, Haji Diyang Basnah anak oleh Haji Diyang Inas.

Orang tua dari Diyang Sinah atau suami dari Diyang Basnah adalah Pa Tuan Haji Muhammad Taib, mereka bercerai dan masing-masing menikah kembali.

Orang tua laki-laki dari Diyang Basnah tidak kami ketahui namanya, kubur beliau berada di sebelah kanan Masjid Al-Islah Mandingin, saat ini kubur tersebut sudah hilang pusaranya karena pelebaran masjid dan berada dalam masjid itu sendiri. cerita ini dari nenek saya sendiri, ketika Diyang Sinah datang dari berhaji beliau langsung ziarah ke sebuah kubur di samping kanan masjid.

Orang tua dari diyang sinah, Pa Tuan Haji Mataib meninggal di daerah Sanaking kabupaten Pulau Laut,beliau merantau kesana ketika sudah tua. kuburan Haji Diyang Basnah dan Haji Diyang Inas berada tepat ditengah pohon-pohon kopi dibelakang rumah kami, salah satu anak dari Diyang inas yang laki-laki adalah Pa Tuan Haji Matnor, kakek buyut dari Pambakal Dillah , salah satu pambakal Mandingin, rumah Pa Tuan Haji Matnoor di dekat SMP Lima Mandingin, menariknya adalah rumah Haji Diyang Inas, rumah Pa Tuan Haji Mataib dan rumah Pa Tuan Haji Matnor semuanya adalah rumah banjar bubungan tinggi besar, yang panjangnya kebelakang hampir 50 meter. Pa tuan haji matnoor terkenal sebagai tuan tanah dijamannya.

ketika umur saya mungkin 2-3 tahun, saya pernah bertemu dengan Haji Diyang Sinah, memori satu-satunya yang masih saya ingat,  momen itu saya masih ingat ketika beliau memarahi saya yang ingin turun dari tangga rumah, tangga rumah tinggi dan beliau sedang menyapu halaman, beliau sudah sangat tua, kurus, berkulit putih, berhidung mancung dan masih kelihangan cantik, diyang sinah terkenal sebagai wanita paling cantik dikampung Mandingin dijamannya, tidak ada keturunannya yang secantik beliau, itu yang keluarga saya katakan hingga hari ini, saya pernah melihat fhoto saudara seayah beliau di pelaihari, saya percaya beliau dan saudara-saudara memang sangat cantik. Diyang Sinah meninggal tidak lama setelah saya bertemua beliau, beliau meninggal di Tambak Sarinah kecatanan Kurau Kabupaten Tanah Laut, dirumah salah satu anak beliau, umur beliau ketika meninggal diperkirakan hampir atau lebih seratus tahun. Hal ini berdasarkan cerita beliau sendiri yang ikut membangun Masjid Al --Islah ketika masjid tersebut dipindah untuk ketiga kalinya ke lokasi sekarang, beliau ikut mengambil pasir bersama anak-anak yang lain ke daerah munti pinggir sungai Labuan amas atau sungai barabai sekitar satu kilometer dari masjid.

Nah itu sedikit sejarah tanah kebun kopi ini dimana pemiliknya masih bisa kita telusuri dengan baik, dari sana lah saya memperkirakan bahwa kopi-kopi itu bukan kopi yang baru ditanam kemarin sore, tapi sudah lama ditanam, adanya penamaman pohon kopi di kampung saya di mandingin menandakan juga adanya tradisi penamanan kopi di hulu sungai  mengingat kebun kopi tidak hanya terdapat di belakang rumah saya tapi juga hampir menyeluruh banyak di berbagai tempat di hulu sungai. Di kota barabai sendiri dekat kampung bukat ada nama kampung kopi, seorang tokoh ulama disana terkenal dengan nama Abdurahman Kopi, karena dahulu disana banyak tanaman kopi lebih dari 70 tahun yang lalu.

Moment selanjutnya tentang kebun kopi dibelakang rumah saya yang masih saya ingat adalah  saya pernah bersama nenek memanen kopi tersebut, saya sering makan biji kopi yang merah karena rasa kulitnya manis. lucunya sekarang saya membandingkan dengan luwak-luwak yang pilih-pilih memakan biji kopi merah saja, kadang saya menemukan biji kopi dalam tahi musang (yang mungkin jenis yang sama dengan Luwak) berhamburan dekat pohon-pohon kopi tersebut, saya merasa kami cucu-cucu nenek mirip dengan luwak yang hanya memakan biji merahnya saja. dahulu diwaktu kecil tahun awal 90-an itu mana tahu istilah kopi luwak belum terkenal seperti sekarang.

saya juga mengambil bungkahan biji-biji kopi di ranting-ranting pohon kopi, untuk memanennya dam memasukkan kedalam wadah milik nenek, atau sekedar sambil bermain-main dan menghamburkannya tapi pastinya sanbil dimarahi oleh nenek saya. Saya juga masih ingat ketika nenek menjemur dan mengsangrai kopi diatas wajan, dan sebagian menumbukknya lalu kemudian menjualnya kepasar, memang keluarga kami tidak ada yang meminum kopi lagi, setelah kakek (suami nenek) meninggal, yang saya sendiri tidak pernah bertemua beliau karena meninggal sebelum saya lahir.

Awal tahun dua ribuan pohon-pohon kopi tersebut mulai ditebang karena dianggap sudah tidak produktive lagi, atau juga sudah tidak ada lagi yang mau memanennya dan mengolahnya serta menjualnya kepasar, kalah saing dengan membanjirnya kopi-kopi instan.

sekarang pohon-pohon kopi yang telah ditebang bertahun tahun yang lalu itu mulai tumbuh kembali, meski telah ditebang pohon kopi itu tidak mati, sebulan sebelum tulisan ini saya buat saya pulang kampung dan saya melihat sudah ada pohon kopi yang berbuah, meski sedikit biji kopi itu telah berwarna merah, saya mengambil beberapa biji kopi, hanya beberapa biji, tapi cukup menandakan bahwa kopi itu masih ada. Saya yakin umur pohon kopi tersebut lebih dari seratus tahun.

Pohon kopi tentu tidak hanya ada di belakang kampung saya, banyak kebun kopi dikampung saya ketika saya kecil dan sebagian telah ditebang karena berbagai alasan. Tapi jika kita mau mencarinya kita akan dengan mudah mendapati banyak pohon kopi didaerah barabai atau kabupaten Hulu sungai tengah dan sekitarnya, termasuk di kabupaten Hulu Sungai Selatan dan kabupaten balangan serta kabupaten tabalong.

Saya sengaja membuat tulisan ini agar ada semangat baru menumbuhkan gelegat ekonomi mengenai kopi di hulu sungai. Saya mendengar-dengar bahwa kopi adalah sesuatu yang baru di hulu sungai,bahkan ada yang percaya bahwa tidak ada kopi dihulu sungai, jikapun ada kopi itu adalah kopi yang baru ditanam, kiranya hal itu lah yang ingin saya bantah. Apa yang jadi penyebab sejarah kopi di hulu sungai tidak tercatat dengan baik mungkin akan menjadi penelitian kita bersama, tapi kenyataan bahwa kopi atau perkebunan kopi sudah ada ratusan yang lalu di hulu sungai adalah sebuah kenyataan historis.

Dalam beberapa tulisan terdahulu saya selalu menulis mengenai Hulu Sungai sebagai sebuah daerah berperadapan tua nan besar dan mapan. Mapan dalam artian bahwa peradapan tersebut bisa tumbuh dan hidup dari dahulu kala hingga saat ini,tanpa kehilangan inti peradapan dan penduduknya, dan itu semua di topang oleh salah satunya adalah dengan sumber daya alamnya yang sangat mencukupi untuk menghidupi peradapan tersebut. Sumber daya alam tidak selalu harus dimaknai dengan hasil tambang seperti yang banyak orang pahami saat ini, pertambangan batu bara dan perkebunan sawit yang luas dijaman modern justru kontra produktive bagi hulu sungai, kontra produktive karena merusak alam dan lingkungan yang akibatnya pula merusak penopang peradapan hulu sungai. Tidak banyak keuntungan yang bisa diambil dan didapatkan oleh orang hulu sungai dari kedua jenis usaha tersebut baik dari tambang baru-bara maupun perkebunan sawit, alih-alih untung malah-malah dampak rusaknya lingkungan mendregadasi sumber-sumber alam lainnya sebagai sumber kehidupan orang hulu sungai kebanyakan. Uang dari hasil kedua usaha itu melayang keluar bumi hulu sungai, dan para pekerjanya-pun bukan orang hulu sungai.

Sebagai pembuka juga, ada baiknya bagi pembaca untuk mempelajari sistem peradapan Hulu Sungai, yaitu sistem Pemerintahan, Karena sejarah kopi Hulu Sungai tidak terlepas dari itu, Hulu Sungai adalah sebuah wilayah Otonom. Otonom disini maksudnya adalah tidak ada campur tangan dari pihak kesultanan di Martapura untuk wiayah Hulu Sungai khususnya daerah pahuluan atau Alai. Hikayat Banjar sendiri memberikan sedikit informasi penting mengenai keturunan Pangeran Tumenggung yang dikalahkan kesultanan Demak dan pangeran Samudera, Pangeran Tumenggung menerima perdamaian dan menyingkir kedaerah Alai dan membuat pemerintahan disana yang seterusnya akan dipimpin oleh keturunan Pangeran Tumenggung sendiri.

Hulu Sungai adalah istilah lama bagi wilayah di salah satu hulu sungai Negara yang merupakan anak sungai barito, jaraknya ratusan kilometer di utara Banjarmasin dan Martapura, Hulu Sungai adalah pusat peradapat Kuno semenjak dahulu, pendudukannya adalah berintikan percampuran dari suku Maanyan dan suku Bukit, ada dua muara mencapai sungai Barito yaitu Muara Bahan jauh diselatan dan Muara Paminggir di sebelah barat yang sangat dekat, dari muara paminggir lah interaksi dengan suku-suku atas barito terjalin erat dan dekat. Hulu sungai merupakan bekas Ibukota pulau Kalimantan ketika kerajaan Dipa dan Daha Berjaya, Hulu Sungai menerima pengaruh Hindu dan Budha yang mungkin dibawah oleh orang-orang Sriwijaya, yang kemudian dikuasai Majapahit. Saat ini Hulu Sungai dianggap sebagai inti dari orang-orang Banjar dengan sebutan Banjar batang banyu dan Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu berintikan orang-orang Maanyan seperti daerah Margasari, Negara, alabio, amuntai, kalua. Banjar Pahuluan beritikan orang-orang Bukit seperti orang-orang tapin, orang Amandit (kandangan), dan orang Alai (Barabai). Kabupaten yang menjadi bagian hulu sungai adalah kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu sungai Selatan, Kabupaten Hulu sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong daerah yang dahulu menjadi wilayah Afdeling Hoeloe Soengai.

Selain dua ada sub Banjar diatas ada sub Banjar lainnya yaitu Banjar Kuala adalah wilayah pesisir yang berintikan Banjarmasin dan Martapura serta daerah-daerah-daerah muara barito lainnya, yang berintikan suku Bakumpai dan suka Ngaju.

Istilah Banjar, melayu atau dayak sebenarnya tidak dikenali oleh orang hulu sungai sendiri, hanya baru-baru ini sahaja mereka memperkenalkan diri sebagai orang Banjar jika mereka berada diluar daerah, karena dahulu mereka lebih menyandarkan diri sebagai orang hulu sungai berdasar wilayah traditional mereka disana seperti orang hulu sungai dari alai dan kalua atau amandit. Kadang-kadang Hulu Sungai  di sebut sebagai suku melayu, sebenarnya hal ini tidak lah tepat juga, dalam tulisan saya terdahulu saya memang menyebut hulu sungai sebagai wilayah melayu, tapi saya ingin meralatnya bahwa hulu sungai bukan wilayah melayu dalam arti suku melayu seperti di wilayah melayu di semenanjung atau kepulauan melayu secara genetic. Hulu Sungai mempunyai keunikannya sendiri, mungkin karena Banjarmasin yang dipesisir lebih "terpengaruh" budaya melayu yang dominan dinusantara saat itu, maka seolah-oleh hulu sungai juga dianggap melayu, yang mana Hulu sungai yagnjauh dipedalaman pun juga terpengaruh budaya melayu yang saat itu dominan dalam pergaulan nusantara, Hulu sungai lebih dekat kepada peradapan suku-suku asli pribumi yang berhasil menyatu dengan budaya luar yang datang seperti hindu budha, yang pada akhirnya setelah agama islam datang Hulu Sungai hampir massif berpindah ke Islam, karena berpindah ke Islam lah pula Hulu Sungai dianggap seperti Melayu, disinilah keunikannya Hulu Sungai yang memang wilayahnya terpisah jauh dengan Banjarmasin. Hulu Sungai bisa dikatakan sebagai Dayak, bisa dikatakan sebagai Banjar, Bisa dikatakan sebagai Melayu, meski saya lebih suka menyebutnya sebagai hulu sungai itu sendiri daripada lainnya. Menariknya Bahasa Hulu Sungai lah yang kemudian disebut sebagai Bahasa Banjar yang menjadi lingua Franca paling dominan di pulau Kalimantan saat ini.

Alasan-alasan otonomnya Hulu Sungai dan tidak bisa campur tangannya kesultanan banjar di Martapura terhadap ke-Temanggungan di Hulu sungai mungkin akan kita bahas lebih panjang di lain tulisan dengan sumber-sumber data yang bisa kita dapati. Salah satu alasan sederhana adalah alasan politik dimana pahuluan atau alai atau lembah alai merupakan tanah perjanjian perdamaian dan kemampuan orang-orang pahuluan untuk mempertahankan legitimasi dan kemandirian mereka selama ratusan tahun, tidak pernah ada yang pernah mengalahkan ketemanggungan Alai semenjak berdiri setelah Daha dikalahkan demak, hingga belanda datang ketika perang banjar terjadi saja ketemanggungan Alai dikalahkan, dan seperti mafhum diketahui bahwa perang banjar dominan terjadi di Hulu sungai bukan di Banjarmasin atau Martapura, dan perang banjar dianggap selesai oleh kolonial Belanda ketika Hulu Sungai dan khususnya Alai dan Amandit selesai dikuasai oleh Belanda. Meski kemudian perang banjar tetap berlanjut di pedalaman Hulu Barito.

 Dengan jumlah penduduk Hulu Sungai dan kemapanan peradapan hulu sungai yang tidak bisa di tandingi oleh Banjarmasin dan Martapura sangat terasa Hulu Sungai menjadi dominan dan superior, Kesultanan Banjar adalah sebuah dinasti kerajaan baru yang dibangun oleh pangeran samudera dengan bantuan kesultanan demak, sehingga Banjar bisa dikatakan sebuah kota yang baru di bangun yang masih sangat kekurangan sumber daya Manusi yang belum mampu menyaingi sumber daya yang dimiliki oleh Hulu sungai saat itu. Pergesekan antara bangsawan Hulu Sungai dan Banjarmasin yang berbeda dinasti sebenarnya sangat dinamis dari jaman ke jaman.

 Beberapa saat sebelum kesultanan Banjar dihapuskan wilayah hulu sungai terbagi dalam dua wilayah besar , yaitu banua lima dan Pahuluan atau Alai atau wilayah lembah alai. Banua lima terdiri dari daerah-daerah batang banyu, seperti margasari, Negara, alabio, sungai banar, amuntai, kalua, hingga tabalong sedangkan wilayah alai terdiri dari alai dan amandit, setelah perang Banjar wilayah ini dibagi lagi dengan menjadi wilayah batang alai, Labuan amas, kandangan dan amawang, daerah-daerah ini sering berubah-ubah selama lebih dari 50 tahun setelah perang banjar sehingga kadang-kadang sulit dipahami. para penguasanya adalah para keturunan pangeran tumenggung, keturunan para tumenggung ini bercampur dengan para keturunan pengislam yang dikirim Oleh Demak dalam rangka islamisasi, kisah percampuran utusan dari demak ini bisa didapati dalam cerita-cerita keluarga bangsawan hulu sungai yang diceritakan turun temurun. gelar keturunan mereka adalah Raden atau Andin, Rama, dan Anang, gelar diyang dan Galuh juga kadang dipakai oleh perempuan. Para bangsawan ini lah yang mempunyai hak privilege sesuai system feodalis jaman itu, mempunyai hak dalam memegang jabatan-jabatan dalam system pemerintahan di hulu sungai, gelar-gelar adipati, tumenggung, kiai demang, penghulu dan mufti, bahkan para pambakal masih dari jaring keluarga turunan ini. Para ulama-ulama besar juga banyak keturunan dari keluarga bangsawan Hulu Sungai mengingat adanya darah para pengislam didalam darah mereka yagn selalu hidup untuk menghidupkan dakwah keislaman di hulu sungai. Pusat-pusat ibukota ketemenggungan ini bisa kita dapati di Palajau Barabai, atau Karang Jawa di kandangan, tumbukan banyu di Negara dan Sungai banar Amuntai.

Meski keluarga bangsawan hulu sungai jarang dikenal di luar hulu sungai, tapi pada dasarnya mereka masih dikenali di hulu sungai sendiri, karena keturunan mereka juga sudah tercampur baur hampir ke seluruh penduduk hulu sungai, baik dari garis laki-laki maupun dari garis perempuan.

Perlu juga disadari bahwa Hulu Sungai Sebagai sebuah peradapan kuno telah muncul ratusan tahun sebelumnya, dimana Hulu sungai sebagai pusat dari kerajaan besar yang bernama Kerajaan Dipa dan Kerajaan Daha yang menguasai hampir tiga perempat pulau Kalimantan. Maka bertahannya peradapan di hulu sungai selama ratusan tahun hingga sekarang ini sekali lagi tidak terlepas dari penopangnya yaitu alamnya yang menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh peradapan tersebut untuk bertahan. Hulu sungai bukan lah daerah keterbelakang secara budaya, tapi malah sebagai sumber budaya. Ini perlu ditegaskan kembali agar kita bisa melihat hal ini lebih jernih, agar orang-orang hulu sungai jangan merasa mereka adalah terbelakang, tapi pada dasarnya hulu sungai adalah pusat kebudayaan, harus ada keberanian untuk berbicara dan menggali sejarah dan kritis oleh dan dari terhadap orang-orang hulu sungai sendiri.

Kembali ke sejarah Kopi, maka hubungan masalah politik diatas tidak akan bisa dilepaskan dari pencatatan sejarah kopi, karena data-data sejarah kopi ini bisa kita dapati dari tulisan-tulisan orang-orang belanda yang datang ke Hulu Sungai. Tapi apakah kita bisa mempercayai catatan belanda?, beberapa orang menganggap bahwa tulisan belanda itu tidak bisa dipercaya, hal ini bisa dimengerti karena ada pandangan bahwa belanda adalah penjajah. Tapi saya mempunyai alasan tersendiri dalam melihat data belanda, pertama adalah catatan-catatan itu sebagian besar adalah catatan militer, artinya laporan militer harus presisi dan se-objektive mungkin, karena salah membuat laporan akan mengakibatkan salah dalam mengambil kebijakan dan taktik perang, alasan kedua adalah bahwa catatan itu bukan ditujukan untuk kita orang pribumi, artinya catatan itu berbahasa belanda dan untuk orang belandan sendiri, Catatan itu pada dasarnya bukan untuk umum atau untuk pribumi tapi dikhususkan untuk orang-orang penting di pemerintahan Kolonial belanda, kita hanya beruntung bahwa catatan itu disimpan dengan baik, di dokumentasikan dengan baik selama ratusan tahun dan  telah dibuka untuk umum saat ini,lalu kemudian kita bisa pelajari bersama. Alasan ketiga adalah apakah ada sumber lainnya selain sumber belanda? Jika ada saya tentu juga akan senang hati mempelajarinya, sejarah perlu sumber yang otentik dan sesuai kaidah-kaidah ilmiah, kita tidak bisa mengambil sumber dari sembarangan atau suka-suka seperti informasi-informasi gaib yang entah sumbernya darimana dan tidak bisa kita pertanggung jawabkan, selain itu semua sumber perlu kita kritisi baik sumber belanda maupun sumber lainnya artinya semua sumber tidak bisa telan mentah-mentah pula.

Inspirasi saya yang lain dalam menulis tentang kopi  ini adalah karena teman saya yang juga keluarga saya sendiri merupakan salah satu pioner pembuka kafe kopi dibarabai, saya merupakan salah satu pelanggan pertamanya, dan teman diskusinya, selain itu baru-baru ini saya di undang untuk ngopi ke kota kandangan, sangat menyenangkan mengetahui banyaknya warung kopi kecil atau kafe kofi kecil menjamur di Kandangan yang notebeni merupakan bekas ibukota Afdeling Hulu sungai di jaman colonial, berjalan-jalan di kota kandangan yang masih banyak rumah-rumah tua terasa sangat indihs atau berbau-bau Hindia Belanda, tata kota Kandangan dan Barabai adalah salah satu hasil karya Hindia Belanda yang masih bisa kita temui hingga hari ini dihulu sungai. Dan diundang ngopi ke kandangan adalah sesuatu yang menurut saya sangat luar biasa apalagi ketika saya mengetahui sejarah Kopi yang sudah hadir ratusan tahun di hulu sungai.

"Ke kandangan kita Mengopi" adalah jargon-jargon yang membayangi pikiran saya ketika dijalan, rasa-nya itu menjadi lebih masuk akal, menikmati kopi yang bersejarah di kota kandangan yang juga bersejarah, diskusi diwarung kopi lebih menyenangkan dan bisa membuka pikiran kita, anak-anak muda begitu semangat di warung kopi, ke warung kopi kita merasa tercerahkan, diskusi menjadi lebih berwarna, keberanian untuk kritis lebih hidup. Ke warung kopi kita malu untuk mabuk-mabukkan, ke warung kopi kita tidak membawa senjata, mengopi adalah rintik-rintik dalam membangun peradapan, dan saya setuju "Ke kandangan kita harus mengopi".

Dan begitulah, ada pertanyaan kapan kopi pertama kali hadir di bumi hulu sungai dari anak-anak muda kandangan, pertanyaan ini sangat berat dan butuh waktu menjawabnya, Catatan tentang kopi di daerah hulu sungai bisa kita temukan dalam beberapa buku, dalam buku HET STROOMGEBIED VAN DE BARITO karangan H. J. SCHOPHUYS yang terbit tahun 1936  halaman 47 disebutkan ada perkebunan kopi Robusta yang telah mapan di Barabai, dan kopi juga di tanam di daerah martapura dan bibit kopi yang mulai menyebar ke hulu Barito. Beberapa tahun yang lalu saya masih bekerja di Kabupaten Balangan, saya suka berkeliling ke kampung-kampung, di desa-desa di kecamatan Paringin dan Lampihong sepanjang sungai Balangan, suatu hari di tahun 2014-2015 saya sengaja ingin mencari kopi dan seolah keberuntungan saya bertemu dengan seorang ibu tua yang sedang menjemur kopi, saya langsung singgah dan meminta izin untuk membeli kopi yang sedang dijemur tersebut, ibu tua tersebut tertawa dan tidak mau kopinya dibeli, jika saya mau kopi tersebut beliau mempersilahkan saya mengambilnya sesuka hati saya, karena kopi itu tidak banyak dan tidak untuk dijual, hanya untuk dikonsumsi sendiri, saya tetap memaksa membeli dan beliau akhirnya mau, saya memilih kopi berwarna merah saja dan mendapati sekitar 1 kilo lebih. Menurut beliau kopi tersebut berasal dari kebun sendiri di desa Bungin. Kebun kopi tersebut sudah tidak terurus lagi dan digantikan dengan pohon karet, saya baru menyadari sepanjang jalan dipinggir sungai balangan ini terdapat banyak pohon kopi liar dari paringin hingga lampihong. Saya bertekad mendapati dimana bisa memesan kopi yang banyak, akhirnya saya sampai ke sebuah desa dekat tanah habang diperbatasan lampihong dan amuntai, disana saya mendapati mantan pengumpul dan penjual kopi, beliau bercerita bahwa dahulu didaerah lampihong paringin memang banyak kebun kopi tapi karena merosotnya permintaan, pohon kopi pun ditebang dan digantikan dengan pohon karet yang lebih menjanjikan secara ekonomi, beliau juga bercerita tentang kopi tiga kunci yang terkenal dari barabai sempat menjadi langganan beliau dengan membeli kopi ke tempat beliau, saya bertanya lebih berani apa yang menjadi penyebab hancurnya pasar kopi, jawaban beliau begitu jujur dengan sambil tertawa, beliau yakin hal itu diakibatkan oleh tabiat tidak jujur dari pedagang kopi seperti beliau dan pekebun kopi sendiri yang sering curang dalam masalah kwalitas kopi, kopi terlihat bagus dibagian atas karung, tapi berkwalitas sangat buruk dibagian bawah karung, beliau cukup tersenyum dan menyayangkan hal itu terjadi, tapi ada daya semua sudah jadi arang jadi bubur. saya kemudian memesan kopi kepada beliau, sampai beberapa bulan kemudian tidak ada kopi yang bisa beliau dapatkan untuk saya beli. Beliau juga berpesan jika beruntung masih ada penjual kopi yang sudah disangsai dan ditumbuk dipasar-pasar traditional di pasar-pasar besar atau kecil di seluruh hulu sungai. Saya juga mendengar ada perkebunan kopi di darah jaro dan muara uya atau Haruai di hulu sungai tabalong dikabupaten Tabalong, saya juga memesan kopi tersebut kepada teman saya disana, tapi teman saya kesulitan mendapatkan kopi tersebut. Suatu hari pula saya dihubungi oleh seorang teman lain bahwa dia melihat kopi-kopi yang memerah dipinggir jalan di daerah wawai dekat batu tangga di kecamatan batang alai timur di barabai, namun tidak berhasil juga kami mendapatkannya. Akhirnya saya cukup gembira dengan kopi yang saya beli dari ibu tua di paringin, kopi tersebut di-olah oleh teman saya dengan cukup tergesa-gesa karena kami tidak sabar, hasilnya cukup memuaskan, kopi Rubusta dengan rasa yang kuat, saya tidak bisa tidur sampai subuh karena meminum secangkir kecil eskpreso dari kopi tersebut. Dan sepertinya informasi adanya perkebunan kopi rubusta dibarabai pada buku diatas masih bisa kita temukan jejaknya hingga hari ini, mengingat jarak yang dekat antara barabai dan lampihong yang masih sama-sama dalam radius daerah Hulu sungai.

Informasi G. L. TICHELMAN  dalam sebuah essai berjudul DE ONDERAFDEELING BARABAI dalam buku TIJDSCHRIFT VAN HET KONINKLIJK NEDERLANDSCH AARDRIJKSKUNDIG GENOOTSCHAP yang terbit tahun 1931 di bawah edtor Dr. A. A. BEEKMAN dan kawan-kawan, pada halaman 471 ,  mengenai perintah pemberian 100 bibit kopi kelapa dan seratus bibit kopi pada tahun 1861 oleh kapitein Karei van der Heijden bagi orang-orang yang ikut relokasi perkampungan di daerah distrik Alai (Kabupaten hulu sungai tengah saat ini), maksudnya rumah-rumah yang dibangun tidak beraturan dipinggir-pingggir sungai dan pedalaman diperintahkan untuk pindah dan membangun rumah baru di pinggir jalan raya yang sedang dibangun oleh pemerintah kolonial saat itu, hal ini mungkin dilakukan agar pengawasan terhadap penduduk dan perumahan lebih mudah dilakukan, setiap laki-laki kepala keluarga yang rumahnya dipindahkan ke pinggir jalan akan diberikan seratus batang pohon kelapa dan seratus batang pohon kopi. Para kiai kepada distrik dan penghulu ikut mendorong agar perintah ini ditaati oleh penduduk setempat. Informasi kecil seperti ini sangat berharaga melihat perintah penamaan kopi ada disaat-saat perang Banjar yang berkecamuk. Pertanyaannya adalah dari manakah bibit kopi bisa ditemukan disaat itu? Mengingat jika satu kepala keluarga mendapat seratus batang kopi maka akan diperlukan beribu-ribu bibit kopi, dimanakah bibit-bibit tersebut didapatkan? Pertanyaan samping lainnya adalah siapa kepala distrik itu dan siap penghulu itu? Jabatan apakah itu? Dan hubungannya dengan belanda bagaimana? Kenapa mereka ikut membantu belanda?

Meski buku mengenai perintah pemberian bibit kelapa dan kopi ini diceritakan dalam buku yang terbit tahun 1931 jika dibandingkan dengan informasi perkebunan kopi rubusta dalam buku terbitan tahun 1936 yang sebelumnya, hanya terbaut beberap tahun penerbitan. Tapi informasi tentang pemberitan bibit kopi tersebut berdasar catatan harian oleh kapten kapitein Karei van der Heijden pada hari senin 30 sepetember tahun 1861, artinya pada dasarnya ini terpaut hampir 70 tahun, jika dihitung hingga hari ini itu berarti 160 tahun yang lalu. Kesimpulan kecilnya adalah rupanya sudah ada kopi di hulu sungai 160 tahun yang lalu. Ini tentu sangat mengejutkan bagi kita semua, artinya kopi di hulu sungai bukan lah kopi yang baru kemarin sore tapi sudah lama hadir dan tumbuh menemai keseharian kehidupan orang hulu sungai.

Dokument Ahmad Rendra Kopi desa Karang Jawa Kandangan
Dokument Ahmad Rendra Kopi desa Karang Jawa Kandangan

Berjalan-jalan diperkampungan hulu sungai sangat lah menyenangkan, di Kandangan atau di Barabai, di Kalua dan daerah lainnya pada dasarnya kita dapat mendapati pemandangan menyenangkan hamparan sawah, pohon-pohon kelapa yang begitu banyak dipinggirnya, ada budaya berkebun di kalangan orang hulu sungai yang massif, sebut saja kebun kelapa tadi yang masih bisa kita temui hingga hari ini, perkebunan karet, sampai-sampai ada saja saya pernah mendengar perkebunan pohon tepuk tangan atau pohon rumbia yang diambil sagunya, isi batangnya untuk pakan ternak itik, serta daunnya untuk atap, pohon enau atau hanau yang mana air laangnya untuk membuat gula merah, batangnya kadang juga dijadikan sebagai cadangan sumber sagu, biji buahnya menjadi kolang kaling, daun dan bilah daunnya menjadi sapu, dan perkebunan cempedak, langsat, pisang, jaring atau jengkol, dan banyak lainnya hal itu memperlihatkan bahwa orang hulu sungai adalah pekebun yang telah teruji oleh jaman. dahulu kita mendengar perkebunan lada atau sahang,bahkan tembakau, maka melihat hal itu tidaklah sesuatu hal yang aneh perkebunan kopi juga menjadi bagian dari sejarah dan budaya kehidupan orang hulu sungai.

Dari manakah bibit kopi disediakan dan disiapkan? Perkebunan kopi telah ada sebelum perang banjar, ini hepotesa paling logis mengingat sangat sulit mengambil kopi dari daerah lain dan mengirimkannya ke pedalaman dimasa-masa perang saat itu, misalnya bila bibit kopi itu diambil dari pulau lain maka itu juga akan sangat sulit mengingat butuh waktu dan koordinasi yang rumit apalagi perintah penyediaan bibit kopi tersebut terkesan sebagai perintah harus disegerakan, maka bibit kopi pasti sudah ada di hulu sungai saat itu. Ada dua perjanjian antara Pemerintah kolonial dengan sultan Banjar bertanggal tahun 29 April 1818 W  dan 13 September 1823 yang menyinggung mengenai kopi, perjanjian tahun 1818 mengenai rencana penanama lada dan kopi namun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana dan seperti apa tapi jelas disini ada perkebunan kopi di wilayah kerajaan Banjar, dalam perjanjian tahun 1823 terdapat lebih banyak perhatian terhadap kopi seperti rencanan penanaman kopi di desa Banju Irang, Lianganggang, Selingsing Oedjoeng, Taluk Pulantan dan Maluku, pemerintah belanda ingin lebih berkomitmen untuk mengembang perkebunan lada dan kopi bersama sultan banjar dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan petugasnya untuk mengawasi perkebunan lada dan kopi, selain itu juga membuat perjanian dengan sultan  mengenai perlindungan dan jaminan pembelian lada dan kopi serta cukai yang harus dibayarkan[1]. Namun dari sinipun tidak dijelaskan asal usul kopi atau apakah kopi telah lama ada atau baru dibawa ke kesultanan banjar, melihat perjanjian tahun 1818 terasa bahwa kopi telah ada di kesultanan banjar dengan melihat akan adanya rencana perkebunan kopi, dan melihat perjanjian tahun 1823 kopi mulai dikembangkan dalam perkebunan yang lebih serius.

 

Apakah sepertinya kita harus merevisi lagi hepotesa kita mengenai tahun keberadaan kopi di hulu sungai setelah mendapati perjanjian Pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Banjar tahun 1817 fan 1823? Jelas-jelas dalam perjanjian tersebut ada kebun kopi di tanah sultan didekat martapura, tapi apakah kopi tersebut sampai ke hulu sungai? Atau bibit kopi dari perkebunan kopi di Martapura itu kah yang dibawa ke Hulu sungai? Bisa sangat memungkinkan kopi-kopi dari martapuralah yang menjadi asal-usul bibit kopi yang diperintahkan di tanah di Hulu Sungai tahun 1861. Atau bahkan bisa jadi kopi dari martapura lah yang menyebar ke hulu sungai sebelum perang banjar dimulai mengingat jarak 43 tahun lebih dari tahun 1861 dan 1818 yang bisa sangat memungkinkan menjadi tahun-tahun penyebaran kopi dari martapura ke hulu sungai. Dengan juga melihat kedekatan wilayah antara Martapura dan Hulu sungai yang meskipun Hulu Sungai adalah daerah otonom tapi tetap masih dalam koordinasi sultan dengan para tumenggung-tumenggung di hulu sungai.

 

Tiba-tiba saja (saya tidak mau mengedit tulisan ini) saya menemukan catatan yang lebih tua lagi mengenai perkebunan kopi di hulu sungai yang mungkin bisa menjadi jawaban bagi pertanyaan kita selama ini mengenai asal usul kopi di Hulu Sungai. Sebuah jurnal perjalanan F . J. Hartman tahun 1790 ke dataran tinggi hulu sungai dan ke wilayah Hulu barito yang di terbitkan dalam buku KRONIJK VAN HET HISTORISCHGENOOTSCHAP, di edotori oleh  Mr. N . P . J. Kien dan kawan-kawan,  terbit di  UTRECHT tahun 1864,  pada halaman 347 dalam buku tersebut mengabarkan mengenai perkebunan lada, kopi, kapas dan tembakau di negeri "Rantau" tepatnya daerah Hallat dekat sungai tapin dan pada halaman 350 mengabarkan tentang perkebunan lada dan perkebunan kopi terbaik di daerah jambu dekat jatuh di alai atau barabai saat ini.  Kampung jambu atau yang dahulu dikenal dengan nama jambu alai adalah daerah yang hilang dalam penamaan kampung-kampung modern, peta-peta kolonial meletakkan jambu alai diantara kampung jatuh dan ilung, kemungkinan besar jambu alai adalah daerah yang sama dengan kampung sumanggi saat ini dikecamatan Batang Alai Utara. Kampung jambu di hulu sungai ada dua , pertama jambu amandit dekat kota kandangan saat ini atau diseberang kampung karang jawa yang terkenal sebagai pusat pemerintahan di sungai amandit dan Jambu Alai seperti yang kita sebutkan diatas.

 

Jika tahun 1790 laporan eksestensi perkebunan kopi telah ada di Hulu sungai maka ini menjadi kejutan luar biasa, kopi telah masuk kehulu sungai bertahun-tahun sebelumnya laporan tersebut di tulis, da n adanya penilaian dengan diksi "perkebunan kopi terbaik" menendakan adanya komparasi antara kebun kopi saat itu,  saya yakin kebun kopi tidak hanya ada di kampung jambu, tapi juga kampung yang lain di hulu sungai yang menyebabkan penulis jurnal bisa mengkomparasi dan memberi nilai " perkebunan kopi Terbaik" dijambu lebih baik dari perkebunankopi lainnya. kopi hulu sungai akan menjadi salah satu kopi yang tua di Nusantara, sangat mungkin kopi dibawa ke hulu sungai oleh para Haji yang berlayar ke Mekkah dan singgah di berbagai daerah dan tempat atau para pedagang hulu sungai sendiri yang berlayar ke Nusantara dan melihat potensinya yang bagus, sehingga bisa dikatakan tidak ada campur tangan kolonial dalam masa awal perkebunan awal kopi di Hulu Sungai. Dari data diatas kita bisa merevisi hepotesa sebelumnya bahwa kopi telah ada sekitar 240 tahun yang lalu di Hulu sungai.

 

Salah satu kopi terbaik di hulu sungai saat ini adalah Kopi Meratus yang di tanam oleh para penduduk Pegunungan Meratus di kabupaten hulu sungai Tengah dengan posisi ratusan meter diatas permukaan laut. Kopi Meratus sangatlah langka dan istmewa karena sangat jarang bisa kita dapati dan terkesan ekslusive. Bisa saja kopi meratus lah sebagai sisa-sisa dari kopi tua dari hulu sungai dari awal-awal kedatangan kopi di tauhn 1700an. Bukan hanya kopi tapi juga tembakau masih bisa kita dapati di pegunungan Meratus.

 

Mudah-mudahan akan ada penelitian yang lebih serius mengenai sejarah perkebunan kopi dan meneliti dimanakah kopi-kopi tua ratusan tahun masih bisa kita dapati, dan apa jenis kopi kopinya lalu kemudian mengangkat kembali kopi menuju kejayaannya di kawasan Hulu Sungai. Dalam tulisan ini masih banyak yang penulis belum bisa jawab dan ulas, mudah-mudahan akan ada kesempatan lain untuk itu, semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun