Artinya :
Salat itu tidak dipikul
Sedangkan wudhu tidak ditinting
Itulah yang sulit didirikan
Memang sulit dikerjakan shalat
Karena tidak langsung nampak pembalasannya
Alwi yang juga seorang budayawan Perangkat Adat Adolang mengungkapkan, kata "allah" dalam konteks lirik tersebut (karena lirik yang ditulis memakai kata "H" di huruf terakhir) Â sebenarnya adalah "alla" yang artinya kata sambung, agar lagu yang dinyanyikan tidak kaku. Namun, kata "alla" bisa juga diartikan Allah Sang Maha Pencipta (Allah SWT). Di dalam penulisan kalindaqdaq masaala, biasa kata sambung itu "alla" tidak digunakan. Namun, dalam konteks dilagukan, perlu dipakai kata sambung, agar nyanyian yang dihasilkan terdengar nyaman, merdu dan pengucapannya tidak kaku. Lanjut di lirik selanjutnya.
Tenna tappa' nani tari
Pabalasna sambayang
Allah naulle bandi
Nisi lu'ba-lu'bai
Tileleani suruga andiang
Mattawari allah
Naraka wandi disi lu'ba-lu'bai
Artinya :
Seandainya kita dapat melihat balasnya shalat itu,
kita akan berebutan untuk mengerjakannya
kita tawarkan surga
akan tetapi tetap neraka yang direbut.
Alwi mengatakan bahwa satu lagi yang perlu diketahui untuk kata sambung pada pantun kalindaqdaq. Menurutnya, tidak hanya alla yang bisa dipakai sebagai kata sambung. Ada todzi' yang artinya kasihan. Biasa jika dibuat lirik lagu jadi todzi'mo dan ada beberapa kalindaqdaq masaala menggunakan kata sambung itu. Untuk kalindaqdaq muda-mudi, biasa memakai kata sambung kaka'u (kakanda) dan kandi'u (adinda).
"Inilah kalindaqdaq. Kalindaqdaq masaala. Artinya, masalah yang perlu dipecahkan. Dibait pertama itu pertanyaan, dan dibait kedua, adalah jawaban atas pertanyaan itu. Ini kan (kalindaqdaq masala) masalah agama. Pantunnya agama. Ada juga kalindaqdaq yang lain, yakni sindirian, cinta muda-mudi, dan macam-macam. Tapi, konteksnya ini dinyanyikan parrawa towaine, masuk ke syiar agama," ujar Alwi.
 Sekitar jam 11 malam, parrawana towaine menyimpun rebana yang mereka bawa, sekaligus melipat kembali lipa saqbe yang mereka kenakan. Malam jatuh di DesaAdolang.
Mobil pikap yang membawa parrawana towaine sudah siap mengantar mereka. Dengan dibantu beberapa pria, parrawana towaine yang berjumlah sembilan itu, naik di bak pikap secara satu-satu. Mereka merapikan terlebih dulu alat rebana, yang direbahkan di tengah pikap dan beberapa parrawana masih memegang rebananya.Â
Saya mendengar mereka bergurau, bercakap sedikit. Â Dan ketika supir pikap tancap gas, mereka melambai "dah", melempar senyum, Â agar tidak jatuh, jemari mereka mencengkram pinggir bak pikap. Untuk sampai di Dusun Rawang, jalanan kesana menanjak. Hawa di luardingin, dan seketika itu juga lampu mobil semakin mengecil dan raungan mobil semakin tidak terdengar. Hilang dimakan malam. Saya memandang langit. Walau tabuhan rebana yang dipadu dengan syair-syair religius (kadang juga sufistik) sudah selesai, namun dipikiran ini, masih saja ada yang tersisa.
Maret 2021.